Kamis, 03 April 2014



PRISMATIKA HUKUM SEBAGAI DASAR PEMBANGUNAN
HUKUM DI INDONESIA BERDASARKAN PANCASILA
(Kajian terhadap Hukum Kekayaan Intelektual)
Oleh: Kholis Roisah, SH.MHum

                                                                                Abstract
The term of “prismatika” came from the concept  'Prismatic Society' Fred W. Riggs. Prismatika law is a unique legal values​​, which distinguishes the Indonesian legal system with other legal systems that is law of Pancasila. Option between the two concepts of individualism and communalism understood as the nature of law that will influence the politics of state law will be determined by the interest value in prismatika law. The consept of prismatika  law related the development of Indonesian law is the relationship between law and society, namely the integration of law as an too of social change and law as a mirror of society. Prismatika concept of law as the law of the development IPR law paradigm based on Pancasila, IPR regulations that should be in balance  IPR moral doctrines such as the value of respect for the work of others, the value of honesty and fairness, not to imitate and moral values ​​rooted in Indonesian society that ​​communality   and spirituality value as part of the Indonesian wisdom (local wisdom). Local wisdom can be regarded  as a reflection of the customs value in a society  (living law) and the value of respect for other people's work is expected to take to encourage peoples to be more creative and innovative to produce their works and inventions in the  prismatika law context can be used as a tool for change  against the culture which is reflected in the imitate behavior to be  honest and respect other people's work
Key word: Primatika , IPR law, Pancasila
PENDAHULUAN
Hukum prismatik merupakan tata nilai hukum yang khas, yakni yang membedakan sistem hukum Indonesia dengan sistem hukum lainnya sehingga muncul istilah hukum Pancasila yang jika dikaitkan dengan literatur tentang kombinasi antara lebih dari satu pilihan nilai sosial disebut sebagai pilihan nilai prismatik yang karenanya dalam konteks hukum dapat disebut sebagai hukum prismatik. Konsep Prismatik merupakan kombinasi atas nilai sosial paguyuban dan nilai sosial patembayan. Dua nilai sosial ini saling mempengaruhi warga masyarakat, yakni kalau nilai sosial paguyuban lebih menekankan pada kepentingan bersama dan nilai sosial patembayan lebih menekankan kepada kepentingan dan kebebasan individu. Nilai prismatik diletakan sebagai dasar untuk membangun hukum yang penjabarannya dapat disesuaikan dengan tahap-tahap  perkembangan sosial ekonomi masyarakat yang bersangkutan. Nilai-nilai khas inilah yang membedakan sistem hukum Indonesia dengan sistem hukum lainnya sehingga muncul istilah hukum Pancasila yang jika dikaitkan dengan literatur tentang kombinasi antara lebih dari satu pilihan nilai sosial, disebut sebagai pilihan nilai prismatik yang karenanya dalam konteks hukum dapat disebut sebagai hukum prismatik.[1] Dan istilah prismatik itu sendiri berasal Fred W. Riggs terkait konsep “prismatic Society”.[2]
Ada empat hal supaya prismatika hukum dapat diwujudkan, pertama, Pancasila memadukan unsur yang baik dari paham Individualisme dan kolektivisme. Kedua, Pancasila mengintegrasikan negara hukum yang menekankan pada civil law dan kepastian hukum serta konsepsi negara hukum the rule of law yang menekankan pada common law dan rasa keadilan. Ketiga, Pancasila menerima hukum sebagai alat pembaharuan masyarakat (law as tool of social enginering) sekaligus hukum sebagai cermin ras keadilan yang hidup dalam masyarakat (living law). Keempat, Pancasila menganut paham relegious nation state, tidak mengendalikan agama tertentu (karena bukan negara agama), tetapi juga bukan hampa agama.Di sini negara harus melindungi semua pemeluk agama tanpa diskriminasi.
Prismatik hukum antara dua konsep individualisme dan komunalisme dipahami dalam watak hukum yang akan mempengaruhi politik hukum suatu negara akan sangat ditentukan oleh pilihan nilai kepentingan, yakni apakah akan mementingkan kepentingan perorangan ataukah akan memihak kepada kepentingan bersama. Dengan kata lain materi hukum  harus meliputi aturan baik tertulis maupun tidak tertuilis yang berlaku dalam penyelenggaraan segenap dimensi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, dan bersifat mengikat bagi semua penduduk. Memang fungsi harus mendukung stabilitas nasional yang mantap dan dinamis dan produk hukum diperlukan untuk mendukung tugas umum pemerintahan dan pembangunan nasional. Rumusan ini sangat penting demi kelancaran dan kesuksesan pembangunan ekonomi yang sangat mengesankan selama ini yang memang didukung oleh fungsi hukum yang demikian, namun sebagai bandingan perlu juga disebutkan di sini, bahwa perumusan seperti oleh sebagaian pakar dianggap terlalu konservatif karena hukum lebih diberi fungsi instrumental dari pada sentral. [3]
Peletakan hukum sebagai instrumen dan bukan sebagai sentral dalam masyarakat dan bernegara kurang sesuai dengan prinsip negara yang dianut oleh UUD 1945. Atau dengan kata lain bertentangan dengan prismatik hukum. Sebab hukum tidak dijadikan pengarah tetapi dijadikan sebagai instrumen pendukung yang berfungsi sebagai pemelihara dan pengejar tujuan pembangunan yang telah digariskan. Inilah pendapat bandingan, yang penting diketahui tanpa menaifkan obsesi bahwa pembangunan ekonomi telah berhasil ditingkatkan dan hukum harus memberi dukungan bagi obsesi tersebut.[4]
Watak hukum yang akan mempengaruhi politik hukum suatu negara akan sangat ditentukan oleh pilihan nilai kepentingan kemakmuran perseorangan ataukah kemakmuran orang banyak. Pembedaan atas banyak atau sedikitnya pemenuhankepentingan itu didasarkan pada perspektif ekonomi politik. Sementara itu dari perspektif teori sosial, bahkan dari sudut pandang ideologi pembedaan itu didikotomikan atas paham indvidualisme liberal (menekankan kebebasan individu) atau kapitalisme dan paham kolektivisme atau komunisme (yang menekankan kepentingan bersama. Akan tetapi ada paham lain yang disebut paham fanatik relegius.[5]Indonesia menolak secara ekstrem kedua pilihan kepentingan dan ideologi tersebut, melainkan mengambil segi-segi yang baik dari keduanya. Pancasila dan UUD 1945 mengakui hak-hak (termasuk hak milik) dan  kebebasan individu sebagai hak asasi, tetapi sekaligus meletakkan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi atau kelompok.[6]
Konsep prismatika hukum dalam pembangunan hukum Indonesia adalah hubungan antara hukum dan masyarakat, yakni antara pemaduan hukum sebagai alat perubahan masyarakat dan hukum sebagai cermin masyarakat. Hal ini sejalan dengan pendapat Mohtar Kusumaadmadja perlu keseimbangan diantara keduanya yaitu hukum sebagai alat dan hukum sebagai cermin budaya masyarakat; juga antara hukum sebagai alat untuk menegakkan ketertiban yang sifatnya konservatif (memelihara ketertiban) dan hukum sebagai alat untuk membangun (mengarahkan) masyarakat agar lebih maju.  Hal ini sejalan dengan konsep “living law” atau hukum yang hidup ditengah-tengah masyarakat oleh Eugen Erlich yang mengatakan hukum positif yang baik dan efektif adalah hukumyang sesuai dengan “living law” yakni yang mencerminkan nilai yang hidup dalam masyarakat.[7] Konsepsi ini selain mencerminkan nilai yang hidup dalam masyarakat juga menghendaki agar politik hukum nasional harus juga mempositifkan “living law” tersebut, sekaligus alat pendorong dan mengarahkan kemajuan masyarakat.[8]
Berdasarkan pemikiran diatas maka akan dibahas dalam makalah ini bagaimana konsep prismatika hukum sebagai dasar pembangunan  hukum berdasarkan Pancasila, terutama dalam rangka pembangunan sistem hukum kekayaan intlektual di Indonesia.
PEMBAHASAN
Di Indonesia sistem hukum HKI tersebut sudah muncul sejak Pemerintah Kolonial Hindia Belanda yaitu dengan dikealuarkannya peraturan HKI yang meliputi Auteurswet 1912 Stb.1912 No.600 bagi perlindungan Hak Cipta, Reglement Industriele Eigendom Kolonien [9]Stb.1912 No.545 jo. Stb.1913 No.214 mengenai pelindungan hak merek, dan Octrooweit 1910 S.No.33 yis S.11-33, S.22-54 mengenai perlindungan hak Paten[10].  Seperti diketahui bahwa pemerintah Hindia Belanda menerapkan potlitik pemisahan pemberlakuan (politik segregasi) hukum maka ketentuan hukum tersebut hanya berlaku untuk orang golongan Eropa di Indonesia dan masyarakat pribumi berlaku ketentuan hukum Adat yang tidak mengenal konsep kepemilikan tidak terwujud.  Setelah kemerdekaan Hukum Belanda diadopsi pemerintah Indonesia karena Pasal II Peraturan Peralihan UUD 1945 yang menyebutkan : “Bahwa Badan Negara dan Peraturan yang masih ada terus berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut UUD ini”. Setelah itu praturan hukum HKI terus berlaku sama sekarang.[11]
Indonesia sebagai negara salah satu negara yang menandatangani dan meratifikasi Establishment The World Trade Organization Agreement yang mana TRIPs Agreement merupakan salah satu persetujuan di dalamnya dengan Undang Undang nomor 7 tahun 1994. Sebagai konsekuensinya maka Indonesia dibebani kewajiban untuk mengimplementasikan system HKI sesuai dengan TRIPs Agreement ke dalam hukum nasional.
Beberapa undang-undang telah dibuat dalam rangka mengimplementasikan dan menyesuaikan dengan TRIPs Agreement yaitu Undang Undang RI nomor 30 tentang Rahasia Dagang, Undang Undang Nomor 31 tentang Disain Industri, Undang Undang nomor 32 tahun tentang Disain Tata Letak Sirkit Terpadu, Undang Undang nomor 33 tahun 2000 Varietas Tanaman, Undang Undang nomor 14 tahun 2001 tentang  paten (merupakan perubahan dari UU no 6 th. 1989, UU no 13 tahun 1997) Undang Undang nomor 15 tahun 2001 merek (pengganti UU no. 19 tahun 1992 dan UU no. 14 tahun 2001) dan Undang Undang nomor 19 tahun 2002 tentang Cipta.(pengganti UU no. 7 tahun 1987 dan UU no. 12 tahun 1997). Kesemua ketentuan Undang-Undang tersebut mengadopsi secara utuh keseluruhan prinsip-prinsip dasar perlindungan HKI berdasarkan ketetnuan TRIPs Agreement.[12] Adopsi demikian merupakan konsekuensi dari penerapan prinsip full complaince TRIPs Agreement bagi seluruh anggota WTO termasuk di Indonesia. Sedangkan politik hukum yang tercermin dalam beberapa ketentuan Undang Undang HKI tersebut diatas hanya semata-mata mengadopsi  kecenderungan nilai-nilai global terkait sistem perlindungan HKI.[13]
Secara substansi sistem HKI tersebut mengandung prinsip-prinsip tersebut dibawah ini :
-       Prinsip kepemilikan HKI sebagai hak eksklusif artinya sistem hukum kekayaan intelektual memberikan hak yang berifat khusus kepada orang yang terkait langsung dengan kekayaan intelektual yang dihasilkan. Melalui hak tersebut,pemegang hak dapat mencegah orang lain untuk membuat, menggunakan atau berbuat tanpa ijin. Kepemilikan HKI dalam bentuk hak paten, hak cipta, hak merek, hak disain industri, hak atas sirkit terpadu, hak varitas tanaman dan hak rahasia dagang.
-       Prinsip perlindungan terhadap karya intelektual diberikan oleh negara berdasarkan pendaftaran artinya perlindungan hukum terhadap karya intlektual mensyaratkan adanya kewajiban melakukan pendaftaran. Tanpa melakukan pendaftaran penghasil karya intelektual tidak dapat menuntut pihak lain yang menggunakan karya intlektualnya (kewajiban mendaftarkan tidak berlaku pemeang hak cipta dan pemegang hak rahasia dagang)
-       Prinsip pendaftaran bersifat teritorial, artinya perlindungan hukum hanya diberikan di wilayah teritorial dimana karya intelektual di daftarkan.
-       Prinsip pemisahan benda secara fisik dengan karya intelektual yang terkandung di dalam benda tersebut, artinya dalam sistem hukum kekayaan intelektual pengusaan benda secara fisik tidak secara otomatis memiliki hak eksklusif atas benda tersebut karena kepemilikan karya intelektual yang melekat pada benda tersebut masih milik penciptanya. Prinsip ini berbeda dengan prinsip hukum  atas benda berwujud (tangible) penguasaan secara fisik dari sebuah benda sekaligus membuktkan yang sah atas benda tersebut.[14]
-       Prinsip jangka waktu perlindungan terbatas, artinya sistem hukum kekayaan intelektual memberikan perlindungan dalam jangka waktu tertentu (limitative), kecuali untuk hak merek bisa diperpanjang selama merek masih digunakan dalam aktifitas perdagangan
-       Prinsip yang lebih menonjolkan perlindungan hak ekonomi daripada hak moral;
-       Prinsip hak terkait dalam ketentuan hak cipta
-       Prinsip perlindungan kekayaan intelektual yang berakhir menjadi public domain
Prinsip-prinsip tersebut diatas menunjukkan bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam substansi hukum kekayaan intelektual mengandung nilai yang individualistik, monopilistik, materialistik dan kapitalistik. Individualistik karena sistem hukum kekayaan intelektual mengakui dan melindungi hasil karya intelektual (work dan invention) sebagai kekayaan yang bisa menjadi hak milik individu; monopolistik karena hukum memberikan hak eksklusif terhadap pemegang HKI dalam jangka waktu tertentu mempunyai hak untuk mencegah pihak lain memakai ataupun menggunakan hasil karya intelektualnya (untuk hak cipta masa perlindungan sangat panjang) ; materialistik karena pemilik HKI dapat mengekploitasi sebesar-besarnya manfaat ekonomi (keuntungan materi) dari kepemilikan HKInya tanpa gangguan dari pihak-pihak lain dan kapitalistik karena system hukum HKI lebih banyak melindungi kepentingan pemilik modal sebagai pemegang HKI daripada pencipta ataupun inventor.
Doktrin moral diadopsi oleh sistem hukum HKI tersebut dengan kepemilikan eksklusif  untuk memberikan perlindungan terhadap individu pemilik HKI agar hak-haknya tidak dilanggar oleh orang lain. Artinya pemilik HKI mempunyai hak monopoli hasil karya ataupun invensinya selama masa perlindungan berlangsung. Jadi jelas sekali bahwa perlindngan HKI mengadopsi gagasan yang mengedepankan hak-hak individu atau dengan kata lain perlindungan HKI mengadopsi paham individulis. Paham ini memenerima sesorang itu memiliki harga perseorangan yang kuat, kalau hendak dikatakan mutlak, Seseorang atau individu diyakini memiliki harga moral yang intrinsik. Berdasarkan keyakinan tersebut, maka paham perseorangan mendorong otonomi seseorang dalam berpikir dan bertindak.[15] Sebagai konsekuensiya maka eksklusifitas diri sebagai individu (individual privacy) mendapat tempat dan diakui sebagai penting. Seseorang benar-benar otonom karena dilepaskan dengan hubungan specifik dengan orang. Tujuan yang ingin dicapai dicapai berpusat pada pengembangan diri sendiri.[16] Kepemilikan eksklusifnya dapat membawa konsekuensi pemilik HKI mengeksploitasi manfaat ekonomi dari hasil karyanya sebesar-besarnya tanpa gangguan dari pihak lain selama masa perlindungan dan yang menjadi pembatasannya hanyalah tidak merugikan orang lain.
Namun sesungguhnya doktrin diatas bersifat lebih luas daripada sekedar melindungi individu pemilik HKI, karena doktrin itu dapat pula diterapkan untuk melindungi pihak-pihak lain, termasuk masyarakat lokal atau tradisional atas pengetahuan tradisionalnya.[17] Disamping itu hak milik sekalipun memiliki fungsi sosial dan menjadi milik bersama (komunal). Hal ini berarti bahwa masyarakat dapat memiliki hak alami atas suatu ciptaan atau invensi yang dibuat baik oleh individu maupun melalui kerjasama kelompok.
Doktrin moral tersebut tentunya berbeda dengan kosmologi masyarkat Indonesia. Masyarakat asli Indonesia pada umumnya tidak mengenal konsep yang bersifat abstrak termasuk konsep hak atas kekayaan intelektual, masyarakat adat Indonesia tidak pernah membayangkan bahwa buah pikiran (intellectual creation) adalah kekayaan (property).[18] Cara pandang orang Indonesia tentang kebendaan adalah bersifat kongkrit. Orang Indonesia tidak mengenal tentang kebendaan sebagaimana konsep zakelijke rechten dan persoonlijke rechten yang dipunyai orang Barat.Dalam Adat hanya mengakui produk (in perse) yang dihasilkan oleh pencipta dan si pencipta hanya boleh boleh mengklaim kepemilikan produk hasil ciptaannya dan Adat tidak membolehkan pencipta untuk mengklaim ide intelektual (HKI) yang mendasar pembuatan produk karena HKI adalah tidak riel / kongkret.[19]
Walaupun Adat hanya mengakui hak individu untuk memiliki barang-barang, tapi Adat tidak membenarkan hak individu tersebut mengalahkan kepentingan publik dan mengalah prinsip “barang berfungsi sosial. Norma komunal masyarakat Indonesia yang berbeda dengan filosofis orang Barat bahwa Individu sebagai pusat perlindungan hukum. Dalam masyarakat Indonesia yang menjadi fokus perlindungan hukum bukan hak individu tapi hak komunitas[20].
Kosmologi masyarakat Indonesia menempatkan seorang individu tidak dipisahkan dari lingkungan yang mengitarinya, masyarakat, alam dan bahkan kekuatan gaib.[21] Fritjof Capra menyebutnya sebagai pandangan tradisi mistis.[22]Adat tidak mengakui kepemilikan yang bersifat monopoli karena individu serta segala yang dimilikinya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari lingkungan yang mengitarinya.[23] Hal ini berakibat bahwa seorang individu harus mempertanggungjawabkan penggunaan datau pengekploitasian hak miliknya kepada masyarakat, alam dan kekuatan gaib yang mengitarinya. Latar belakang dapat menjelaskan mengapa pada masa penjajahan Belanda hak monopoli atas karya intelektual tidak dikenal dalam masyarakat Indonesia. Karena karya intelektual tidak hanya dibutuhkan oleh individu pemiliknya tapi juga komunitas dimana pemilik karya tersebut tinggal.[24]
Hukum adat diatas yang merupakan bagian penjelamaan kearifan lokal bangsa Indonesia menunjukkan bahwa nilai-nilai, ide dasar yang mendasari perlindungan kepemilikan dan pemanfaatan kekayaan intelektual bangsa Indonesia bersifat komunal dan spritual yaitu yang tidak menonjolkan kepemilikan individu atas setiap karya ataupun temuan yang dihasilkannya dan menghasilkan karya atau invensi yang bermanfaat bagi orang bagian dari dharma ataupun ibadah. Nilai-nilai komunalitas dan spiritualitas ini tidak dipungkiri merupakan pencerminan bagian dari nilai-nilai Pancasila. Menurut Soediman Kartohadiprodjo Filasaft Pancasila memandang  bahwa struktur dasar hakiki dan keberadaan manusia adalah kebersamaan dengan sesama manusia, saling ketergantungan antar manusia dan antar manusia dengan alam  dan ketergantungan pada Tuhan Yang Maha Esa.
Tidak bisa dipungkiri melihat perkembangan sistem hukum kekayaan intelektual di Indonesia seperti sudah dijelaskan diatas maka  sistem hukumHKI bukan konsep asli Indonesia atau tidak tumbuh dari masyarkat Indonesia sendiri (not developed within context) dan tidak berakar pada kehidupan sosial masyarakatnya  (not rooted peculiar from of social life).[25] Tapi merupakan produk impor atau istilah Tamanaha ”imposed from out side” atau suatu bangunan yang dipaksakan dari luar.[26] Sistem hukum kekayaan intelektual di Indonesia adalah adopsi dan transpalansi melalui politik konkordasi kolonial Belanda dan reaksi atau bahkan desakan arus globalisasi.
Dapat dikatakan juga bahwa penyusunan perundang-undangan HKI di Indonesia merupakan tindakan transplantasi Hukum Asing ke dalam sistem hukum nasional. Sebagaimana transplantasi organ tubuh manusia, jika cocok dengan tubuh penerima, maka tranplantsi akan berdampak menyembuhkan. Sebaliknya jika organ yang ditraplantasikan tidak cocok bagi tubuh penerima akan berakibat fatal. Demikian pula halnya tranaplantasi sistem hukum HKI. Jika hukum asing tersebut cocok dengan sistem hukum yang berlaku di Indonesia, maka akan membawa manfaat bagi bangsa Indonesia. Sebaliknya jika tidak cocok, maka transplantsi akan sangat merusak sistem hukum Indonesia secara keseluruhan.[27] Atau bahkan kemungkinan transplantasi tidak sesuai tersebut akan membawa faktor kriminalisasi perilaku masyarakat yang sebelumnya merupakan perilaku yang biasa menjadi perilaku yang melanggar hukum (tindak pidana), seperti perilaku masyarakat yang membuat produk berdasarkan disain yang sudah ada sebelumnya. [28].
Budaya hukum masyarakat Indonesia yang menunjukkan interaksi masyarakat dengan Sistem hukum kekayaan intelektual  salah satunya dapat digambarkan  melalui  perilaku masyarakat dalam memperoleh HKI . Data di Kantor Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Departemen RI di Jakarta untuk paten sampai bulan Nopemeber 2009 jumlah pendaftar hak paten 67.149 ( dengan komposisi 64.025 untuk pemilik asing dan hanya 3.134 pemilik lokal). Jumlah pendaftar  hak merek kurang lebih 600 ratus ribuan.[29] Jumlah tersebut sangat kecil dibandingkan dengan pelaku usaha di Indonesia yang jumlah 49.8 juta.[30] Disamping itu semakin meningkatnya kasus sengketa HKI di Pengadilan dan banyaknya iklan somasi-somasi pelanggaran merek dan cipta di koran-koran menunjukkan gambaran budaya hukum masyarakat terkait sistem hukum kekayaan intelektual. Gambaran ini menunjukkan bahwa integrasi masyarakat Indonesia terhadap sistem HKI masih sangat lemah karena sistem HKI yang individualistik dan monopolistik tidak berakar pada sistem sosial (rooted of social life) masyarakat Indonesia yang komunal dan spiritual.
Politik hukum nasional adalah upaya menjadikan hukum sebagai proses pencapaian cita dan tujuan negara,  yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur,  maka sistem HKI pun seharuskan juga bertujuan ke arah tersebut. Tujuan sistem HKI disamping merangsang kreatifitas masyarakat juga bertujuan meningkatkan volume investasi di Indonesia. Dengan meningkatnya volume investasi maka pertumbuhan ekonomi dan  lapangan kerja tersedia sehingga kemakmuran masyarakat dapat diharapkan.  Akan tetapi tujuan tersebut sampai sekarang belum terwujud terutama tujuan peningkatan investasi karena peraturan yang tidak jelas tentang kewajiban melakukan investasi di wilayah Indonesia bagi pemilik HKI asing yang menginginkan perlindungannya (dengan melakukan pendaftaran HKInya) di wilayah Indonesia.
Sehingga kalau berbicara sistem hukum nasional harus harus selalu bersumber pada Pancasila dan UUD 1945, maka sistem hukum HKI sebagian dari sistem hukum nasional yang tidak mengakomodir bagian dari nilai-nilai Pancasila (spiritual dan komunal) dapat dikatakan sebagai sistem hukum nasional yang tidak sempurna atau bahkan bukan sistem hukum nasional.[31] Berdasarkan hal tersebut pemikiran tersebut maka untuk itu perlu melakukan rekonstruksi politik perlindungan HKI dalam rangka pembaharuan sistem hukum nasional yang lebih konsisten dengan falsafah Pancasila dan UUD 1945 dengan mengakomodir nilai-nilai kearifan lokal yang merupakan cerminan nilai-nilai Pancasila sebagai basisnya dan juga tidak mengabaikan nilai nilai global.
Dalam konsep prismatika hukum sebagai paradigma politik hukum perlindungan HKI maka seharusnya dalam perundangan perundangan HKI tidak mengabaikan ataupun meninggalkan nilai komunalitas dan spritualitas sebagai bagian kearifan bangsa Indonesia. Kearifan lokal dapat dikatakan sebagai cerminan nilai adat kebiasaan dalam suatu masyarakat tertentu. Adat kebiasaan pada pada dasarnya teruji secara alamiah dan niscaya bernilai baik, karena adat kebiasaan merupakan tindakan sosial yang berulang-ulang dan mengalami penguatan (reinforcement). Apabila tindakan tidak baik oleh masyarakat maka ia tidak akan mengalami penguatan secara menerus. Pergerakan secara alamiah terjadi secara sukarela karena dianggap baik atau mengandung kebaikan.[32] Nilai-nilai yang dianggap baik pada dasarnya merupakan azas-azas moral yang menuntun perilaku-perilaku yang dipandang patut dalam masyarakat dan bahkan menjadi pedoman normatif yang hidup (the living law) masyarakat Indonesia yang kemudian digabungkan dengan doktrin moral yang baik dalam sistem perlindungan HKI yang mengacu pada Trips Agreement.
Doktrin moral dalam sistem perlindungan hak kekayaan intelelektual mengambil dokrin moral yang baik seperti nilai penghormatan terhadap hasil karya orang lain, nilai kejujuran dan keadilan  untuk tidak meniru atau menggunakan hasil karya dan temuan  orang lain  tanpa meminta persetujuan lebih dahulu dan  doktrin  diharapkan dapat membawa pemicu masyarakat agar lebih kreatif dan inovatif untuk  menghasilkan karya ciptanya da temuannya. Doktrin moral demikian yang tercermin dalam perundang-undangan HKI dalam konteks prismatika hukum dapat dipakai sebagai alat untuk melakukan perubahan (tool of social chance) terhadap budaya masyarakat yang tercermin dalam perilaku suka meniru dan menggunakan karya dan temuan orang tanpa minta ijin terlebih dahulu menjadi menjadi perilaku yang jujur dan  menghargai karya orang lain misalnya mencantumkan pencipta asli ketika memproduksi karya yang sama. Walaupun perilaku demikian dimaklumi karena budaya hukum kepemilikan yang tidak berwujud (intengible) memang tidak dikenal dalam konsep hukum Adat Indonesia.
Disamping itu kosmologi masyarakat yang tidak begitu saja dilepaskan dalam komunitas sosialnya (komunal) maka hal membawa dampak  budaya meniru tumbuh subur dalam perilaku masyarakat Indonesia . Sudah menjadi hal yang dianggap biasa ketika seseorang menghasilkan suatu produk  tertentu yang  merupakan hasil tiruan karya cipta orang lain sebelumnya terutama hal banyak terjadi dalam komunitas – komunitas industri kecil. Bagi pencipta sendiri ketika karyanya ditiru orang lain ada kebanggaan dan kebahagiaan tersendiri karena karyanya memberikan manfaat bagi orang lain dan bahkan menjadi bagian amal ibadahnya (nilai sipitual). Nilai komunal dan spiritual merupakan nilai-nilai yang hidup yang menjdi pedoman perilaku masyarakat (living law) dalam komunitas-komnitas pengahasil kekayaan intelektual. Maka itu untuk mengakomodir budaya komunal perlu diintrodusir dalam ketetentuan konsep kepemilikan  HKI (paten, merek, cipta, disain indusri dan varitas tanman) yang berbasis kepemilikan kolektif  atas nama komunitas-komunitas penghasil kekayaan intelektual tertentu (komunitas kreator ataupun inventor) atau komunitas-komunitas pemangku penghasil kekayaan intelektual berbasis pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradsional yang tidak selalu mensyaratkan harus berbadan hukum. Artinya komunitas-komunitas tersebut dapat menjadi subyek hukum kepemilikan HKI.
 Disamping itu yang perlu dipahami bagaimana menempatkan kepemilikan HKI  dalam konteks komunal artinya pemilik HKI dengan hak eksklusifnya yang bersifat monopoli tapi juga dibarengi dengan kewajiban tertentu seperti misalnya melakukan lisensi wajib  bilamana hasil temuannya dibutuhkan publik yang lebih luas ataupun suatu karya yang sedang dalam perlindungan HKI boleh digunakan secara leluasa bilamana ada  kepentingan sosial atau publik yang lebih luas.
KESIMPULAN
Pembentukan azas dan kaedah perlindungan HKI dalam sistem hukum HKI di Indonesia yang lebih menonjolkan nilai-nilai berasal arus global yaitu individulaistik dan kapitalistik tanpa mengakomidir konsep perlindungan kekayaan intelektual berdasarkan nilai – nilai yang berasal dari bangsa Indonesia sendiri yang sampai sekarang masih dianut oleh sebagian besar masyarakat Indonesia (living law) yaitu nilai komunal dan spiritual  yang juga bagian nilai-nilai Pancasila. Hal ini  menunjukkan bahwa politik hukum pembangunan sistem hukum  HKI masih belum konsisten dengan falsafah dasar dan cita hukum bangsa Indonesia yaitu Pancasila. Maka untuk itu perlu pembaharuan sistem hukum HKI Indonesia dengan politik hukum yang lebih mengakomodir nilai-nilai kearifan lokal bangsa Indonesia yang komunal dan spiritual sebagai basisnya dan sekaligus juga mengadopsi nilai-nilai global yaitu kejujuran dan penghormatan terhadap kekayaan intelektual sehingga menjadikan sistem hukum HKI yang lebih membumi (istilah prof. Agus Sarjono) atau istilah Prof. Satjipto Rahardjo berakar pada sistem sosialnya (rooted of social life/system) atau pula mencerminkan konsep prismatika hukum.















DAFTAR PUSTAKA :
1.    Afifah Kusumadra, HKI Dalam Sistem Hukum Adat Di Indoensia, Jurnal Arena Hukum, nomor 12 tahun 2000
2.    Agus Sarjono, Membumikan HKI di Indonesia, Nuasa Aulia, 2009
3.    Agus Sardjono, Pengetahuan Tradisional; Studi Mengenai Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual Atas Obat-obatan, (Jakarta: Pascasarjana Fak. Hukum UI, 2004
4.    Ali Afandi,Kedudukan dan Pengaruh Hukum Asing dalam Tata Hukum di Indonesia, Universitas Gajahmada, Yogja, 1971
5.    Arief Sidharta, Cita Hukum Pancasila, Bahan Kuliah Program PDIH Universitas Diponegoro, Angkatan XV tahun 2010
6.    Brian Z Tamanaha : A general Jurisprudence of Law and Society, Oxford University Press, NY, reprinted 2006
7.    Budi Santoso, Pengantar Hak Kekayaan Intelektual,  Pustaka Magister, Semarang 2008)
8.    Elias M. Award, System and Analysis and Design, Richard D Irwin, Homewood, Illinois, 1979
9.    Fritjof Capra: The Turning Point, Science, Society and Rising Culture, Bantam Book New York, Penerjemah M. Thoyibi, (Titik Balik Peradaban, Saint, Masyarakat dan Kebangkitan Kebudayaan), Cetakan ke 7, Penerbit Jejak, Yogjakarta 2007,
10.  Glenn R. Butterton, Norms and Property in the Middle Kingdom, (Wisconsin Law Journal, Vol. 15, No. 2, 1997)
11.  Hamilton V. Lee &  Sanders, Yoseph,  Everyday Justice, Responsibility and The Individual in Japan and United State, New Haven, Yale University Press, 1992
12.  Heliantoro, Undang Undang Paten Berwawasan Nasional dan Internasional, Hukum dan Pembangunan no. 4 tahun 1987
13.  I Ketut Gobyah, Berpijak pada Kearifan Lokal, http//www.balipos.co.id
14.  Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, LP3ES, 2006
15.  Satjipto Rahardjo, Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya, Cetakan II, Genta Publishing, Yogjakarta 2009
16.  Satjipto Rahardjo, Bahan  Mata Kuliah Teori Hukum. Program PDIH UNDIP, tahun 2009
17.  Sartini, Menggali Kearifan Lokal Nusantara Sebuah Kajian Filsafati, hal. 1,
18.  S. Swarsi Geriya dalam Menggali Kearifan Lokal untuk Ajeg Bali,  http//www.balipos.co.id
19.  Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni, Bandung, 1991
20.  R. Soepomo, Bab-bab tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, 1982
21.  Surahman,http//www.suarapembaharuan.com/new/199711/21119/opED/opini02/opini02html, 1997
22.  Ter Haar :mendifinisikan hal ini sebagai :”the non-material environment, the external environment and a part of material the world”, Lihat Ter Haar :Adat Law in Indonesia, 1948
23.  Tomi Suryo Utomo, Hak Kekayaan intelektual Di Era Global, Sebuah Kajian Kontemporer, Graha Ilmu, Yogjakarta 2009,














[1]Mahfudz MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, LP3ES, 2006, halaman . 23
[2] Fred W. Riggs, Administration in Developing Countries: The Theory of Prismatic Society, Boston: Houghton Miffin Company, 1964; Mahfudz MD, Ibid . 23.
[3] Mahfudz MD., Pergulatan Politik Hukum di Indonesia, Yogyakarta: Gama Media, 1999, hal. 40
[4] Demikian ungkapan Satjipto Rahardjo sebagaimana dikutip oleh Mahfudz MD, Ibid,  hal. 39.
[5] Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, (Bandung: Alumni, 1991, hal
[6] Mahfud MD. Op Cit 24
[7] Mohtar Kusumaatmadja : Konsep-konsep Hukum dan Pembangunan, Pusat Studi Wawasan Nusantara, Hukum dan Pembangunan dan PT Alumni Bandung 2002, hal 13-14; dalam Mahfud MD, Pembangunan Politik,hal. 29
[8] Mahfud MD, Ibid hal 29

[10] Budi santoso, Pengantar Hukum Kekayaan Intelektual, Pustak Magister, tahun 2000., halaman 29
[11] Afifah Kusumadra, HKI dalam Sistem Hukum dat di Indonesia,Jurnal Arena Hukum, nomor 12 tahun 2000,  hal 3
[12] Bagi negara anggota WTO mempunyai kewajiban untuk membuat peraturan HKI mengacu pada Bern Convention, Paris Convention, Rome Convention dan Wasington Treaty (Article 3 TRIPs Agreement)
[13] Politik hukum terlihat dalam konsideran dari Undang Undang 30,31,32 tahun 2000 huruf a. bahwa untuk mewujudkan industri yang mampu bersaing dalam lingkup perdagangan nasional dan internasional perlu diciptakan iklim yang mendorong kreasi dan inovasi masyarakat dengan perlindungan hukum terhadap rahasia dagang sebagai bagian dari sistem HKI, (b) Bahwa Indonesia telah menandatangani Agreement Establishment The WTO yang mencakup TRIPs Agreement dengan UU no. 9 tahun 1994 maka perlu diatur ketentuan mengenai rahsia dagang, disan industri dan disain tata letak siskit terpadu. Konsideran huruf Undang Undang no. 14 tahun 2001 : (a)Bahwa sejalan dengan ratifikas Indonesia pada perjanjian internasional, perkembangan teknoloi, industri dan perdagang yang semakin pesat diperlukan Undang Undang Paten yang dapat memberikan yang wajar bagi inventor. Konsideran Undang Undang no. 15 tahun 2001; (a) bahwa di dalam era perdagangan global, sejalan dengan konvensi-konvensi internasional yang telah diratifiasi Indonesia, peranan merek menjadi sangat penting terutama dalam menjaga persaingan usaha yang sehat. Konsideran Undang Undang Undang Undang noor 19 tahun 200; (b) Bahwa Indonesia telah menjadi anggota berbagai konvensi/perjanjian internasional di bdang HKI pada umumnya dan Hak Cipta pada khususnyayang perlu pengejawantahan lebih lanjut dalam sistem ukum nasional (b) bahwa perkembang di bidang perdagang, industri dan investasi telah sedemian pesat sehingga perlu meningkatkan perlindungan bagi Pencipta dan Pemilk Hak Terkait dengan tetap mempertimbang kepentingan masyarakt luas
[14] Tomi Suryo Utomo, Hak Kekayaan intelektual Di Era Global, Sebuah Kajian Kontemporer, Graha Ilmu, Yogjakarta 2009, hal. 15
[15] Satjipto Rahardjo, Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya, Cetakan II, Genta Publishing, Yogjakarta 2009, hal. 60
[16] Hamilton V. Lee &  Sanders, Yoseph, Everyday Justice, Responsibility and The Individual in Japan and United State, New Haven, Yale University Press, 1992 dalam Sathipto Rahardjo, Ibid hal 60
[17]Agus Sardjono, Op. Cit., hal. 20.
[18] Agus sarjono, Ibid, hal 72
[19] Heliantoro, Undang Undang Paten Berwawasan Nasional dan Internasional, Hukum dan Pembangunan no. 4 tahun 1987. hal. 372
[20] R. Soepomo, Bab-bab tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, 1982, hal. 16
[21] Ali Afandi,Kedudukan dan Pengaruh Hukum Asing dalam Tata Hukum di Indonesia, Universitas Gajahmada, Yogja, 1971, hal. 7-8. Bandingkan pendapat Sathipro Rahardjo : Masyarakat yang berwatak kontekstual, maka di dasar masyarakat tersebut terletak filsafat holism. Disini terdapat kecenderungan untuk tidak memisahkan (separate out) seseorang dari  konteks sosialnya. Segalanya lalu  menjadi socio centric. Kita akan melihat cara-cara seseorang bertindak dalam  konteks atau keseluuhan. Berbeda dengan dengan individualisme dimana seseorang otonom, maka dalam kontekstualime kita menjumpai seseorang sebagai berada dalam keterhubungan dengan orang-orang lain (interconnected individuals)
[22] Fritjof Capra: The Turning Point, Science, Society and Rising Culture, Bantam Book New York, Penerjemah M. Thoyibi, (Titik Balik Peradaban, Saint, Masyarakat dan Kebangkitan Kebudayaan), Cetakan ke 7, Penerbit Jejak, Yogjakarta 2007, hal. 323-324 mengatakan :titik pandang sistem, baik determinisme maupun kebebasan merupakan konsep yang relatif yaitu adanya kebergantungsn pada linkungan melalui interkasi yang terus menerus, aktifitas akan dibentuk oleh pengaruh lingkungannya. Konsep kehendak bebas yang relatif ini tampak konsisten dengan pandangan-pandang tradisi mistis yang mendorong para pengikutnya untuk melampui pengertian diri yang terpisah yang terpisah dan sadar bahwa kita merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kosmos yang melingkupi kita. Tradisi-tradisi adalah untuk menumpahkan sepenuhnya seluruh ego dan dalam pengalaman mistis muncul dalam totalitas kosmos
[23] Ter Haar :mendifinisikan hal ini sebagai :”the non-material environment, the external environment and a part of material the world”, Lihat Ter Haar :Adat Law in Indonesia, 1948, hal. 53
[24] Afifah Kusumadra: Konflik Hukum HKI dan Hukum Adat Di Indonesia, Jurnal Arena no 12 tahun 2000, FH UNBRA, hal 5
[25] Satjipto Rahardjo, Bahan  Mata Kuliah Teori HukumProgram PDIH UNDIP 2009
[26] Brian Z Tamanaha : A general Jurisprudence of Law and Society, Oxford University Press, NY, reprinted 2006, hal. . Istilah ini kemudian sering dipergunakan oleh Satjipto Rahardjo dalam banyak bukunya untuk menjelaskan fenomena ketidak cocokan (mimacth) budaya yang diintrodusir oleh Barat dengan budaya hukum bangsa Timur. Bandingkan pendapat Anton Christop :”Indonesia Intellectual Property Law in Context” dalam Taylor, Veronica, Asian Laws Australia Eyes , LBC Information Service, 1997, halaman 402-403 :Hukum HKI di Indonesia bukanlah sejak awal dikembangkan oleh Bangsa Indonesia sendiri. Sebelum kemerdekaan pemerintah Hindia Belanda mengundangkan  hukum HKI yang tidak diterapkan untuk orang pribumi karena politik segregasi (pemisahan) untuk golongan Eropa yang dipersamakan dengan hukum Belanda dan untuk hukum pribumi berlaku hukum Adat
[27] Agus Sarjono, Op Cit. Hal. 17
[28] Kemungkinan tersebut seperti statemen Konggress PBB ”..the importation of foreind cultural pattern which did not harmonize with the indiginouse cultural had criminogen effect”, Bahan kuliah  Mahasiswa Angkatan XV PDIH UNDIP mata kuliah Pembaharuan Hukum Nasional  oleh Prof.Dr. Nawawi Arief, tahun 2010
[29] Data angka diambil di Website http//www.dgip.go.id.stastistk pendaftaran hki
[30] Data angka diambil BPS 2008 dalam makalah Deputy Departemen Koperasi dan UKM, Pentingnya Mensinergikan Program Proram dari Perguruan Tinggi, Dunia Ushadan Pemerintah Dalam Pemanfaatan Sistem HKI Bagi UKM, Seminar Nasional Kolabolrasi Pemerintah-Perguruan Tinggi-Kalangan Industri di bidang Transfer Technologi dan Komersialisasi HKI, Jakarta 23 Nopember 2009
[31] Menurut Prof.Dr.Barda Nawawi Arief sistem hukum yang tidak mengandung salah salah satu nilai-nilai Pancasila yang  KeTuhan, humanis dan kemasyarakatan  bukan sistem  hukum nasional Indonesia. Kuliah Pembaharuan Hukum  Nasional , Program PDIH UNDIP, Angkatan XV 2009
[32] Sartini.  Menggali Kearifan Lokal Nusantara Sebuah Kajian Filsafati, hal. 2,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar