PRINSIP PERLINDUNGAN DAN PEMANFAATAN
EKSPRESI BUDAYA TRADISIONAL (EBT) INDONESIA
Oeh :
Kholis Roisah[1]
1.
Pendahuluan
Indonesia sebagai bangsa multi etnis merupakan Negara
kepulauan yang dihuni oleh lebih dari 1200
kelompok etnis dengan budayanya masing-masing, memiliki kekayaan ekspresi
budaya yang sangat beragam yang berasal dari
warisan
budaya, baik berupa ekspresi budaya verbal, ekspresi suara dan musik, ekspresi
gerak maupun ekspresi nyata[2]
yang diturunkan dari nenek moyang selama
beberapa generasi, serta karya-karya baru yang masih mempertahankan ataupun
hubungan dekat dengan masa lalu. Keduanya sangat penting bagi Bangsa Indonesia,
tidak hanya dalam membantu untuk membentuk identitas nasional, tetapi juga
sebagai indikasi tingkat peradaban bangsa.[3]
Seluruh kebudayaan daerah yang berasal
dari kebudayaan beraneka ragam suku-suku di Indonesia merupakan bagian integral
dari warisan budaya Indonesia. Tiap etnis yang berasal dari lingkungan geografis
yang tersebar di seluruh
kepulauan Indonesia memiliki ciri khas EBT dari warisan budaya berbeda yang
berproses dan berkembang selama berabad-abad
Eksistensi
EBT Indonesia yang sudah mendunia misalnya musik angklung Mang Ujo, Candi
Borobudur, Batik, Tenun,
Wayang dan Keris serta hampir semua bentuk EBT yang berasal dari pulau Bali
dikenal di seluruh dunia. Wayang,
Keris, Batik
dari Jawa , tari Saman dari Aceh, Angklung suku Sunda
dan dan Noken
dari Papua bahkan sudah yang telah tercatat dalam Daftar Representatif Intangible
Cultural Heritage (ICH)[4].
Artinya jenis EBT tersebut sudah diakui dunia menjadi
milik Indonesia. Pengakuan ini juga memberikan konsekuensi terbukanya
intervensi pihak luar (asing) bilamana Indonesia tidak mempunyai komitmen[5]
serius untuk melakukan konservasi dan pemeliharaan terhadap EBT yang sudah
masuk daftar tersebut.
Tingkat diversitas kebudayaan Indonesia
adalah yang tertinggi di dunia,
akan tetapi hal ini juga
menjadikannya sangat rentan untuk mengalami kepunahan seandainya tidak ada
mekanisme yang dapat mendukung dalam konservasi. Belum lagi banyaknya masalah klaim kepemilikan ekspresi budaya Indonesia oleh pihak asing
yang merupakan akibat dari minimnya proteksi terhadap EBT yang merupakan bagian elemen
kebudayaan.
Indonesia sebagai negara multi kultur
dan multi etnis memiliki begitu banyak EBT dari warisan budaya yang memerlukan
perlindungan aktif untuk menjaganya dari kepunahan ataupun memperoleh manfaat ekonomi dari EBT .
Banyak elemen dari EBT yang terancam punah, karena pengaruh globalisasi
dan kurangnya sarana, penghargaan dan pemahaman yang dapat mengakibatkan erosi
dari nilai, fungsi dan unsur budaya itu sendiri. Secara faktual keberadaan EBT Indonesia dipelihara, dipertahankan dan
dikembangkan oleh komunitas-komunitas lokal atau oleh komunitas masyarakat
adat. Keberadaa EBT di luar komunitas masyarakat adat sudah longgar keterikatan
dengan tradisi dan norma adat. Hal ini tidak seperti halnya di komunitas
masyarakat hukum adat keberadaan EBT masih terikat kuat dengan tradisi dan
norma adat.
2.
Pembahasan
Wujud atau ekspresi kebudayaan
tradisional/folklor merupakan tradisi yang dipelihara, dipertahankan dan
dikembangkan secara turun temurun dari generasi ke generasi kehidupan komunitas
masyarakat adat atau komunitas budaya lokal di seluruh kepulauan Indonesia
untuk kesejahteraan hidupnya pada akhirnya menjadi identitas budaya nasional.
Dengan demikian ekspresi budaya tradisional/folklor Indonesia dapat diartikan
sebagai keseluruhan sistem yang
merupakan ungkapan ide, gagasan, tindakan
dan hasil karya manusia sebagai ungkapan tradisi turun temurun dalam
masyarakat.
Dasar hukum perlindungan terhadap EBT Indonesia
sebagaimana terlihat dalam Pasal 32 dan Penjelasan Undang-Undang Dasar NRI 1945 dan Pasal 28C ayat (1,2), Pasal 28 I, ayat (3) UUD NRI 1945 sekaligus menjadi landasan konstitusional perlindungan
EBT Indonesia. Landasan operasional politik hukum perlindungan terhadap EBT
terdapat di dalam Pasal 10 UU Hak Cipta Tahun 1982, 1986 dan 2002
1) Prinsip
Pendekatan Perlindungan Sui Generis
Belum
terakomodasinya perlindungan hukum yang komprehensif terhadap karya-karya EBT
di beberapa peraturan hukum kekayaan intelektual Indonesia maupun peraturannya
lainnya membawa dampak terhadap munculnya kasus-kasus dan klaim kepemilikan dan
pemanfaatan secara komersial terhadap karya-karya cipta ataupun temuan EBT
Indonesia oleh pihak-pihak di luar komunitas masyarakat adat ataupun oleh pihak asing yang semakin
banyak dan tidak terselesaikan secara
tuntas.
Menyadari hal
tersebut pemerintah perlu menyiapkan kebijakan hukum mengenai perlindungan EBT
melalui peraturan hukum kekayaan intelektual sui-generis[6],
artinya pendekatan perlindungan yang mengenalkan konsep hak
baru terhadap kepemilikan EBT yang selama ini dianggap public domain dengan mendasarkan pada prinsip-prinsip sistem hukum
kekayaan intelektual secara tersendiri. Ada beberapa
alasan mengapa pendekatan perlindungan sui
generis diperlukan dalam memberikan perlindungan terhadap EBT Indonesia
yaitu :
Pertama,
selama ini perlindungan EBT dengan mendasarkan pada prinsip-prinsip yang ada
dalam hukum kekayaan intelektual yang sekarang ini eksis di Indonesia secara
substantif ketentuan-ketentuan di dalam hukum kekayaan intelektual (cipta,
paten, merek, desain industri, rahasia dagang dan varitas tanaman ) kurang
mampu melindungi secara utuh terhadap EBT, hal ini disebabkan karena ada
perbedaan karakteristik hak kekayaan intelektual dan ekspresi budaya
tradisional.
Walaupun sama-sama bersumber pada
kreativitas intelektual manusia akan tetetapi antara HKI dan EBT selebihnya
terdapat perbedaan dalam karakternya.
HKI bentuk gagasan harus diwujudkan dalam bentuk ekspresi yang nyata (in material form) bisa dilihat dan
didengar, tetapi kalau dalam EBT bentuk
gagasan bisa berwujud ( ekspresi nyata),
atau tidak berwujud (bisa dalam bentuk ekspresi verbal/oral, ekspresi
gerak ataupun ekspresi bunyi . Gagasan dalam HKI berbentuk karya cipta (works) dalam seni dan ilmu pengetahuan,
desain, merek, temuan tehnologi dan
species sebagai karya atau temuan yang baru (novelty) dan tidak sama dengan pengungkapan sebelumnya (originality), sedangkan dalam EBT hasil
gagasan dalam bentuk karya cipta seni dan pengetahuan serta teknik tertentu
yang berakar tradisi turun temurun.
Pencipta dalam HKI teridentifikasi
dengan jelas yaitu individu ataupun korporasi
dan orientasi unruk menghasilkan ciptaan lebih mengarah pada motif
ekonomi daripada sekedar ekspresi dari pencipta atau penemu. Hasil ciptaannya
dikonstruksikan sebagai benda yang dikategorikan sebagai benda tak berwujud
sehingga bisa menjadi obyek hak kekayaan. Hal ini berbeda dalam EBT, identifikasi pencipta aslinya tidak
diketahui, komunitas masyarakat tradisional/lokal mencipta karya EBT secara
turun temurun lintas generasi ataupun
individu yang mempunyai kewenangan berdasarkan tradisi dan orientasi
untuk menghasilkan ciptaan untuk meneruskan tradisi baik yang menyangkut
kepentingan budaya dan keagamaan. Hasil ciptaan dikonstruksikan sebagai warisan
budaya dari generasi sebelumnya bukan untuk dimiliki tetapi dijadikan identitas
komunitas masyarakat yang selama mempertahankan dan memelihara EBT.
Adanya perbedaan karakter
antara HKI dan EBT menyebabkan
persyaratan substantif untuk mendapat perlindungan melalui ketentuan
hukum kekayaan intelektual tidak terpenuhi. Pemberian perlindungan dengan
pendekatan hukum kekayaan intelektual sui
generis diharapkan lebih sesuai dengan karakteristik EBT, sehingga lebih
mampu memberikan perlindungan terhadap EBT secara utuh.
Kedua, prinsip-prinsip perlindungan hak kekayaan intelektual
yang mendasarkan pada ketentuan-ketentuan hukum kekayaan intelektual yang
sekarang ini eksis di Indonesia merupakan prinsip-prinsip
hukum perlindungan HKI mengadopsi paham
individualis dan monolistis.
Paham mendasarkan filosofi perlindungan HKI pada konsep natural rights Jhon Locke. Konsep natural rights atau hak alamiah, dijadikan argumen moral
bahwa orang yang mampu melahirkan
karya-karya intelektualnya, mereka secara alami, serta dengan sendirinya akan
memiliki hak alamiah yang melekat secara inheren atas karya-karya yang
diciptakan. Disamping itu argumen
moral juga mendasarkan teori Labour,
bahwa lahirnya hak kekayaan
intelektual pada pencipta atau penemu karena seseorang telah menggunakan pemikirannya,
kemudian berkerja secara keras sehingga menghasilkan sesuatu karya yang tadinya
tidak ada atau kurang (scare),
kemudian dengan proses labour maka
menjadi sesuatu yang ada. Karenanya memberikan reward dan melegetimasi perlindungan kepada orang yang melahirkan
karya intelektual tersebut.
Filosofi ini melahirkan doktrin moral kepemilikan eksklusif HKI yaitu hak individu
pemilik kreativitas intelektual agar hak-haknya tidak diganggu oleh orang lain.
Dengan demikian jelas sekali bahwa perlindungan HKI mengadopsi gagasan yang
mengedepankan hak-hak individu atau dengan kata lain perlindungan HKI
mengadopsi paham individualis. Paham ini menerima sesorang itu memiliki harga
perseorangan yang kuat, kalau hendak dikatakan mutlak, seseorang atau individu diyakini
memiliki harga moral yang intrinsik/inheren. Berdasarkan keyakinan tersebut,
maka paham perseorangan mendorong otonomi seseorang dalam berpikir dan
bertindak. Sebagai konsekuensiya maka eksklusivitas diri sebagai invidu (individual privacy) mendapat tempat dan
diakui sebagai penting. Seseorang benar-benar otonom karena dilepaskan dengan
hubungan spesifik dengan orang lain. Tujuan yang ingin dicapai berpusat pada
pengembangan diri sendiri.[7]
Lebih jauh lagi filosofi prinsip-prinsip HKI berdasarkan
argumen ekonomi bahwa perlindungan karya intelektual bukan saja mendasarkan
pada hak yang inheren, melainkan lebih menekankan pada investasi yang berkaitan
pada kepentingan ekonomi
karena individu telah mengorbankan tenaga, waktu, pikiran dan biaya demi sebuah
karya atau temuan yang berguna bagi kehidupan. Hak ekonomi adalah imbalan yang
pantas bagi pencipta ataupun penemu jika ia telah menciptakan dan metemukan.
Rasionalitas untuk melindungi modal investasi tersebut mesti dibarengi dengan
pemberian hak eksklusif terhadap individu yang bersangkutan agar menikmati
secara eksklusif hasil olehah pikirnya.
Kepemilikan ekskusifnya dapat
membawa konsekuensi pemilik HKI mempunyai hak monopoli dan hak untuk
mengeksploitasi manfaat ekonomi dari hasil karya ataupun temuannya
sebesar-besarnya tanpa gangguan pihak lain selama masa perlindungan dan menjadi
pembatasannya hanyalah selama tidak melanggar hak dan merugikan orang lain.
Paham individualis dan
monopolistis ini jelas berbeda dengan kosmologi masyarakat Indonesia yang bercorak komunal. Sikap hidup masyarakat yang
sangat diwarnai oleh kebersamaan menjadikan masyarakat memandang
warganya bukan orang sebagai individu,
melainkan kesatuan yang tidak terpisahkan dengan masyarakat. Setiap individu dalam lingkungan kesatuannya bergerak dan berusaha sebagai
pengabdian kepada seluruh kesatuan. Terdapat
kecenderungan untuk tidak memisahkan (separte
out) seseorang dari konteks sosialnya, cara-cara seseorang bertindak dalam konteks atau
keseluruhan.Sehingga menciptakan ataupun menemukan
sesuatu merupakan hasil gerak dan usaha individu, dan hasilnya yang berupa
karya cipta ataupun temuan dapat
dinikmati secara kolektif (berbagi) seluruh anggota masyarakat dimana individu
berada. Karya-karya intelektual tersebut
diciptakan oleh para kreator dan inventor bukan bertujuan untuk dimiliki secara
pribadi sebagai kekayaan, tetetapi semata-mata bertujuan memenuhi kebutuhan
komunitas masyarakat dimana dia merupakan bagian komunitas masyarakat yang
bersangkutan.
Perlindungan
EBT melalui prinsip-prinsip hukum kekayaan intelektual yang sekarang ini eksis
berlaku di Indonesia maupun secara internasional berarti memberikan
perlindungan EBT dengan tidak mendasarkan ide dasar, nilai-nilai, Norma yang
bersumber dari masyarakat Indonesia sendiri, sebab masyarakat Indonesia sudah
terbiasa dengan nilai-nilai yang bercorak komunal dan religius/spiritual. Hal
ini berbeda dengan filosofi HKI yang tumbuh berkembang di dalam masyarkat Eropa
dan Amerika yang kemudian dikembangkan di dalam konvensi-konvensi HKI
internasional yang mengandung paham
individualis dan monopolistis.
Prinsip-prinsip yang terdapat hukum kekayaan
intelektual Indonesia merupakan transplantasi (tranplantation)
dari hukum asing baik melalui warisan
hukum kolonial Belanda serta merta menjadi hukum nasional ataupun transplantasi hukum
internasional (persetujuan TRIPs) ke dalam hukum nasional. Sehingga sistem
hukum kekayaan intelektual Indonesia menurut Tamanaha merupakan ketentuan hukum
yang dipaksakan dari luar Indonesia (imposed
from out side), tidak berakar pada
kehidupan sosial (not peculiar of social
life) kehidupan bangsa Indonesia. Membuat kebijakan perlindungan EBT secara sui-generis
berarti kebijakan perlindungan EBT tidak semata-mata mendasarkan pada prinsip-prinsip
hukum kekayaan intelektual akan tetetapi juga mendasarkan pada nilai-nilai
ataupun ide dasar yang hidup dan mengakar di dalam komunitas-komunitas
penghasil kreatiftas intelektual bangsa Indonesia.
Ketiga, bagi
Indonersia ataupun negara lainnya adopsi ataupun implementasi terhadap hukum
internasioal adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari pada era globalisasi
sekarang ini, Oleh karena itu interdependensi antar negara-negara di dunia semakin kuat, bahkan tidak ada satu pun negara di dunia ini
yang bisa melepaskan diri dari hubungan saling ketergantungan dengan negara
lain. Ketergantungan tidak hanya menyangkut masalah ekonomi, teknologi maupun politik.
Interdependensi yang erat juga terjadi antara hukum nasional dan hukum
internasional, sehingga hukum nasional
Indonesia juga mempunyai keterikatan yang kuat terhadap hukum
internasioanl.
Keterikatan ini terutama terhadap
hukum internasional masuk kategori hukum internasional dengan karakter norma “hard law”, seperti halnya
persetujuan TRIPs, sehingga sistem hukum kekayaan
intelektual Indonesia terikat penuh (konsekuensi
prinsip full complainment) dengan
standart-standart norma
ataupun
prinsip-prinsip perlindungan HKI yang diatur secara
terperinci dalam persetujuan TRIPs
dan kalau tidak ditaati akan memberikan dampak terhadap kemungkinan mendapakan
ancaman gugatan melalui DSB nya WTO atau tindakan unilateral dari negara lain,
sehingga tidak ada keleluasan untuk membuat ketentuan-ketentuan di luar
standart Norma persetujuaan TRIPs. Memberikan perlindungan terhadap EBT melalui
ketentukan hukum kekayaan intelektual sui
generis diharapkan memberikan keleluasaan untuk tidak harus terikat demgan
standart norma maupun prinsip-prinsip perlindungan HKI berdasarkan persetujuan
TRIPs sekaligus menghindarkan dari ancaman gugatan melalui DSB ataupun tindakan
unilateral dari negara lain terutama dari negara-negara maju tujuan ekspor.
2)
Prinsip
Perlindungan Terpadu
Prinsip perlindungan terpadu terhadap
EBT perlu dilakukan, agar perlindungan EBT diharapkan tidak hanya melindungi
EBT nya saja, tetapi juga mencakup perlindungan terhadap warisan budaya yang
berkaitan dengan EBT tersebut. Pendekatan ini juga memberikan perlindungan
untuk kepentingan komunitas masyarakat yang selama ini memelihara,
mempertahankan dan mengembangkan EBT.
Memberikan perlindungan secara terpadu
berarti menggunakan strategi perlindungan terhadap EBT yang selama berkembang
baik dalam trend perkembangan global maupun yang dipraktekkan oleh
negara-negara baik melalui penggabungan dua pendekatan sekaligus yaitu strategi
positive protection strategi dan defencive protection. Strategi tersebut memberikan perlindungan EBT
dengan tujuan untuk memperoleh manfaat ekonomi dari penggunaan EBT secara
komersial oleh pihak di luar komunitas. Sekaligus mencegah penggunaan yang
tidak dikehendaki yaitu penggunaan EBT secara tidak pantas atau bahkan
melecehkan. Strategi ini juga untuk mencegah
agar EBT pada khususnya tidak hilang atau punah. Tujuan defencive protection untuk menjaga keutuhan nilai-nilai budaya yang
hidup sembari tetap menjaga integritas dan keberadaan EBT dapat diakses dan
digunakan siapa saja dan dinikmati oleh generasi yang akan datang.
Berdasarkan penelitian
Peter Jazzi[8],
mayoritas masyarakat menganggap isu perlindungan HKI dan komersialisasi dari
EBT Indonesia adalah kurang urgen dibandingkan dengan resiko punahnya EBT. Hal
ini disebabkan karena kurangnya pengakuan dan perhatian pemerintah, serta tidak
adanya upaya dokumentasi atas EBT dan masyarakat pengembannya (kustodian).
Komunitas tradisional sesungguhnya juga tidak dapat menerima penyalahgunaan dan
komersialisasi EBT mereka, akan tetapi kedua hal ini bukan merupakan
keprihatinan utama mereka. Keprihatinan utama mereka adalah: Keberlanjutan
budaya mereka; Keberadaan sistem yang dapat
mempertahankan dan mentransmisikan budaya mereka ke generasi
selanjutnya; Keseimbangan antara pemberian perlindungan pada budaya mereka dan
pemberian akses pada tiap orang untuk memanfaatkannya demi terciptanya
kreativitas dan inovasi baru. Menurut mereka, tujuan undang-undang baru untuk
memberikan perlindungan EBT seharusnya adalah untuk mengatur ketiga hal
tersebut.
Penggunaan prinsip-prinsip perlindungan
berdasarkan hukum kekayaan intelektual bertujuan melindungan aspek moral dan
aspek ekonomi EBT. Perlindungan aspek moral EBT dalam rangka memberikan
perlindungan dari tindakan distorsi, muntilasi dan atribusi dari EBT yang yang
dapat menyebabkan hilangnya kesucian ataupu kesakralan karya EBT dan dapat
menyebabkan komunitas masyarakat
pendukungnya terhina, dan terciderai.
Perlindungan aspek ekonomi dalam rangka memberi perlindungan hak ekonomi
komunitas ketika EBT dimanfaatkan secara komersial oleh pihak lain. Kebijakan
memberikan perlindungan EBT berdasarkan hukum kekayaan intelektual yang
sekarang ini eksis harus dilakukan dengan pendekatan prismatika hukum seperti
dijelaskan walaupun secara substantif dan filosofis prinsip-prinsip
perlindungan berdasarkan hukum kekayaan intelektual tidak bisa diterapkan
secara komprehensif terhadap EBT (lihat uraian bab III disertasi ini ). Dengan
demikian penerapan prinsip-prinsip HKI
harus dilakukan secara khusus (sui
generis) disesuaikan dengan karakteristik EBT itu sendiri maupun
nilai-nilai/ide dasar yang dianut sebagian besar masyarakat Indonesia tentang
keberadaan kreatiftas intelektual berbasis EBT.
Prinsip-prinsip pelestarian dan
konservasi berdasarkan hukum warisan budaya diterapkan dalam rangka memberikan
perlindungan tentang keberadaan EBT agar tetap hidup, dan tetap memberikan
ruang untuk pengembangan antar generasi secara
alami. Pelestarian dan penyebaran identitas budaya dan sosial komunitas seperti
integritas, kepercayaan spiritual, nilai-nilai dan karakter komunitas mereka
yang terus berkembang. Pendekatan ini bertujuan agar keberadaan EBT
tetap berkesinambungan dan berkelanjutan
bagi generasi yang akan datang masih tetap menikmati EBT. Sebagaimana
diketahui karya EBT mengajarkan tradisi, kearifan,
nilai-nilai, pengetahuan komunal yang dikemas dan diturunkan ke anak cucu
melalui hikayat, legenda, kesenian, upacara, yang berangsur-angsur membentuk
norma sosial dan tata hidup bangsa Indonesia.
Punahnya EBT berarti hilangnya juga norma sosial dan tradisi Indonesia
yang dapat membawa implikasi sosial seperti munculnya ketegangan maupun
konflik-konflik sosial yang akhir-akhir ini sering terjadi di Indonesia.[9]
Pendekatan dengan menggunakan prinsip-prinsip
perlindungan HAM bertujuan melindungi hak komunal masyarakat adat terutama
berkaitan kepemilikan EBTnya dan juga bertujuan supaya terjadi keseimbangan
antara hak individu atas hasil dari kreativitas intelektualnya dan hak
masyarakat untuk menikmati kreatiftas intelektual. Penerapan prinsip-prinsip
hukum adat yang masih hidup diterapkan agar prinsip-prinsip yang mengatur
perlindungan EBT benar-benar mencerminkan nilai, ide dasar maupun perilaku sebagian besar masyarakat Indonesia.
Bentuk ekspresi budaya tradisional
dapat mencakup banyak hal dan berkaitan dengan berbagai elemen EBT memerlukan
keterlibatan berbagai sektor/instansi dalam melindunginya. Langkah-langkah
perlindungan terhadap EBT perlu dilakukan secara komprehensif, yang pada
akhirnya memerlukan peran aktif dari berbagai sektor yang berkaitan untuk
diintegrasikan di tingkat kebijakan nasional.
Tujuan
perlindungan EBT Indonesia dalam RUU Perindungan PTEBT kurang komprehensif
karena hanya bertujuan pada aspek kekayaan intelektualnya, hal ini terlihat
dalam pertimbangan dikeluarkan kebijakan tersebut bahwa keanekaragaman etnik
atau suku bangsa, dan karya intelektual yang merupakan kekayaan
warisan budaya tersebut, telah menjadi daya tarik untuk dimanfaatkan
secara komersial sehingga pemanfaatan tersebut perlu diatur untuk
kemaslahatan masyarakat. Tujuan
perlindungan PTEBT dalam kebijakan
hukum
nasional ini berbeda dari tujuan perlindungan PTEBT yang
sedang diusahakan di forum-forum internasional.[10]
Tujuan perlindungan
PTEBT di forum internasional[11]
adalah untuk memelihara (preservasi) PTEBT, sedangkan perlindungan
HKI-nya adalah merupakan konsekuensi dari preservasi PTEBT tersebut.
3)
Prinsip
Kompensasi (Compensatory Liability
Principle)
Prinsip kompensasi atau Compensatory Liability Principle yaitu
penerapan sistem pembayaran atau kompensasi kepada pemilik EBT atas pemanfaatan
ataupun penggunaan EBT di luar konteks tradisi ataupun pemanfaatan untuk tujuan komersial
(menghasilkan keuntungan ekonomi). Pendekatan ini ada dua alternatif yang bisa ditempuh
yaitu melalui mekanisme penerapan prinsip pembayaran terhadap kepemilikan
publik atau domain public payant tanpa
adanya hak eksklusif atas EBT tersebut. Alternatif yang kedua yaitu melaui
mekanisme perjanjian bagi hasil (benefit
Sharing) atas pemanfaatan EBT oleh
pihak di luar komunitas masyarakat sebagai pemilik hak eksklusif EBT
Pendekatan juga dikenal dengan prinsip domain public payant[12]
yaitu prinsip hukum yang berasal dari tradisi hukum di Perancis. Prinsip pertama kali diusulkan oleh Victor Hugo pada
waktu pembukaan Konperensi Internasional Congress
Littéraire International pada 25
Juni 1878 yang bertujuan untuk membantu
dan mengumpulkan dan mendistribusikan dana budaya untuk memberikan subsidi kepada penulis
berikutnya ataupun perlu memberikan renumerasi yang dapat memberi manfaat bagi
peningkatan kreator generasi baru yang
diatur dalam ketentuan hukum.[13]
Prinsip hukum ini mewajibkan membayar fee atas penggunaan untuk tujuan
komersial ataupun eksploitasi yang menguntungkan karya-karya yang sudah menjadi
“public domain” karena masa
perlindungan sudah berakhir yang sifatnya diwajibkan (compulsory licence) dan
penggunaanya tanpa memerlukan otoritas.
Penerapan prinsip “domain public payant” berarti
menempatkan EBT dalam ranah domain publik dan tanpa hak eksklusif yang melekat
pada komunitas pemelihara EBT dan dengan prinsip pihak di dalam maupun
di luar komunitas bebas menggunakan dan memanfaatkan EBT (free access). Akan tetapi bilamana
EBT yang bersangkutan digunakan ataupun dimanfaatkan oleh pihak di dalam
ataupun pihak di luar komunitas di luar
konteks tradisi ataupun dan atau digunakan untuk tujuan komersial akan di
kenakan pembayaran prosentase tertentu.
Berdasarkan prinsip ini berarti
menerapkan juga prinsip “compulsory
licence” atau lisensi wajib, artinya dalam konteks perlindungan EBT setiap
penggunaan dan pemanfaatan EBT “free accses” tanpa harus memerlukan
otorisasi baik dari pemilik EBT maupun otoritas berwenang. Di banyak
negara yang menjadi subyek prinsip ini
adalah ketika penggunaan EBT yang sudah
domain publik digunakan untuk kepentingan komersial ataupun tujuan mencari
keuntungan. Perlindungan EBT dengan menggunakan prinsip ini diadopsi di dalam Tunis Model Law1976 dan Bangui Agreement 1999 dalam rangka
mempromosikan dan penyebarkan EBT dan dipraktekkan di negara Bolivia, Croasia, Panama, Peru dan Negara Republik Dominica.
Berdasarkan hasil penelitian penulis
penerapan prinsip ”domain public payant”
dalam rangka memberikan perlindungan EBT Indonesia terutama ditujukan pada EBT
yang penggunaan ataupun pemanfatannya tidak begitu terikat dengan norma-norma
tradisional ataupun hukum adat, artinya keberadaan EBT sudah digunakan, diakses
dan dimanfaatkan oleh masyarakat luas tanpa ada komplain ataupun keberatan oleh
komunitas masyarakat Adat/tradisional ataupun komunitas masyarakat tertentu
lainnya. Hasil pembayaran ini untuk kepentingan komunitas maupun institusi
penghasil EBT tersebut dan digunakan dalam upaya perlindungan (pelestarian
ataupun penyelamatan) serta diseminasi terhadap EBT sebagai bagian warisan
budaya nasional.
Berdasarkan prinsip benefit sharing atau pembagian keuntungan, berarti setiap
penggunaan ataupun pemanfaatan EBT di luar kontekss tradisi dan ataupun untuk
tujuan komersial oleh pihak di luar komunitas pemilik EBT memerlukan PIC
sebagai konsekuensi dari hak ekslusif kepemilikan EBT oleh komunitas masyarakat
yang memelihara, mempertahankan dan mengembangkan EBT. Penggunaan ataupun
pemanfaatan EBT dilakukan melalui perjanjian (kontrak) antara pemilik EBT dan
pengguna EBT dan di dalam kontrak perjanjian inilah prinsip pembagian
keuntungan ini diterapkan.
Pelaksanaan prinsip pembagian keuntungan
di dalam setiap pemanfaatan terhadap EBT harus dilakukan adil dan seimbang dan pembagian keuntungan, finansial
dan/atau non finansial, dari keuntungan setiap pemanfaatan
EBT diberikan berdasarkan kesepakatan bersama
(Mutually Agreed Terms atau MTA)
antara komunitas pemelihara EBT dan pengguna EBT.[14]
Pelaksanaan prinsip harus dengan cara-cara yang kondusif terhadap
peningkatan sosial dan ekonomi komunitas masyarakat tradisional maupun
komunitas masyarakat lokal, menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban, dan
menjamin adanya pembagian keuntungan yang adil dan pemanfaatan EBT secara
komersial.
Penerapan prinsip kompensasi dalam
perlindungan EBT Indonesia merupakan upaya membangun partisipasi publik ataupun
masyarakat luas untuk usaha pelestarian dan penyelamatan EBT yang kaya akan nilai-nilai kearifan lokal
bangsa Indonesia agar bisa diwarisi oleh generasi yang akan datang. Penerapan
prinsip kompensasi juga diberlakukan
ketika EBT dikembangkan dengan cara memodifikasi EBT menjadi karya EBT yang
inovatif dan karya tersebut dikomersialkan.
Penerapan prinsip kompensasi baik yang
melalui mekanisme domain public payant
maupun pembagian keuntungan atau benefit
sharing atas pemanfaatan EBT memerlukan lembaga pengumpul royalti (collecting body). Lembaga ini
bertanggung jawab untuk mengumpulkan hasil pembagian keuntungan dan sekaligus
bertanggung jawab terhadap penggunaan pembagian keuntungan yaitu untuk
pelestarian dan pemgembangan EBT itu sendiri. Di Indonesia dalam rangka
penerapan prinsip kompensasi ini pemerintah dapat membentuk Lembaga Pengumpul
dan Pengelola Royalti (LPPR) atau The Collective Rights Administration Body hasil pemanfaatan EBT
Indonesia. LPPR mempunyai kewenangan untuk mengumpulkan dan mengelola hasil
pemanfaatan EBT baik berupa moneter maupun non moneter dari hasil penerapan
prinsip domain public payant ataupun
melalui penerapan prinsip benefit sharing
untuk kepentingan pelesatarian, promosi dan pengembangan inovasi kreativitas
intelektual berbasis EBT.
3.
Kesimpulan
Pendekatan perlindungan hukum kekayaan intelektual Sui-generis terhadap
EBT Indonesia diharapkan secara substantif agar lebih mampu memberikan
perlindungan sesuai dengan karakteristik EBT Indonesia dan lebih sesuai dengan
sistem nilai yang diakui serta diyakini oleh sebagian besar masyarakat
Indonesia. Pendekatan perlindungan terpadu diharapkan tidak hanya memberikan
perlindungan aspek moral dan ekonomi EBT, tapi juga melakukan konservasi
keberadaan EBT sebagai warisan budaya bangsa serta sekaligus memberikan
perlindungan untuk kepentingan komunitas masyarakat yang selama ini memelihara,
mempertahankan dan mengembangkan EBT. Prinsip kompensasi sebagai upaya
memperoleh manfaat ekonomi dari setiap penggunan EBT di luar konteks tradisi dan
penggunaan secara komersial untuk kepentingan komunitas pemelihara EBT dan
pengembangan EBT secara berkelanjutan agar keberadaan EBT masih dinikmati oleh
generasi yang akan datang.
4.
Daftar
Pustaka
Afifah Kusumadara, Pemeliharaan dan
Pelestarian Pengetahuan Tradisionaldan Ekspresi Budaya Tradisional
Indonesia:Perlindungan Hak Kekayaan Intelektualdan Non-Hak Kekayaan Intelektual, Jurnal
Hukum No. 1 Vol. 18, 18 Januari 2011
Agus SarjoNo, HKI dan Pengetahuan Tradisional, Penerbit Alumni Bandung, 2004
Christop Beat Graber , International
Trade in Indigenous
Cultural Heritage, Legal and Policy Issues, Edward
Elgar Publishing 2012
Hamilton V. Lee &
Sanders, Yoseph, Everyday Justice, Responsibility and The Individual
in Japan and United State, New Haven, Yale University Press, 1992
Paul Torremans, Copyright Law: A Handbook of Contemporary Research, Edward Elgar
Publishing Inc. Massasuchets, USA 2007
Peter Jazzi, Traditional Culture: A Step Forward
for Protection in Indonesia, Washington College of Law Research Paper No.
2010-16, American University Washington College of Law, 2010
Sathipto Rahardjo, Negara
Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya,
Cetakan II, Genta Publishing, Yogjakarta 2009
WIPO/GRTKF/IC/9/4
Annex
[1]
Kholis Roisah, adalah Tim Pengelola Klinik HKI FH UNDIP, Staf Pengajar Mata
Hukum Internasional dan HKI di Program
S1 dan S2 FH UNDIP. Paper ini disampaikan
pada Seminar Nasional dan Konferensi Tahunan Asosiasi Pengajar HKI : Strategi
Perlindungan Sumber Daya Genetik, Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya
Tradsional (SDGPTEBT) Indonesia dan Isu Terkini di Bidang HKI dalam
Liberalisasi Perdagangan Internasional,
Fakultas Hukum Udayana, Denpasar 26-27 September 2013
[2]
Dalam konteks perlindungan budaya dunia (World
Cultural Heritage) dikategorikan
warisan benda (tangible heritage)
maupun takbenda (intangible heritage).
[3] Map of Indonesian Culture http://sem2008.blogs.wesleyan.edu/files/2008/10/srihastantopaper.pdf
diakses pada tanggal 25 Mei 2010.
[4]
Daftar Representatif Budaya Takbenda
Warisan Manusia atau Representative List of the Intangible Cultural
Heritage of Humanity adalah program UNESCO yang
bertujuan menjamin Perlindungan (Safeguarding) berarti memastikan bahwa warisan budaya takbenda
tetap menjadi bagian aktif dari kehidupan generasi saat ini dan dapat
diteruskan ke generasi mendatang, termasuk identifikasi, dokumentasi, penelitian,
preservasi, perlindungan, pemajuan, peningkatan, penyebaran, khususnya melalui
pendidikan, baik formal maupun nonformal, serta revitalisasi berbagai aspek
warisan budaya tersebut. Bukan perlindungan atau konservasi dalam arti biasa yang dapat
menyebabkan warisan budaya takbenda menjadi tetap atau beku. Perlindungan
ini berfokus pada proses yang terlibat dalam
penyebaran WBTB dari generasi ke generasi, bukan pada produk kongkrit dari
manifestasi WBTB, seperti pertunjukan tari, lagu, instrumen musik atau
kerajinan. (Pasal 2 (3). Program ini dimulai tahun 2008, setelah
berlakunya Konvensi untuk Perlindungan Warisan Budaya Takbenda. Sebelumnya,
sebuah proyek yang disebut Karya
Agung atau Masterpeace Budaya Lisan
dan Takbenda Warisan Manusia telah aktif dalam mengenali nilai-nilai budaya
takbenda seperti tradisi, adat istiadat, dan ruang budaya, beserta tokoh-tokoh
setempat yang melestarikan bentuk-bentuk ekspresi budaya tersebut. Identifikasi
Karya Agung juga melibatkan komitmen dari negara-negara untuk mempromosikan dan
melindungi kekayaan-kekayaan budaya miliknya, sementara UNESCO membiayai
rencana-rencana konservasi. Seluruhnya sudah ada tiga kali pengumuman Karya
Agung Budaya Lisan dan Takbenda Warisan Manusia. Pengumuman pertama dilakukan
pada tahun 2001, dan dilakukan dua tahun sekali hingga tahun 2005, dengan total
90 bentuk-bentuk warisan takbenda dari seluruh dunia
[5] Negara Indonesia harus wujudkan: (a) membuat kebijakan umum yang bertujuan mempromosikan fungsi warisan budaya takbenda dalam masyarakat, dan mengintegrasikan
perlindungan warisan tersebut ke dalam perencanaan program; (b) menunjuk atau membentuk satu atau lebih badan yang kompeten untuk perlindungan
terhadap warisan budaya takbenda di wilayahnya; (c) mendorong studi
ilmiah, teknis dan artistik, serta penelitian, dengan maksud untuk perlindungan
efektif warisan budaya takbenda, khususnya warisan budaya takbenda yang
terancam; (d) mengadopsi langkah-langkah hukum yang tepat administratif dan teknis
keuangan bertujuan untuk: i. mendorong penciptaan atau penguatan lembaga untuk
pelatihan dalam pengelolaan warisan budaya takbenda dan penyebaran warisan
tersebut melalui forum dan ruang yang dimaksudkan untuk pertunjukan atau ekspresi
daripadanya; ii. memastikan akses terhadap warisan budaya takbenda dengan menghormati praktek
adat yang mengatur akses ke aspek-aspek spesifik warisan tersebut;iii. mendirikan lembaga
dokumentasi untuk fue warisan budaya takbenda dan memfasilitasi akses kepada
mereka.
[6] Sui Generis berasal dari ungkapan Latin
yang berati of its own, yang secara
harfiah diartikan dari jenisnya atau genusnya
sendiri (Oxford English
Dictionary (3rd)
, Oxford Dictionary Press, 2005 dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Sui_generis) dan
berkarakter unik atau unique in its
characteristics (Merrian Webster, An
Ensyclopidia Britanian Company http://www.merriam
webster.com/dictionary/solo?show=0&t=1369688439). Di bidang hukum istilah sui generis digunakan untuk menyebut
jenis jenis aturan hukum yang dibuat secara khusus untuk mengatur suatu
hal yang bersifat spesifik atau unik. Kata sui generis ini sering digunakan
dalam analisis filsafat untuk menunjukkan ide, entitas, atau suatu
realitas yang tidak dapat dimasukkan dalam konsepyang lebih luas. Dalam
hukum adalah istilah ini yang digunakan
untuk mengidentifikasi klasifikasi hukum yang ada terlepas dari kategorisasi
lain karena singularitas atau karena penciptaan spesifik dari suatu hak atau kewajiban Di bidang hukum
kekayaan intelektual status hukum sui generis berlaku eksis di beberapa negara
berkaitan perluasan perlindungan kreatiftas intelektual yang dianggap mempunyai karakter unik,
seperti di Perancis perlindungan terhadap karya cipta topeng, fashion design, data base dan varitas tanaman. Di Amerika, Jepang dan beberapa
negara Eropa perlindungan terhadap topografi, chip semikonduktor dan sirkuit
terpadu yang diatur dalam hukum cipta dan paten tetapi dalam hal inid iatur
secara sui generis. (http://en.wikipedia.org/wiki/Sui_generis
diakses 28 Mei 2013). Sui generis berasal dari bahasa latin yang berarti of its own (dalam jenisnya
sendiri). Sui generis suatu sistem yang dirancang khusus untuk mengatasi
kebutuhan khusus dan mengatAsi isu-isu teretentu. (Peter Jazzi hasil penelitian HKI dan Kesenian Tradisional dalam
lampiran Agus SarjoNo, HKI dan
Pengetahuan Tradisional, Penerbit Alumni Bandung, halaman 470)
[7]Hamilton
V. Lee & Sanders, Yoseph, Everyday
Justice, Responsibility and The Individual in Japan and United State, New
Haven, Yale University Press, 1992 dalam Sathipto Rahardjo, Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya, Cetakan II, Genta Publishing, Yogjakarta 2009,
halaman 60
[8]Peter Jazzi, Traditional Culture: A Step Forward for
Protection in Indonesia, Washington College of Law Research Paper No.
2010-16, American University Washington College of Law, 2010, halaman
21-22, dalam Afifah Kusumadar, Pemeliharaan dan
Pelestarian Pengetahuan Tradisionaldan Ekspresi Budaya Tradisional
Indonesia:Perlindungan Hak Kekayaan Intelektualdan Non-Hak Kekayaan Intelektual, Jurnal Hukum No. 1 Vol. 18, 18 Januari 2011, halaman 25
[9]
Afifah Kusumadara, Op Cit, halaman 4
[11]Tujuan
perlindungan EBT merupakan pengakuan terhadap warisan budaya masyarakat
tradisional ataupun masyarakat lokal yang mempunyai nilai-nilai instrinsik
seperti nilai sosial, budaya, spiritual ilmu pengetahuan, ekonomi dan nilai
pendidikan dan sekaligus mempromosikan dan menghormati martabat, integritas
budaya, philosofi, intelektual dan nilai spiritual dari orang-orang masyarakat
tradisional ataupun komunitas budaya yang selama ini memelihara dan
mengembangkan EBT. Disamping itu perlindungan EBT merupakan bagian
integral dari kebijakan mengenai promosi dan perlindungan kreativitas dan
inovasi, pengembangan masyarakat danstimulasi dan promosi industri kreatif
sebagai bagian dar ipembangunan ekonomi yang berkelanjutan bagi
masyarakat adat dan atau masyarakat tradisional dan komunitas budaya lainnya
dan juga sebagai upaya untuk mencegah dan mengontrol penggunaan EBT yang tidak
sesuai dengan kontekss tradisi serta mempromosikan pembagian manfaat
keuntunganpatut atas penggunaan EBT dan karya turunannya. Serta merupakan bagi
upaya untuk memelihara dan mengamankan
praktek-praktek budaya masyarkat secara berkelanjutan berkelanjutan.(Diringkas dari Objective WIPO/GRTKF/IC/9/4
Annex, page 2)
[12]Paul Torremans, Copyright
Law: A
Handbook of Contemporary Research, Edward
Elgar Publishing Inc.
Massasuchets, USA 2007, page 182
[13]Christop
Beat Graber , International Trade in
Indigenous
Cultural Heritage, Legal and Policy Issues,
Edward Elgar Publishing 2012, page 214
[14]
Prinsip pembagian keuntungan juga diterapkan dalam akses pemanfaatan sumber daya genetik dan pengetahuan
tradisional yang diadopsi dalam Convention Biological Diversity 1992 dan
diatur lebih lanut dalam Nagoya Protocol
on Acces to Genetic Resources and the Fair ant Equitable Sharing of Benefit
Sharing from Their Utilization to the Convention on Biological Diversity
2011 atau dikenal sebutan ABS Protocol.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar