Kamis, 03 April 2014

Perlindungan EBT dalam Sistem HKI



Perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional
Dalam Sistem Hukum Kekayaan Intelektual
Oleh : Kholis Roisah
Abstract
The exsisting law of intellectual property had enable to protect incomprehensive against cause that is difference between the characteristics of both IPR and TCE, related form of expression  ideas; orientation creation or invention , indications, construction existence, content of rights , the identity of the creator or inventor and the underlying value system of protection Although both same from human intellectual creativity both of  between IPR and EBT that is a difference in character. Forms of IPR should be embodied in the idea (in material form), (novelty) and (originality), in the form of TCE can be in the form of verbal expression / oral, expression of motion or sound expressions (intangible) and  idea of ​​TCE must be contained and produced as an act and knowledge as well as specific techniques rooted hereditary tradition. Creator of the IPR are clearly identified, orientation produces creation or finding more towards economic incentives and IPR is constructed as an intangible movable property so that it can be the object of property rights. It is different in TCE, the original creator is unknown identification, orientation to produce a creation to continue cultural traditions. and the creation is constructed as a cultural heritage cultural identity. IPR system base on individualistic and monopolistic value, and TCE systembase base on comunal and sipiritual value

1.    Pendahuluan   
Kekayaan intelektual merupakan kreatifitas yang dihasilkan dari olah pikir manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan dan kesejahteraan hidup manusia.  Kreatifitas manusia  yang muncul sebagai asset intelektual seseorang telah lama memberi pengaruh yang signifikan terhadap peradaban manusia, antara lain melalui penemuan-penemuan (inventions) dan hasil-hasil di bidang karya cipta dan seni (art and literary work) [1] Semakin berkembang kreatifitas seseorang maka semakin berkembang juga peradaban manusia. Pada akhirnya diperlukan pengakuan dan juga penghargaan (reward) terhadap hasil kreatifitas seseorang  dengan tatanan hukum yang disebut rejim hukum hak kekayaan intelektual. Rejim hukum ini  memberikan perlindungan terhadap hasil karya penemu (inventor) atau pencipta dari pihak lain yang secara tidak sah menggunakan ataupun memanfaatkan hasil karyannya. Selain itu rejim hukum HKI juga memberikan perlindungan terhadap kepentingan ekonomi dari hasil temuan ataupun  karya cipta penemu atau pencipta. Perlindungan hukum bertujuan untuk memberikan rangsangan untuk menghasilkan temuan atau karya cipta yang lebih inovatif. Ruang lingkup rejim HKI meliputi hak paten, merek, disain industri, cipta, rahasia dagang, disain tata letak sirkit terpadu dan varietas tanaman.
Perlindungan hukum terhadap HKI mengalami perkembangan yang sangat pesat dalam tatanan internasional dan bahkan menjadi salah satu issue pada pada era globalisasi dan liberalisasi sekarang ini. Khusunya sejak disepakatinya perjanjian internasional  tentang Aspek-aspek Hak kekayaan Intelektual dalam Perdagangan (Trade Related Aspects of Intellectual Property Right-TRIPs Agreement), yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari perjanjian  tentang Pendirian World Trade Organization (WTO) yang  telah diratifikasi oleh 150 lebih negara di dunia . Perjanjian ini mengukuhkan penegakan hukum (law enforcement) yang lebih dan memperluas ruang lingkup perlindungan HKI dari perjanjian internasional sebelumnya yang diprakarsai oleh World Intellectual Property Organization (WIPO).seperti Perjanjian Bern (art and literary work)  dan  Perjanjian Paris (Intellectual Property) dan Perjanjian Washington.
Banyaknya Negara yang menjadi peserta perjanjian TRIPs menunjukkan,  kepedulian masyarakat internasional terhadap perlindungan HKI. Hal ini membawa dampak terhadap upaya peningkatan perlindungan HKI di tinkgat lokal /nasional termasuk Indonesia. Pada dasa warsa terakhir ini Indonesia telah meratifikasi perjanjian-perjanjian internasional di bidang HKI dan melakukan revisi juga mengeluarkan peraturan baru di bidang perundang undangan HKI.
Walaupun demikian perkembangan di bidang perlindungan HKI dihadapkan pada isu yang menyangkut kepentingan potensi kekayaan intelektual yang berasal dari  sebagian besar Negara berkembang termasuk Indonesia, yaitu perlindungan  kekayaan intelektual berbasis pengetahuan tradisional atau tradisional knowlegde (TK), traditional cultural expression (TCe) atau folklore  dan genetic resources (GR). Kekayaan intelektual tradisional yang berupa karya cipta ataupun pengetahuan merupakan hasil kreativitas seseorang atau kelompok masyarakat  sebagai ungkapan tradisi budaya   turun temurun dari satu generasi  ke generasi   dalam rangka memenuhi kebutuhan dan kesejahteraan hidupnya yang ditransmisikan secara lisan dan penciptanya anonim.[2]  Suatu kekayaan tradisional dapat berupa karya cipta tradisional (folklore) dan pengetahuan tradisional (traditional knowledge). Folklor  adalah hasil karya tradisional sebagai ungkapan seni (Traditional Cultural Expressions) dan Traditional Knowledge adalah aspek pengetahuan yang mengandung unsur teknologi.[3] Ciri yang  melekat pada hasil karya ataupun temuan tradisional mengandung nilai-nilai kearifan dalam hubungan manusia dengan manusia, dengan alam dan Tuhannya. Kekayaan intelektual tradisional ini   dilestarikan, dikembangkan serta dijadikan bagian identitas budaya terutama oleh kelompok masyarakat lokal dan atau masyarakat yang adat  yang berada di sebagian besar wilayah Negara berkembang dan Indonesia.
Persoalan terjadi pada ekspresi budaya tradisional atau EBT (Traditional Cultural Expressions/Expressions of Folklore) sebagai salah satu bentuk dari kekayaan intelektual tradisional. EBT memiliki nilai budaya yang sangat besar sebagai bentuk warisan budaya yang terus menerus berkembang bahkan dalam masyarakat modern di penjuru dunia. Sementara di sisi lain, mereka juga memegang peran penting sebagai bagian dari identitas sosial dan wujud ekspresi budaya dari suatu masyarakat lokal.
 Ekspresi budaya tradisional Indonesia juga mempunyai potensi ekonomi yang menjanjikan terutama terkait dengan industri pariwisata dan industri ekonomi kreatif.  Di bidang industri pariwisata misalnya, industri pariwisata di Bali yang hampir semuanya berbasis EBT   mempunyai sumbangan yang sangat besar sebagai sumber  pendapatan ekonomi daerah dan menjadikan Bali dikenal seluruh dunia. Di bidang industri ekonomi kreatif terutama produk kerajinan berbasis EBT seperti, kerajinan batik, ukir kayu, ukir tembaga, perak adalah produk mempunyai sumbangan yang cukup besar untuk menyumbang devisa negara.
Namun perkembangan teknologi modern terutama di bidang telekomunikasi dapat menimbulkan berbagai penggunaan secara tak pantas dari EBT yang ada. Berbagai bentuk komersialisasi terhadap  EBT terjadi bahkan hingga tingkat global tanpa seijin masyarakat adat pemiliknya. Komersialisasi ini juga disertai dengan berbagai bentuk distorsi, pengubahan maupun modifikasi terhadap EBT secara tidak pantas
Kasus-kasus yang terjadi belakangan ini di Indonesia, walaupun belum ada penyelesaian secara hukum. Kasus mebel ukir Jepara, yaitu pengusaha asing P.T. Harrison & Grill-Java mendaftarkan katalog yang berisi gambar-gambar desain mebel ukir tradisional Jepara, kemudian dengan berpegang hak cipta atas katalog tersebut Harrison melakukan somasi untuk  melarang para pengrajin lokal   memproduksi model ukiran yang tertera di dalam katalognya[4]. Lebih tragis lagi beberapa motif tradisional yang menjadi bagian perjalanan sejarah budaya ukir perak Bali seperti batun timun, batun poh, parta ulanda, kuping guling dan jawan (ada sekitar 1.800 motif lagi) didaftarkan oleh para warga asing baik yang tinggal di Indonesia maupun di luar negeri, bahkan ada beberapa pengrajin lokal yang sudah digugat oleh para pengusaha asing di Indonesia sendiri maupun di negara tujuan ekspor yang dituduh melanggar hak cipta[5]. Kasus pengrajin perak tradisional perak di Bali yang dituntut oleh pengusaha raksasa asing atau juga pengrajin perak yang digugat di pengadilan Negara Bagian Amerika oleh pengusaha Amerika belum lagi adanya fakta bahwa sebagian besar desain perak tradisional di daftarkan hak ciptanya oleh sebagian besar pengusaha Asing.
Kasus-kasus klaim kepemilikan kekayaan budaya tradisional milik bangsa Indonesia oleh negara tetangga seperti misalnya penggunaan lagu tradisional Rasa Sayange sebagai jingle iklan Visit Malaysia tanpa otorisasi masyarakat adat Maluku sebagai pemiliknya, hingga memancing kontroversi antara dua negara karena muncul anggapan telah terjadi pelecehan terhadap budaya tradisional Indonesia disamping issue klaim pemilikan oleh pihak Malaysia atas Batik Parang, Reog Ponorogo, Angklung dan terakhir Tari Pendhet.
EBT merupakan bagian identitas budaya yang berproses sangat panjang melintasai beberapa generasi yang sampai sekarang tetap eksis, dipertahankan   dipelihara , dikembangkan dan digunakan oleh komunitas masyarakat adat / lokal untuk kelangsungan dan kesejahteraan hidupnya. Kemudian ketika sistem hak kekayaan intelektual muncul maka eksistensi EBT menghadapi tantangan terutama yang terkait dengan upaya memberikan perlindungan terhadap EBT. Terdapat diskursus tentang upaya memberikan perlindungan terhadap EBT, di satu sisi ada keinginan sejumlah pihak untuk mengupayakan perlindungan hukum terhadap EBT  tapi di pihak lain berkeinginan untuk tetap membebaskan EBT dari perlindungan apapun.
Beberapa gambaran diatas tampak jelas jika berbagai bentuk pelanggaran, penyerobotan dan penggunaan tidak pantas terhadap EBT itu belum ada usaha menangani, mengendalikan dan mengatasinya bahkan rezim hukum yang eksis pun belum cukup melindungi secara memadai,  maka hal ini akan berdampak buruk. Dampak itu tidak hanya dirasakan oleh komunitas masyarakat adat pemilik EBT bahwa nilai budaya dan identitas sosialnya dilecehkan dan bahkan secara perlahan terdistorsi dan kehilangan nilai-nilai budaya dan adat istiadat yang sakral dan luhur, berubah menjadi sekedar komoditas komersial belaka. Inilah yang menjadi latar belakang perlunya sistem hukum yang dapat memberikan perlindungan secara komprehensif terhadap  EBT.

2.    Pembahasan
1.       Pengertian Ekspresi Budaya Tradisional
Secara etimologis Ekspresi Budaya Tradisional atau Traditional Cultural Exspression yang terdiri dari kata ekspresi atau exspression yang artinya ekspresi pengungkapan atau proses menyatakan (yaitu memperlihatkan atau menyatakan maksud, gagasan, perasaan, dsb.).[6] Sedangkan Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latincultura” (Colere).[7]. Maksudnya adalah usaha untuk memperbaiki kehidupan dengan segala daya upaya dan cara-cara ilmiah untuk membesarkan hasilnya.[8] Koentjaraningrat mendefinisikan kebudayaan sebagai “hal-hal yang bersangkutan dengan budi dan akal” sebab konsep kebudayaan berarti: “keseluruhan dari hasil budi dan karyanya itu[9] Selanjutnya menurut Koentjaraningrat budaya adalah keseluruhan prinsip-prinsip gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan cara belajar[10]. Kata tradisional (traditional) berasal dari kata tradisi yang artinya  adat kebiasaan turun temurun yang masih dijalankan dalam  masyarakat.[11] Hal ini  dapat diartikan sebagai  keseluruhan prinsip-prinsip yang merupakan ungkapan ide, gagasan, tindakan  dan hasil karya manusia sebagai ungkapan tradisi turun temurun dalam masyarakat.
Di dalam Tunisia Model 1976  pengertian folklor dapat diketahui pada Section 18 :
Folklore” is  all literary, artistic and scientific works created on national territory by authors presumed to be nationals of such countries or by ethnic communities, passed from generation to generation and constituting one of the basic elements of the traditional

Diperkenalkannya istilah yang disebut “expression of Folklore.” Istilah ini digunakan untuk mendefinisikan bentuk folklor secara khusus, yaitu folklor sebagai bentuk ekspresi budaya. Model Provisions for National Laws on the Protection of Expressions of Folklore Against Illicit Exploitation and Other Prejudicial Actions 1982  menggunakan istilah ini  untuk menjelaskan[12]:
“Expressions of folklore” means poductions consisting of characteristic elements of traditional artistic heritage developed and maintained by a community of [name of the country] or by individuals reflecting the traditional artistic expectations of such a community, in particular :
1.              verbal expressions, such as: folk tales, folk poetry, and riddles;
2.              musical expressions, such as folk songs and instrumental music;
3.             expressions by action, such as folk dances, plays, and artistic forms or rituals; Whether or not reduced to a material form; and 
4.              tangible expressions, such as:
-                 productions of folk art, in particular, drawings, paintings, carvings, sculptures, pottery, terracotta, mosaic, woodwork, metalware, jewelry, basket weaving, needlework, textiles, carpets, costumes;
-                 musical instruments
-                 architectural forms;”

Definisi dari istilah ekspresi folklor (Expression of Folklore) dalam Model Provision 1982 inipun tidak dapat dianggap baku. Definisi ini tidak berusaha mengkaji secara mendalam pengertian dari EBT, tetapi lebih berfokus pada bentuk-bentuk EBTyang dapat dilindungi.
Tunisia Model Law 1976 dan Model Provisions 1982[13]  memberikan definisi yang sama yaitu adanya mengandung unsur elemen karakter tradisional. Unsur elemen karakter tradisional (traditional character element) menjadi syarat utama karena sebuah karya atau produk untuk disebut sebagai EBT  maka karya atapun produk harus mempunyai keterkaitan, pertalian ataupun berakar dan sekaligus merepresentasikan dengan   sikap dan cara berpikir serta bertindak yang berpegang teguh pada nilai, norma dan adat kebiasaan yang ada secara turun-temurun atau yang disebut warisan tradisi (tradisional heritage) dari komunitas masyarakat tertentu. Tanpa ada keterkaitan tersebut maka works atapun produk tersebut bukan EBT. Sekaligus ini menunjukkan bahwa elemen karakter tradisional merupakan garansi bahwa suatu sebuah karya atau produk EBT adalah “authentic”.[14]
Drafts Treaty WIPO tetang Perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional/Ekspresi folklor karakteristik  yang menjadi kriteria persyaratan  untuk mendapatkan perlindungan adalah, perlindungan (shall) harus meliputi setiap EBT yang merupakan produk yang berkarakter unik dari orang atau masyarakat, termasuk masyarakat adat atau komunitas lokal dan komunitas budaya atau bangsa dan (menjadi milik) yang digunakan dan dikembangkan oleh orang atau masyarakat (sebagai bagian dari identitas budaya atau sosial atau warisan mereka).
Beberapa pengertian diatas menggambarkan bahwa EBT adalah :
(a) produk-produk dari  aktivitas intelektual yang kreatif , termasuk kreativitas komunal;
(b) Mempunyai indikasi autentik dan orisinil dari identitas budaya dan sosial dan warisan budaya masyarakat adat dan masyarakat dan komunitas budaya tradisional dan lainnya, dan
(c) dipertahankan, digunakan atau dikembangkan oleh bangsa, negara, masyarakat adat, dan masyarakat dan komunitas budaya tradisional dan lainnya, atau oleh individu memiliki hak atau tanggung jawab untuk melakukannya sesuai dengan prinsip-prinsip kepemilikan tanah adat atau hukum / prinsip-prinsip normatif adat atau praktek-praktek tradisional / leluhur mereka masyarakat adat dan masyarakat dan komunitas budaya tradisional dan lainnya, atau memiliki hubungan dengan komunitas adat / tradisional.[15]

2.      Perlindungan EBT Dalam Prinsip-prinsip Hukum Kekayaan Intelektual
Perlindungan terhadap EBT yang mendasarkan prinsip-prinsip hukum yang ada pada prinsip-prinsip hukum kekayaan intelektual, yaitu dapat  melalui prinsip-prinsip yang ada pada ketentuan hak cipta dan hukum kekayaan industri yang sekarang eksis berlaku baik di tingkat internasional dan nasional. Ketika menyebut sistem hukum banyak diantara kita yang mengacu pada Friedman yang menyebutkan adanya tiga unsur, yakni substance (materi/substansi), structure (struktur), dan culture (budaya).[16] Pertama akan dibahas perlindungan EBT melalui substansi hukum kekayaan intelektual terutama melalui prinsip-prinsp hukum yang ada dalam ketentuan hukum cipta dan hukum kekayaan industri
2.1. Perlindungan EBT melalui Hak Cipta (Copyright)
1)             Perlindungan EBT Melalui Ketentuan Hak  Cipta  (Copyright Law)
Prinsip-prinsip hukum cipta yang terdapat  The Berne Convention for the Protection of Literary and Artistic Works (Konvensi Berne 1967)  mengatur konsep kepemilikan terhadap karya cipta anonim atau anonymous works”. Walaupun tidak secara khusus mengatur mengenai perlindungan EBT, ketentuan dalam Konvensi Berne 1967 ini dapat diterapkan terhadap terutama dalam hal ini ekspresi budaya yang tidak diketahui penciptanya.
Kententuan “anonymous works” di dalam Konvensi Bern merupakan ketentuan hukum kekayaan intelektual yang dapat  diterapkan secara tidak langsung terhadap EBT pada Pasal 15 paragraf 4 :”bahwa negara-negara pihak konvensi Bern mempunyai kewajiban menunjuk otoritas yang berkompeten berdasarkan ketentuan nasional untuk memberikan perlindungan terhadap karya-karya yang dipublikasikan yang tidak diketahui penciptanya untuk mewakili kepentingan  pencipta dan melindungi hak-hak pencipta. Kemudian negara mempunyai kewajiban untuk mendepositorikan karya tersebut ke Direktur Jenderal WIPO [17]
Setelah didaftarkan, karya cipta anonim pun juga mendapat perlindungan selayaknya karya biasa. Negara sebagai pemegang hak atas karya cipta anonim memperoleh hak-hak eksklusif atas karya cipta tersebut. Hak-hak eksklusif yang diatur dalam Konvensi Berne 1967 termasuk hak untuk translasi (Pasal 8), hak reproduksi dalam berbagai bentuk termasuk rekaman audio visual (Pasal 9), hak untuk menampilkan drama, drama-musikal, dan karya musik (Pasal 11), hak untuk untuk menyiarkan dan mengkomunikasikan kepada publik (Pasal 11bis), hak untuk menampilkan penampilan publik (public recitation) (Pasal 11ter), hak untuk membuat adaptasi, aransemen, maupun perubahan terhadap karya cipta (Pasal 12), hak untuk membuat adaptasi dan reproduksi sinematografis terhadap karya cipta (Pasal 14), hak “droit de suite” berkaitan dengan karya seni dan manuskrip asli (Pasal 14ter) serta hak moral (Pasal 6bis).
  Ketentuan tersebut walaupun secara implisit tidak menyebutkan perlindungan terhadap EBT tapi ketentuan perlindungan terhadap karya yang tidak diketahui penciptanya (anonymous author) dapat dianalogikan sebagai karya cipta yang mempunyai kriteria salah satu karakter EBT ( lihat definisi) .  Walaupun tidak dicantumkan secara tegas namun hal ini merupakan langkah awal memberikan payung hukum terhadap perlindungan EBT
Indonesia sebagai negara yang telah meratifikiasi Konvensi Bern dan sekaligus juga meratifikasi persetujuan TRIPs mempunyai kewajiban penuh untuk mengimplementasikan prinsip-prinsip perlindungan hukum terhadap anonymous works  yang ada dalam konvensi Bern ke dalam hukum cipta nasional (Undang-Undang Hak Cipta Nomor 19 Tahun 2002) UU tersebut menyebutkan bahwa :
a.              Negara pemegang hak cipta terhadap karya cipta anonim (tidak diketahui penciptanya) yang belum diterbitkan;
b.             Penerbit pemegang hak cipta atas karya cipta anonim yang sudah diterbitkan; dan
c.              Negara pemegang hak cipta atas karya cipta anonim yang sudah diterbitkan dan tidak diketahui penerbitnya. ( Pasal 11 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta)

Walaupun demikian implementasi ketentuan tersebut kalau diterapkan  terhadap perlindungan EBT kemungkinan mengalami kesulitan karena tidak memberikan informasi tentang badan yang ditunjuk, fungsi dan tanggung jawabnya, contohnya ketika akan menerapkan ataupun mendistribusikan suatu royalti bagaimana mekanismenya. Disamping itu ketentuan tersebut tidak memberikan informasi yang tegas terkait dengan jangka waktu (limit time) perlindungannya terhadap karya anonymous apakah diberlakukan khusus atau  disamakan dengan karya psedonymous (nama samaran). Kalau disamakan maka ada  jangka waktu perlindungannya yaitu  50 Tahun sesudah penciptanya meninggal dunia (Artidel 7 Konvensi Bern)[18].
Perlindungan EBT melalui hukum cipta merupakan salah bentuk perlindungan yang paling relevan dalam prinsip-prinsip hukum kekayaan intelektual. Walaupun demikian perlindungan melalui hukum cipta bukan berarti tidak menemui masalah ketika persyaratan dan prinsip-prinsip perlindungan hak cipta akan diterapkan, seperti bentuk karya berwujud (fixation work), keaslian (originality), pencipta teridentifikasi (identication of author) dan jangka yang dibatasi.
Persyaratan bentuk karya berwujud (fixation) dalam hukum cipta merupakan salah satu peryaratan yang harus dipenuhi bilamana suatu karya berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum. Secara umum hukum cipta di dalam prinsip-prinsip Common Law terutama di Inggris dan Amerika salah satu persyaratan perlindungan hak cipta mensyaratkan bentuk karya harus berujud.  Hal ini berbeda di dalam prinsip-prinsip Civil Law yang tidak mensyaratkan berwujudan dalam bentuk materi (in material form) untuk mendapatkan perlindungan hak cipta.  Walaupun ada perbedaan di dalam prinsip-prinsip Common Law dan prinsip-prinsip civil law tapi yang jelas di dalam Konvensi Bern Pasal 2 paragraf 2[19] mensyaratkan perwujudan dalam bentuk materi untuk mendapatkan perlindungan hak cipta. Hukum cipta Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 mensyaratkan untuk karya cipta yang dilindungi harus dalam bentuk berwujud (material form) yang dapat diproduksi berulang-ulang secara independent dan mensyaratkan keaslian (originality) [20] yang berarti karya harus bersifat asli, tidak meniru karya orang lain.
 Persyaratan karya harus berwujud dalm bentuk materi ini akan menjadi hambatan  apabila diterapkan pada  perlindungan EBT karena hampir sebagaian besar karya yang berbasis EBT mempunyai karakter oral tranmisi (tidak tertulis) seperti sebagian besar dongeng, legenda, mitos, tarian dan lagu rakyat atau dengan kata lain rezim hukum cipta tidak bisa melindungi secara menyeluruh terhadap karya-karya EBT/folklor dan hanya bisa diterapkan untuk kategori EBT/folklor non lisan.  Padahal kenyataannya kreasi-kreasi yang masih menggunakan tradisi oral tersebut masih eksis dan hidup di masyarakat tradisional atapun lokal.
Ketentuan ini tentunya menghancurkan harapan para komunitas- komunitas tradisional ataupun lokal sebagai pemegang EBT di seluruh dunia untuk mendapatkan pengakuan dan  perlindungan hukum melalui prinsip-prinsip hukum hak cipta. Walaupun demikian banyak berdebatan mengenai interpretasi terhadap persyaratan berwujud  dalam bentuk materi sendiri tapi yang perlu menjadi catatan bahwa perwujudan eksploitasi dan komersialisasi terhadap EBT secara nyata (fixed)  banyak terjadi di belahan dunia.
Persyaratan originality  yang artinya asli tidak meniru karya orang lain dalam prinsip-prinsip perlindungan hak cipta juga mengalami kesulitan ketika akan diterapkan dalam perlindungan karya-karya EBT.   Pada kebayakan karya-karya EBT terikat pada tradisi (pakem) yang selama ini diyakini (sarat akan nilai moral dan agama) dan dipegang dalam komunitas tradisional/lokal secara terus menerus.
Bagi kebanyakan karya-karya EBT/folklor merupakan sebuah karya yang mempunyai nilai seni tinggi dan tingkat kerumitan yang sangat kompleks (terutama karya EBT/folklor non lisan) dan proses kreasinya memerlukan waktu yang lama[21]. Biasanya karya EBT/folklor asli dihasilkan oleh seseorang dalam suatu komunitas yang mempunyai kualifikasi ahli yang tidak hanya mempunyai kemampuan atau skill yang bagus tapi juga seseorang tersebut juga mempunyai kapasitas spiritual[22] yang bagus pula.
Khasanah tradisi kreativitas-kreativitas EBT selalu akan dijumpai pengulangan-pengulangan sebagai fungsi dari penerusan perbendaharan budaya yang telah terbentuk sebelumnya, dan membuat tradisi tersebut sebagari ciri pengenal atau bagian identitas komunitas. Di dalam tradisi selalu terdapat dinamika antara pengulangan  dan interpretasi kreatif individual anggota komunitas. Akan tetapi juga se waktu-waktu muncul suatu karya yang betul baru dari seseorng dengan kualifikasi ahli (disebut empu dalam tradsi seni Jawa) yang kemudian di terima komunitasnya sebagai khasanah tradisi seni.[23]
Penghormatan terhadap tradisi, membuat para anggota komunitas tidak mempunyai kebebasan untuk melahirkan inspirasinya sehingga proses inovasi menjadi terbatas. Bahkan cara penghargaan dan penyambutan suatu ide seni baru dalam lingkup tradisi adalah dengan menirunya, seperti di Jawa dikenal mutrani dari induknya yang merupakan karya seorang empu.[24]
Persyaratan originality menjadi suatu hal yang masih dipertanyakan ketika perlindungan karya yang berbasis EBT melalui hak cipta. Akan tetapi penerapan persyaratan originality tidak terlalu sulit bagi  hakim pengadilan Australia ketika menyelesaikan beberapa kasus yang berkaitan originality EBT. Contohnya dalam kasus terkait dengan reproduksi karya seni karpet terkenal milik masyarakat Aborigin yaitu Mallipurruru dan Indofurn Ltd dalam salah satu pertimbangan keputusan hakim dikatakan :”...Althought the each artwork is one indicate detail and complexiting reflecting great skill and orginallity[25]. Persyaratan perlindungan melalui hak cipta terhadap EBT bisa dilihat di dalam tabel di bawah ini :

Dialektika Hukum Cipta dan Karakter EBT
Hukum Cipta
Karakter EBT
Karya cipta (works) ataupun temuan  harus diwujudkan dalam bentuk materi  (fixation in material form ) bukan hanya ide ataupun gagasan
Sebagian karya EBT dalam bentuk oral ditransmisikan dari satu generasi ke generasi kepada anggota-anggotanya di lingkungan  komunitas itu sendiri,  seperti dongeng, legenda, mitos, lagu rakyat, tarian
Masih tetap eksis dalam masyarakat tradisional maupun lokal
-    Karya cipta harus orisinil/asli (originality), tidak meniru karya orang atau tidak sama dengan pengungkapan sebelumnya
-    Meniru karya sebelumnya merupakan pelanggaran terhadap hak cipta
Pengulangan dari karya sebelumnya :
-    Terikat dengan tradisi/pakem yang diyakini sarat akan nilai moral dan agama;
-    Pengulangan sebagai fungsi dari penerusan perbendaharan budaya yang telah terbentuk sebelumnya, dan membuat tradisi tersebut sebagari ciri pengenal atau bagian identitas komunitas;
-    Penghormatan terhadap tradisi membuat para anggota komunitas tidak mempunyai kebebasan untuk melahirkan inspirasinya sehingga proses inovasi menjadi terbatas;
-    Meniru merupakan bagian penghormatan dan penyambutan terhadap karya seni baru (di Jawa disebut mutrani)

Identifikasi pencipta jelas  /Authorship
Karakter  EBT merupakan suatu karya cipta yang proses kreasinya berlangsung dalam waktu yang lama, lintas generasi dan merupakan hasil kreasi yang mencerminkan atribusi kelompok masyarakat  bukan atribusi dari individual author;


Disamping persyaratan originality, permasalahan siapa pemegang hak (authorship) bagi karya EBT juga  masih dipertanyakan ketika perlindungan hak cipta akan diterapkan. Karakter  EBT merupakan suatu karya cipta yang proses kreasinya berlangsung dalam waktu yang lama, lintas generasi dan merupakan hasil kreasi yang mencerminkan atribusi kelompok masyarakat tertentu bukan atribusi dari individual author. Sehingga sulit menentukan siapa pemegang hak ciptanya.[26]
Sebagian dari karya EBT secara alamiah bersifat tertutup dan rahasia dan hanya ditransmisikan dari satu generasi ke generasi kepada anggota-anggotanya di lingkungan dalam komunitas itu sendiri ataupun sebagain karya EBT hanya diperuntukkan atau digunakan untuk tujuan tradisi ritual komunitas itu sendiri  (sesembahan misalnya). Hal ini dilakukan  untuk menjaga integritas kesucian ataupun kesakralan dari karya atapun pengetahuan EBT yang merupakan bagian dari tradisi ritual yang diyakini oleh komunitas tersebut. Ketika karya-karya EBT kemudian terbuka ataupun digunakan di luar komunitasnya yang tidak sesuai dengan tradisi maka integritas kesakralan ataupun kesucian karya EBT juga akan hilang. Hilangnya kesakralan ataupun kesucian sebuah karya EBT membuat ketidaknyamanan atau ketidaktentraman komunitas dan hal ini merupakan kerugian moral bagi komunitas dan kerugian dalam konteks ini adalah kerugian yang bersifat non-economic interest.
Perlindungan yang bersifat non – economic interest terhadap karya-karya EBT melalui prinsip-prinsip hak cipta menjadi relevan  karena di dalam hak cipta mengandung hak moral disamping hak ekonomi. Hak moral di dalam prinsip-prinsip hak cipta  dianggap sebagai hak yang dimiliki oleh seorang pencipta untuk mencegah terjadinya penyimpangan atas karya ciptanya dan untuk mendapatkan penghormatan atau penghargaan atas karyanya tersebut. Hak moral mengadung (a) Hak untuk memperoleh pengakuan, yaitu : hak pencipta untuk memperoleh pengakuan publik sebagai pencipta suatu karya guna mencegah pihak lain mengklaim karya tersebut sebagai hasil kerja mereka, atau untuk mencegah pihak lain memberikan pengakuan pengarang karya tersebut kepada pihak lain tanpa seijin pencipta; dan (b) Hak Integritas, yaitu hak untuk mengajukan keberatan atas perubahan yang dilakukan terhadap suatu karya tanpa sepengetahuan si pencipta.
Hak moral atas EBT berarti hak  disebutkan sumber atribusi (hak atas identitas sebagai pencipta), klaim kepemilikan dan hak untuk mencegah pengakuan kepemilikan pihak lain atas karya EBT; hak atas penghormatan integritas (hak untuk mencegah modifikasi, mutilasi, perubahan dan distorsi  atas karya EBT);  dan hak untuk membuka serta mengumumkan (hak kapan dan bagaimana suatu karya EBT bisa dibuka untuk publik).[27]
Seperti diketahui bahwa hak moral merupakan bagian hak asasi manusia (Pasal 27 ayat (2) UDHR) yang memiliki kedudukan penting tidak hanya sebagai bagian dari hak asasi tiap individu, tapi bagian tak terpisahkan dari komunitas dimana sang individu menjadi anggota. Hak moral tidak lagi hanya dapat diterjemahkan sebagai hak individual, tetapi sebagai hak kolektif yang dimiliki oleh komunitas masyarakat adat/lokal.
2)             Perlindungan EBT melalui Neighbouring Right
Perlindungan internasional terhadap EBT secara terbatas termuat dalam WIPO Performances and Phonograms Treaty (WPPT) yaitu perjanjian internasional  yang ditandatangani oleh negara-negara anggota World Intellectual Property Organization dan disepakati di Jenewa  pada tanggal 20 Desember 1996. WPPT bertujuan untuk mengembangkan dan memelihara perlindungan hak-hak pelaku dan produser rekaman suara dengan cara sefektif mungkin dan seragam. WPPT sendiri juga turut memberikan perlindungan terhadap Ekspresi Budaya Tradisional, mengingat tarian tradisional, puisi, drama, lagu dan musik serta berbagai bentuk kesenian tradisional lainnya muncul sebagai bagian dari pertunjukan hidup (live performance) yang ditampilkan. Oleh karenanya, perlindungan terhadap hak penampil atas karya pertunjukan yang ditampilkan juga dapat digunakan dalam konteks perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional.
Perkembangan yang membedakan antara WPPT dengan Konvensi Roma 1961 adalah definisi dari penampil tersebut. Pada Pasal 3 (a) Konvensi Roma 1961, definisi penampil dibatasi dalam :
“performers” means actors, singers, musicians, dancers, and other persons who act, sing, deliver, declaim, play in, or otherwise perform literary or artistic works.”  

Sementara dalam WPPT, definisi penampil ditarik lebih jauh lagi, mengingat karya seni yang ditampilkan tidak hanya dapat dibatasi dalam bentuk “literary and artistic works” yang bermakna kontemporer. Karena itu pada Pasal 2 (a) WPPT, penampil didefinisikan sebagai :
“performers” are actors, singers, musicians, dancers, and other persons who act, sing, deliver, declaim, play in, interpret, or otherwise perform literary or artistic works or expressions of folklore;”

Dengan digunakannya definisi penampil diatas, maka WPPT juga turut memberikan perlindungan terhadap seniman tradisional yang menampilkan pertunjukan Ekspresi Budaya Tradisional.
1)   Moral Rights of Performers (Pasal 5) adalah bentuk perlindungan terhadap hak dari penampil sebagai bagian tak terpisahkan dari pertunjukannya, termasuk hak untuk melindungi pertunjukan yang ia tampilkan dari segala bentuk perubahan dan distorsi yang dapat mencederai reputasinya sebagai penampil.  
2)   Economic Rights of Performers in Their Unfixed Performances (Pasal 6) adalah hak eksklusif bagi penampil untuk memberi otorisasi bagi segala bentuk penyiaran (broadcasting) maupun publikasi (communication to the public) dari pertunjukan yang ia tampilkan. Termasuk hak untuk memberi otorisasi terhadap segala bentuk perekaman (fixation) dari pertunjukannya. 
3)   The Right of Reproduction (Pasal 7) adalah hak untuk memberikan otorisasi atas segala bentuk reproduksi, baik langsung maupun tak langsung, dari rekaman (phonogram) pertunjukannya.
4)   The Right of Distribution (Pasal 8) adalah hak untuk memberikan otorisasi atas segala bentuk publikasi rekaman pertunjukannya, baik karya asli maupun reproduksi, kepada umum melalui penjualan maupun bentuk pemindahan hak milik lainnya (other transfer of ownership).
5)   The Right of Rental (Pasal 9) adalah hak untuk memberi otorisasi penyewaan komersil rekaman pertunjukan, baik karya asli maupun reproduksinya, kepada publik dengan melihat ketentuan dalam hukum nasional yang berlaku.
6)   The Right of Making Available (Pasal 10) adalah hak untuk memberikan otorisasi segala bentuk pengadaan rekaman pertunjukan (making available to the public). Hingga dengan begitu masyarakat umum dapat menyimak (access) rekaman tersebut sesuai keinginan mereka.
Walaupun WPPT dapat dianggap sebagai salah satu upaya memberikan perlindungan terhadap Ekspresi Budaya Tradisional, namun fokus utama dari WPPT adalah perlindungan terhadap hak sang penampil (performer’s right). Perlindungan terhadap EBT dalam WPPT diberikan dengan anggapan bahwa suatu karya seni pertunjukan merupakan bagian tak terpisahkan dari penampilnya. Perlindungan terhadap hak penampil inipun juga memiliki jangka waktu perlindungan yang telah ditentukan sebelumnya.
Disisi lain, perlindungan yang diberikan terhadap EBT pun masih sangat terbatas dalam lingkup “phonogram” yang didefinisikan sebagai “the fixation of the sounds of a performance or of other sounds, or of a representation of sounds, other than in the form of a fixation incorporated in a cinematographic or other audiovisual work.”(Pasal 2 huruf (b). Maka dapat dikatakan bahwa perlindungan yang diberikan WPPT membutuhkan suatu bentuk “fixation,” sementara EBT seringkali tidak memiliki bentuk “fixation” karena sifatnya yang berangkat dari tradisi lisan yang hidup. Selain itu WPPT tidak melindungi aspek visual, namun hanya melindungi aspek suara dari EBT ataupun EBT yang memiliki aspek suara (sound) dan perwakilan dari suara (representation of sound).
Bagi produser rekaman suara yaitu orang atau badan hukum yang mengambil inisiatif dan memiliki tanggung jawab untuk fiksasi suara dari kinerja atau suara lain atau representasi dari suara (Pasal 2 huruf d)[28] yang pertama mempunyai keuntungan terkait dengan perlindungan EBT ketika ia melakukan fiksasi pertama atas karya-karya EBT. Produser rekaman tersebut mempunyai hak eksklusif atas reproduksi, distribusi, sewa dan making avaible of phonogram atas rekaman karya-karya EBT.[29]
Perlindungan terhadap pelaku dan produser rekaman juga diatur dalam hukum cipta Indonesia bahwa, pelaku dan produser rekaman memiliki hak eksklusif untuk memberikan izin atau melarang pihak lain yang tanpa persetujuannya membuat, memperbanyak, atau menyiarkan rekaman suara dan/atau gambar pertunjukannya dan/atau menyewakan karya rekaman suara atau rekaman bunyi. Bahkan lembaga penyiaran juga memiliki hak eksklusif untuk memberikan izin atau melarang pihak lain yang tanpa persetujuannya membuat, memperbanyak, dan/atau menyiarkan ulang karya siarannya melalui transmisi dengan atau tanpa kabel, atau melalui prinsip-prinsip elektromagnetik lain (Pasal 49 Undang-Undang nomo 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta).
Perlindungan dan keuntungan yang sedemikian luas tersebut yang dinikmati oleh pruduser rekaman atas karya EBT tidak sebanding dengan perlindungan yang terbatas atas pelaku EBT yang hanya menikmati hak moral dan penggunaan secara komersial secara terbatas. Bahkan kemungkinan besar ketentuan tersebut tidak memberikan keuntungan sama sekali terhadap komunitas dimana EBT berasal tetapi justru produser rekaman atau lembaga penyiaran tersebut bukan anggota komunitas asal EBT. Lebih tepatnya  yang paling berhak atas hak eksklusif tersebut adalah komunitas asal EBT.[30]
Hal tersebut kemungkinan besar bisa terjadi terutama terhadap karya EBT yang merupakan ekspresi verbal, bunyi ataupun gerak saja dan penciptanya yang tidak jelas. Kemudian karya EBT tersebut oleh pihak-pihak di luar komunitas dipertunjukkan, direkam ataupun disiarkan pertama kali maka pemegang hak cipta dan hak eksklusifnya adalah penerbit, pelaku perusahaan rekaman atau lembaga penyiaran. Manfaat ekonomi pun pada akhirnya hanya dinikmati oleh pihak-pihak di luar komunitas tradisional ataupun lokal yang selama ini memelihara dan mempertahankan karya EBT. Lebih buruk lagi dengan kepemilikan hak eksklusif atas karya EBT tersebut oleh pihak-pihak di luar komunitas, kemungkinan juga pihak komunitas tradisional atau lokal pemilik EBT tersebut pada akhirnya juga kehilangan akses untuk menggunakan karya EBT tersebut. Kondisi ini jelas menimbulkan ketidakadilan bahkan menjadi faktor ancaman kriminalisasi terhadap penggunaan karya EBT tersebut oleh komunitas tradisional atau lokal.[31]
2. 2. Perlindungan EBT Melalui Hukum Kekayaan Industri (Protection Based on Industrial Property)
Prinsip-prinsip hukum kekayaan industri merupakan prinsip-prinsip hukum hak kekayaan intelektual yang melindungi paten, merek dagang dan desain industri dengan mendasarkan pada Paris Convention on Industrial Property Protection 1883.  Perlu diketahui perjanjian ini juga menegakkan hak prioritas konvensi atau hak prioritas Konvensi Paris (hak prioritas Uni) yang menjamin pemohon hak kekayaan intelektual dari negara peserta untuk menggunakan tanggal pengajuan permohonan pertama (di salah satu negara peserta) sebagai tanggal efektif pengajuan permohonan di negara lain yang juga menjadi peserta, asalkan pemohon mengajukan permohonan dalam waktu 6 bulan (untuk desain industri dan merek dagang) atau 12 bulan (untuk paten dan model utilitas) dari tanggal pertama kali mengajukan permohonan.
Seperti halnya Konvensi Bern 1886, Konvensi Paris 1883 juga masuk dalam prinsip-prinsip hukum WTO berdasarkan perjanjian Persetujuan TRIPst sehingga ketentuan- ketentuan yang diatur dalam Konvensi Paris bersifat full complaince dengan mekanisme penegakan hukum yang ketat. Perlindungan EBT melaui prinsip-prinsip hak kekayaan industri ada beberapa kemungkinan yaitu melalui hak merek, hak desain industri, indikasi geografis dan paten.
1)             Perlindungan melalui hak desain  industri
Perlindungan EBT dapat dimungkian melalui prinsip-prinsip hukum desain industri. Desain Industri, desain industri adalah suatu kreasi tentang bentuk, konfigurasi atau kompisisi garis atau warna, atau gabungan dari keduanya yang berbentuk tiga dimensi atau dua dimensi dapat dipakai untuk mengahsilkan produk, barang, komoditas industri, atau kerajinan tangan. Dengan demikian dapat dimungkinkan bahwa suatu kreasi yang mempunyai komponen atau motif tradisional (motif ukir kayu, kain, bordir, ukir perhiasan, tenun dan sebagainya) dilindungi berdasarkan hukum desain industri.
Aplikasi pendaftaran merupakan prasyarat untuk mendapatkan perlindungan melalui prinsip-prinsip hukum desain industri dan di dalam persyaratannya  pendaftaran harus ada unsur baru dan original [32] atau kebaruan pada kreasi yang artinya kreasi tersebut baru sama sekali atapun bisa memperbarui dari kreasi sebelumnya. Persyaratan baru (novelty) ini yang menjadi hambatan ketika kreasi yang berbasis EBT akan mendapatkan perlindungan melalui hukum desain industri karena para kreator mempunyai keterikatan dengan tradisi sehingga sebagian kreasi-kreasi berbasis tradisi kultural merupakan pengulangan-pengulangan dari kreasi sebelumnya. Untuk mendapatkan perlindungan melalui prinsip-prinsip hukum desain industri maka para kreator dalam komunitas tradisional harus menambahkan unsur yang baru (untuk memenuhi persyaratan novelty) tanpa harus meninggalkan unsur tradisi yang ada sebelumnya. Persyaratan originality dan novelty menjadi hambatan untuk menerapkan perlindungan karya EBT melalui hukum hak cipta dan desain industri.
2)             Perlindungan melalui hak merek
Peluang untuk mendapatkan perlindungan terhadap karya EBT yaitu melalui prinsip perlindungan merek kolektif.  Pengertian  merek adalah tanda atau lambang yang menggambarkan identitas sesuatu atau “mark : a sign, simbol or visual impression or a visible trace impression on something”[33]. Potensi karya-karya EBT seperti, kata-kata yang berasal dari karakter tradisional, simbol, gambar, lukisan,  kata dalam dongeng ataupun lagu, dapat digunakan sebagai identitas produk atau digunakan tanda merek[34]produk barang atau jasa yang mempunyai keterkaitan dengan  EBT.  Potensi tersebut dapat didaftarkan sebagai merek produk-produk EBT oleh komunitas tradisional ataupun komunitas-komunitas lokal dimana EBT berasal sebagai merek kolektif (Collective Mark)[35]. Merek kolektif, adalah merek yang digunakan pada barang atau jasa dengan karakteristik yang sama yang diperdagangkan beberapa orang atau badan hukum secara bersama-sama untuk membedakan dengan barang atau jasa sejenis lainnya
Pendaftaran merek kolektif  bisa dilakukan manakala  EBT digunakan sebagai produk dalam aktivitas komersial oleh asosiasi dari komunitas dimana EBT berasal. Dalam hal ini perlu adanya klarifikasi yang jelas dan diakui bahwa komunitas tersebut memang benar-benar pemangku kepentingan  atas karya-karya EBT. Ruang lingkup klarifikasi meliputi produk barang atau jasa yang berbasis EBT tersebut harus mempunyai keterkaitan yang jelas dengan komunitas dimana EBT berasal; nama, kata, simbol ataupun gambar yang digunakan sebagai tanda merek barang atau jasa menggambarkan karakteristik EBT; sifat dan ciri-ciri umum produk barang atau jasa secara jelas menggambarkan EBT berasal.
Melalui prinsip-prinsip perlindungan merek kolektif memberi keuntungan yang pertama, merek kolektif dapat menandakan keaslian (authentificate) suatu produk EBT dan membantu konsumen terkait identitas asli product EBT, Kedua dengan pendaftaran merek kolektif ini dapat menunjukkan siapa yang membuat dan produk EBT berasal, dan yang ketiga dapat mempromosikn industri produk berbasis EBT.
Perlindungan melalui hukum merek juga dapat diterapkan dengan menerapkan prinsip-prinsip perlindungan merek yang bersertifikasi (sertificate of mark ) bisa menjadi pilihan. Sertification of mark  adalah tanda yang dipakai suatu pihak untuk menunjukkan bahwa barang  memenuhi standar atau kualitas tertentu.[36] Produk-produk berbasis EBT adalah produk yang mempunyai karakter khusus yaitu terkait geografis asal produk, kualitas, materi yang digunakan dan juga model-modelnya serta indikasi yang lain produk-produk yang berbasis EBT dibuat mempunyai pertalian dengan tradisi dan kepercayaan. Jangka perlindungan yang dibatasi agak menjadi hambatan (6 – 10 Tahun) dan ketika jangka waktu telah habis maka asosiasi pemegang hak dari komunitas harus memperpanjang lagi dan lagi agar tetap mendapatkan  perlindungan melalui prinsip-prinsip hukum Merek.
Disamping itu perlindungan terhadap EBT dapat dilakukan melalui mekanisme pendaftaran merek yang akan ditolak pendaftarannya, yaitu bilamana mengandung unsur bertentangan dengan moralitas dan bertentangan dengan ketertiban umum[37].  Penggunaan karakter-karakter EBT (bisa nama atau simbol) untuk digunakan sebagai label merek masuk kategori tindakan yang mengkomersialisasikan EBT oleh pihak di luar komunitas dan dianggap menganggu integritas nilai-nilai tradisi (kesakralan) masyarakat adat atau komunitas lokal pemilik EBT. Maka menggunakan dan mendaftarkan merek yang mengandung unsur EBT dianggap sebagai bertentangan dengan moralitas dan ketertiban umum dan masuk kategori merek yang secara mutlak tidak dapat di daftarkan. Merek-merek yang masuk kategori demikian ini dapat dilakukan keberatan dan pembatalan oleh pihak yang berkepentingan.
Mekanisme ini dapat dipakai oleh masyaraktat tradisional/lokal untuk dapat melakukan pencegahan setiap penggunaan secara tidak pantas terhadap kata, nama, simbol dan sebagainya digunakan untuk penggunaan merek dagang oleh pihak-pihak diluar masyarakat adat ataupun komunitas lokal. Tindakan pencegahan dengan cara melakukan keberatan untuk didaftarkan dan melakukan pembatalan terhadap terhadap merek yang mengunakan karakter EBT  secara sebagaian dan seluruhnya. Tindakan ini dilakukan pada saat proses pendaftaran (keberatan) atau pada saat merek yang sudah terdaftar (pembatalan) dengan alasan bahwa pendaftaran merek yang memakai karakter EBT merupakan tindakan yang melanggar ketertiban umum.[38] Akan tetapi dalam implementasinya ketentuan ini tidak mudah dilakukan karena untuk membuktikan pelanggaran ketertiban umum ini tidak mudah karena ukuran-ukuran pelanggarn ketertiban umum bersifat relatif.[39]
Peluang perlindungan melalui prinsip-prinsip hukum merek (Collective mark and sertification of mark) lebih pasti karena perlindungannya  untuk  kepentingan masyarakat komunal dimana produk EBT berasal. Perlindungan ini  relatif lebih bagus dibandingkan dengan perlindungan melalui prinsip-prinsip hak cipta yang melindungi kepentingan individual. Prinsip-prinsip hukum hak cipta bahkan memberi peluang kepada individual di luar komunitas asal EBT menikmati keuntungan dari penggunaan karya-karya EBT (contoh produser rekaman). Akan tetapi perlindungan EBT melalui prinsip-prinsip hukum merek hanya untuk sebagain karya EBT yang berupa ekspresi nyata.
Upaya lain yang juga dapat diaplikasikan untuk melindungi EBT dalam prinsip-prinsip hukum kekayaan intelektual adalah melalui prinsip-prinsip perlindungan indikasi-geografis (Geographical Indication). Indikasi-geografis pertama kali diperkenalkan dalam Model Law on Mark Tahun 1967, selanjutnya konsep ini dikembangkan dalam WIPO Special Model Law for Developing Countries on Appelations of Origins and Indications of Sources. Dalam model perlindungan hukum ini dinyatakan bahwa suatu Indikasi-geografis harus memiliki karakteristik di bidang kualitas dan reputasi. Kata “Geografis” (Geographical) tidak hanya sekedar bermakna sebagai daerah dalam pengertian sempit sebagai suatu lokasi geografis. Namun juga tidak dapat melepaskan konsep bahwa daerah itu memiliki keterkaitan erat dengan berbagai faktor, baik dalam hal ini faktor alam (natural factors), faktor manusia (human factors) atau faktor keduanya (natural and human factors)[40].
Indikasi geografis sebagai penanda asal dari suatu barang diatur secara implisit di dalam Konvensi Paris revisi 1979. [41]. Berdasarkan konvensi ini bahwa setiap negara wajib melindungi produsen, pembuat (manufacturer) maupun pedagang dari penggunaan indikasi palsu (false indications) terhadap sebuah barang. Indikasi palsu ini digunakan untuk memalsukan asal barang, identitas produsen, pembuat maupun pedagang dari barang tersebut. Perlindungan dari penggunaan indikasi palsu dan menyesatkan ini kemudian berkembang menjadi konsep indikasi geografis.
Selanjutnya persetujuan TRIPs menjelaskan bahwa geographical indication” (indikasi geographis) adalah indikasi yang mengidentifikasikan suatu barang yang berasal dari wilayah dari salah satu anggota (persetujuan TRIPs) atau suatu wilayah atau tempat di dalam lingkungan mempengaruhi suatu kualitas tertentu, reputasi atau ciri khas daripada benda adalah essensial yang merupakan sifat dari geografis asalnya.[42]
Prinsip perlindungan indikasi geografis dimungkinkan untuk memberikan perlindungan terhadap EBT, karena karakteristik karya ataupun EBT mempunyai pertalian dengan pengetahuan ataupun tradisi budaya yang tidak terlepas dari sifat dari geografis asalnya. Seperti kata ”Minang” berarti menunjuk Sumayera Barat, Gambar ”rumah adat Toraja” menunjuk asal barang dari Toraja daerah di Sulawesi Selatan, Gudeg mengindikasikan Kota Yogjakarta, Reog mengindikasikan daerah Ponorogo, gambar tari Pendhet menindikasikan pulau Bali.
Berkenaan dengan perlindungan indikasi geografis para anggota persetujuan TRIPs dibebani kewajiban untuk menyediakan jalur hukum bagi pihak yang berkepentingan supaya dapat menghindarkan dipakainya cara-cara untuk menentukan atau memperkenalkan suatu benda yang memberikan indikasi atau memberikan kesan bahwa benda yang bersangkutan ini asalnya dari wilayah geografis yang berlainan dari tempat asal sebenarnya dengan cara yang membawa kekeliruan untuk khalayak ramai berkenaan dengan asal barang bersangkutan.
Setiap penggunaan merek yang mengandung indikasi geografis yang memberikan kesan terhadap indikasi geografis dikatagorikan sebagai tindakan persaingan curang atau unfair competition[43], dasarnya tindakan tersebut dianggap dapat mengacaukan khalayak ramai. Artinya setiap penggunaan kata, lukisan, simbol atau bentuk apapun yang mempunyai karakter warisan budaya tradisional yang dapat memberi kesan bukan berasal dari warisan budaya tradisional yang bersangkutan masuk kategori sebagai tindakan persaingan curang.
Perlindungan terhadap karya EBT Berdasarkan ketentuan Pasal 56 ayat (1) UU Merek 2001, Indikasi Geografis dilindungi sebagai tanda yang menunjukkan daerah asal barang, yang karena factor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia atau kombinasi dari kedua faktor tersebut memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan. Dalam kaitan dengan hal ini, suatu indikasi geografis dapat melibatkan pengetahuan tradisional, yaitu pengetahuan  yang dimiliki EBT oleh sekelompok masyarakat tempat penghasil produk tersebut.
Namun yang menjadi hambatan perlindungan indikasi geografis bersifat terbatas, yaitu hanya mencegah klaim yang tidak sah bahwa suatu produk berasal dari daerah tertentu. Disamping itu penggunaan indikasi-geografis sebagai alternatif perlindungan EBT tidak luput dari kesulitan.[44] Pertama, indikasi geografis hanya melindungi EBT yang memiliki bentuk nyata sebagai sebuah produk atau barang yang dikomersialkan. Indikasi-geografis tidak dapat digunakan untuk melindungi EBT dalam bentuk ekspresi seni atau musikal yang  bersifat lisan.
Kedua, Indikasi geografis dalam penggunaanya berfungsi melindungi reputasi suatu barang dengan kaitannya dengan asal barang tersebut. Indikasi-geografis tidak melindungi barang atau produk tersebut. Indikasi-geografis tidak dapat digunakan misalkan apabila sebuah perusahaan membuat suatu kaos dengan gambar pahatan Asmat yang telah dilindungi dalam indikasi-geografis, yang kemudian dikomersilkan dan dijual ke tempat umum. Suku Asmat pun tidak dapat menuntut kompensasi apapun karena tidak diatur dalam Indikasi-geografis mengenai kompensasi oleh pihak pemakai suatu produk EBT dengan masayarakat adat asal EBT tersebut.
3)              Perlindungan melalui hak rahasia dagang dan hak paten
Berdasarkan prinsip-prinsip hukum rahasia dagang (trade secret) ataupun hak atas informasi rahasia (undisclosour information), perlindungan diberikan mengacu kepada segala bentuk informasi yang berifat rahasia yang mempunyai nilai ekonomi. dan   tidak diperlukan formalitas pendaftaran. Bagi pemilik rahasia dagang untuk mempertahankan perlindungannya perlu mengambil langkah pengamanannya agar kerahasiaan dapat dipertahankan. Dikaitkan dengan EBT, maka perlindungan EBT khususnya yang berkaitan dengan informasi rahasia (seperti legenda, pengetahuan tentang obat-obatan) yang dimiliki masyarakat tradisional melalui rejim rahasia dagang ini dapat dimungkinkan perlindungannya.
Persyaratan novelty juga menjadi hambatan ketika hukum paten akan diterapkan pada perlindungan EBT karena kebanyakan EBT dan pengetahuan tradisional digunakan selama berabad-abad secara turun tenurun oleh masyarakat tradisional, sehingga persyaratan kebaruan tidak terpenuhi. Disamping itu karena karakteristik yang bersifat turun temurun, sulit untuk menemukan siapa penemu sebenarnya dari pengetahuan tradisional [45]. Selain itu persyaratan formal untuk mendapakan perlindungan paten, penemuan-penemuan harus diuraikan secara tertulis, hal ini tentunya akan sulit dipenuhi oleh pengetahuan tradisional yang umumnya hanya disampaikan secara lisan dari satu generasi ke generasi lainnya [46]. Untuk mendapat perlindungan berdasarkan hukum paten masyarakat tradisional harus mengembangkan pengetahuannya dengan penggunaan baru (novelty)yang bersifat ilmiah .  Disamping itu di dalam ketentuan hukum paten tidak mencantumkan  ketentuan bahwa pengetahuan tradisonal dijadikan prior-art bagi persyaratan kebaruan.
Penjelasan diatas menggambarkan bahwa secara substantif bahwa prinsip-prinsip hukum yang mendasarkan pada prinsip-prinsip hukum kekayaan intelektual yang sekarang ini eksis berlaku di tingkat internasional maupun nasional (mendasarkan pada prinsip-prinsip perlindungan yang ada dalam ketentuan-ketentuan hukum cipta, merek, rahasia dan paten) belum cukup memadai untuk memberikan perlindungan terhadap karya-karya intelektual yang berkarakter EBT/folklor secara menyeluruh (hanya melindungi EBT dalam bentuk ekspresi nyata atau non lisan). Ketidakmampuan prinsip-prinsip hukum dalam sistem  hukum kekayaan intelektual dalam memberikan perlindungan terhadap EBT sebagaimana terlihat dalam tabel dibawah ini.
Perlindungan EBT melalui Hukum Kekayaan Intelektual
Dialog
Hukum Cipta/ Hak Terkait
Hukum Kekayaan Industri
Indikasi Geografis
Dasar


-   Konvensi Bern, Pasal 15 (4)
-   WPPT Convention 1996
-   UU Hak Cipta 2002, Pasal  11 & 49
-   Konvensi Paris
    Pasal 25 (1);
    Pasal 7bis (1); dan
    Pasal 6quinquies (b)
-   UU Desain Industri 2000, Pasal 2 (1)
-   UU Merek 2001, Pasal 50, 5 (a).
-   Konvensi Paris,
-   Revisi  th 1967 dan th 1979
-   Persetujuan TRIPs (Pasal 22)
-   UU Merek 2001, Pasal 56
Prinsip-prinsip hukum

-    Perlindungan terhadap Ciptaan anonim (Anonymous Work); dan
-    Pelaku  (Performer),

-   Hak desain industri
-   Mekanisme
   pendaftaran merek;
   merek kolektif ; & sertifkasi merek
-   Hak atas informasi rahasia
-   Indikasi asal dan persaingan curang
-   Perlindungan Indikasi - geografis

Pemegang Hak
-   negara

-   pelaku EBT

-   komunitas EBT
-    komunitas atau asosiasi EBT
Perlindungan

-   Hak moral dan  ekonomi
-    Hak ekonomi
-   Hak ekonomi
Kelemahan

-   persyaratan perlindungan, asli,  perwujudan & identitas pencipta
-   Terbatas pada karya EBT non Lisan
-   Pelaku di luar komunitas
-   Tertutup akses thd EBT
-    tidak melindungi kepentingan non ekonomi dari misuse & misappropriate
-   Terbatas EBT non lisan
-    tidak melindungi kepentingan non ekonomi;
-    Terbatas EBT non lisan
Keuntungan
-    Dapat  melindungi kepentingan non ekonomi
-    perlindungan  identitas , kualitas, dan promosi produk EBT
-   perlindungan reputasi  karakter EBT


3.      Kesimpulan
Perkembangan perlindungan HKI ini ternyata tidak mampu melindungi EBT secara utuh. Ketidak mampuan untuk memberikan perlindungan hukum terhadap EBT melalui sistem hukum kekayaan intelektual, karena perbedaan karakteristik antara HKI dan EBT, sebagaimana terlihat dalam dialektika pada konsep dan  karakteristik antara HKI dan EBT. Walaupun sama-sama bersumber pada kreativitas intelektual manusia tetapi antara HKI dan EBT selebihnya terdapat perbedaan  dalam karakternya. Bentuk gagasan HKI harus diwujudkan dalam bentuk ekspresi yang nyata (in material form) bisa dilihat dan di dengar,  tapi kalau dalam EBT bentuk gagasan tidak selalu dalam ekspresi nyata, bisa dalam bentuk ekspresi verbal/oral, ekspresi gerak ataupun ekspresi bunyi (tidak berwujud). Gagasan dalam HKI berbentuk karya cipta (works) dalam seni dan ilmu pengetahuan, disain, merek, temuan teknologi dan  species sebagai karya atau temuan yang baru (novelty) dan tidak sama dengan pengungkapan sebelumnya (originality), kalau dalam EBT hasil gagasan dalam bentuk karya cipta seni dan pengetahuan serta teknik tertentu yang berakar dari tradisi turun temurun.
Pencipta dalam HKI teridentifikasi dengan jelas yaitu individu ataupun korporasi (bilamana individu berkerja dalam korporasi) dan orientasi menghasilkan ciptaan atau temuan lebih ke arah motif ekonomi daripada sekedar ekspresi dari pencipta atau penemu. Hasil ciptaannya dikonstruksikan sebagai benda bergerak yang dikategorikan sebagai benda bergerak tak berwujud sehingga bisa menjadi obyek hak kekayaan. Hal ini  berbeda dalam EBT,  identifikasi pencipta aslinya tidak diketahui, komunitas masyarakat tradisional/lokal mencipta karya EBT secara turun temurun lintas generasi ataupun  inidividu yang mempunyai kewenangan berdasarkan tradisi dan orientasi untuk menghasilkan ciptaan untuk meneruskan tradisi baik yang menyangkut kepentingan budaya dan keagamaan. Hasil ciptaan dikonstruksikan sebagai warisan budaya dari generasi sebelumnya bukan untuk dimiliki tapi dijadikan identitas budaya komunitas masyarakat yang selama mempertahankan dan memelihara  EBT. Perlindungan dalam HKI lebih mengutamakan perlindungan kepentingan ekonomi daripada untuk melindungi hak moral (integritas & atribusi karya cipta atau temuan) dan perlindungan dalam EBT  lebih lebih difokuskan integritas karya EBT supaya kesakralan EBT tetap terjaga





DAFTAR PUSTAKA
Acmad Gusman Catur Siswandi :Perlindungan Hukum Terhadap Asset Pengetahuan Tradsional

Agnes Lucas-Shloetter : Folklore dalam Indigenous Heratage and Intellectual Property GRTKF, 2 nd edition Edited by silke von Lewinski, Kluwer Law, Law & Bussiness Netherland 2007
Budi Santoso, Pengantar Hak Kekayaan Intelektual, (Semarang : Pustaka Magister, 2008)
Edy Sedyawati : Makalah : Upaya Perlindungan Hukum (HKI) terhadap Produk Kerajinan Nasionl yang Menjadi Warisan Budaya, Diskusi Panel, Semarang, 18 Oktober 2002
Edy Sedyawati, Warisan Tradisi, Penciptaan, dan Perlindungan, Makalah dalam Temu Wicara Perlindungan Hukum Floklor dan Traditional Knowledge, Dirjen HKI, Departmen Kehakiman dan HAM RI, Jakarta 13 Agustus 2003
Josep Githaiga, Intellectual  Property Law and Protection  Indigenous folklore and Konwledge,  E LAW | Murdoch University Electronic Journal of LawVolume 5, Number 2 (June 1998)
Iman Syahputra, Heri Herhanto, Parjio: Hukum Merek Baru, Seluk Beluk Tanya Jawab Merek, Teori dan Praktik, Harvarindo
Karin Timmermans : TRIPs , CBD and Traditional Medicines; Consepts and Question_ Repot of ASEAN Workshop on The Persetujuan TRIPst and Traditional  Medicines, National Agency for Drug and Food Control _World Helth Organization, Jakarta 2001
Kamus Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta 2008

Ki Hajar Dewantara, bagian II A : Kebudajaan, Madjelis Luhur Persatuan Taman Siswa, Pertjetakan Taman Siswa, Jogjakarta, 1967
Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan, cet. 7 (Jakarta: PT.Gramedia, 1996
Lawrence M. Friedman, American Law, An Introduction, W.W. Norton and Company, New York, 1984

 Lawrence M. Friedman, A History of American Law, Simon and Schuster, New York, 1973

Maui Solomon, Intellectual Property Rights and Indigenous Peoples Rights and Obligations, Motion Magizine of Misouri Rural Crisis Center, NPC Productions, 1995
Miranda Risang Ayu, Konsep Indikasi Geografis dalam Undang-Undang Merek di Indonesia dalam kalitannya Prinsip-prinsip Protekksi Trips, Fakultas  Hukum Universitas Padjadajaran , Bandung 2000
Ralph L.Beals, Harry Hoijer, An Introduction to Anthropology, ed.3, The Macmillan Company, NY, 1965

WIPO-UNESCO Model Provisions for National Laws on the Protection of Expressions of Folklore against Illicit Exploitation and Other Prejudicial Actions 1982

Dokumen WIPO/GRTKF/IC/10/4 http://www.wipo.int/edocs/mdocs/tk/en/wipo_grtkf_ic_19/wipo_grtkf_ic_10_4.pdf




[1]  Acmad Gusman Catur Siswandi :Perlindungan Hukum Terhadap Asset Pengetahuan Tradsional, hal 1
[2]  Sedyawati  Edy, Warisan Tradisi, Penciptaan, dan Perlindungan, Makalah dalam Temu Wicara Perlindungan Hukum Floklor dan Traditional Knowledge, Dirjen HKI, Departmen Kehakiman dan HAM RI, Jakarta 13 Agustus 2003, halaman 3,  bandingkan  Dananjaya James : Perlindungan Hukum Folklore : beberapa cirri khusus folklore : penyebarannya dan pewarisannya bersifat lisan; bersifat tradisional, eksis  dalam farian-farian yang berbeda; bersifat anonim, bentuknya berumus atau berpola; mempunyai  fungsi kegunaan dalam kehidupan kolektif, pralogis; milik kolektif dan bersifat polos, vulgar.
[3] Ibid, halaman 3, lebih lanjut berdasarkan Group Expert On The Protection of Exspression of Folklore by Intellectual Property 1985, folklore hanya mencakup bentuk-bentuk ekspresi identitas sosial budaya yang dituangkan dalam karya seni dan karya sastra, dengan perlindungan folklore hanya dapat dilakukan  dalam kerangka perlindungan hak cipta. Traditional Knowledge is Knowledge, innovation and practices of indigenous and local communites embodying traditional lifestyle relevant for the conservation and sustainable use of biological diversity (The Convention on Biological Diversity, article 8 j) .  Dengan demikian pengetahuan tradisional memiliki cakupan yang lebih luas, termasuk pengetahuan mengenai tumbuh-tumbuhan dan binatang dalam hal pengobatan dan makanan yang memerlukan perlindungan dalam kerangka lain, yaitu paten dan keanekaragaman hayati  (Lihat Michel Blakeney, Intellectual Property in The Dreamtime- Protecting the Cultural Creativity of Indigenous Peoples, dikutip oleh Tomi Suryo Utomo : Perlindungan Pengetahuan Tradisional dalam Hukum Paten Indonesia, Problematika dan Solusi)
[6] Kamus Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta 2008, halaman 380
[7] Ralph L.Beals, Harry Hoijer, An Introduction to Anthropology, ed.3, The Macmillan Company, NY, 1965 page 269 kemudian “culture”, sebagai suatu kata yang digunakan oleh antropologis, bisa diaplikasikan sebagai (a) jalan hidup atau desain kehidupan pada satu waktu untuk umat manusia;(b)jalan atau cara hidup khusus bagi suatu kelompok atau masyarakat yang melakukan interaksi;(c) suatu karakteristik cara berperilaku khas sebuah segmen prinsip-prinsip kemasyarakatan yang luas dan kompleks; dan (d) suatu pola tingkah laku khas dari suatu masyarakat.
[8] Ki Hajar Dewantara, bagian II A : Kebudajaan, Madjelis Luhur Persatuan Taman Siswa, Pertjetakan Taman Siswa, Jogjakarta, 1967, hal.27
[9] Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan, cet. 7 (Jakarta: PT.Gramedia, 1996), hal.17
[10] Koentjaraningrat, Ibid halaman 72. Selanjutnya  kebudayaan paling sedikit mempunyai tiga wujud, yaitu wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya; Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia ke masyarakat;Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.
[11] Kamus Bahasa Indonesia, Op Cit halaman 1543
[12] Lihat Section 2 dari WIPO-UNESCO Model Provisions for National Laws on the Protection of Expressions of Folklore against Illicit Exploitation and Other Prejudicial Actions 1982
[13] Tunisia Model Law 1976  in Section 18 : Folklore” is  all literary, artistic and scientific works created on national territory by authors presumed to be nationals of such countries or by ethnic communities, passed from generation to generation and constituting one of the basic elements of the traditional “ . Lihat Model Provisions Section 2 : Productions consisting of characteristic elements of  traditional artistic heritage developed and maintained by a community, in particular, verbal expressions,  (folk tales, folk poetry, riddles); musical expressions (folk songs and instrumental music); expressions by action (folk dances, plays and artistic forms or rituals);  and tangible expressions (productions of folk art, drawings, paintings, carvings, sculptures, pottery, terracotta, mosaic, woodwork, metalware, jewelry, basket-weaving, needle work, textiles, carpets, costumes,musical instruments, and [architectural forms.]
[14] Lihat Dokumen WIPO/GRTKF/IC/10/4, p.13 : The term of “characteristic” is intended to convey nation of “authenticity” or that the protected exspression are “genuine”, “partain to” and
“authencity” are implicit in requirement that expression, or elements of them, mus be characteristic
[15]DokumenWIPO/GRTKF/IC/19/4:http://www.wipo.int/edocs/mdocs/tk/en/wipo_grtkf_ic_19/wipo_grtkf_ic_19_4.pdf : Protection (shall) should extend to any traditional cultural expression which is the (unique]/indicative) characteristic product of a people or community, including an indigenous people or local community and cultural communities or nations and (belongs to) is used and developed by that people or community (as part of their cultural or social identity or heritage).  Protected traditional cultural expressions shall be: (a) the products of (creative intellectual activity), including communal creativity; (b) indicative of (authenticity/being genuine) of the cultural and social identity and cultural heritage of indigenous peoples and communities and traditional and other cultural communities;  and  (c) maintained, used or developed by nations, states, indigenous peoples and communities and traditional and other cultural communities, or by individuals having the right or responsibility to do so in accordance with the customary land tenure system or law / customary normative systems or traditional/ancestral practices of those indigenous peoples and communities and traditional and other cultural communities, or has an affiliation with an indigenous/traditional community.
[16] Tiga unsur subprinsip-prinsip hukum ini diambil dari Lawrence M. Friedman, American Law, An Introduction, W.W. Norton and Company, New York, 1984, juga dalam Lawrence M. Friedman, A History of American Law, Simon and Schuster, New York, 1973

[17]  Bern Convention for the Protection of Literary and Artistic Works Article 15 paragraf 4 :a) In the case of unpublished works where the identity of the author is unknown, but where there is every ground to presume that he is a national of a country of the Union, it shall be a matter for legislation in that country to designate the competent authority which shall represent the author and shall be entitled to protect and enforce his rights in the countries of the Union.(b) Countries of the Union which make such designation under the terms of this provision shall notify the Director General by means of a written declaration giving full information concerning the authority thus designated. The Director General shall at once communicate this declaration to all other countries of the Union.
[18] Agnes Lucas-Shloetter : Folklore dalam Indigenous Heratage and Intellectual Property GRTKF, 2 nd edition Edited by silke von Lewinski, Kluwer Law, Law & Bussiness Netherland 2007, halaman 351
[19] Bern Convention, Article 2 (2);” It shall, however, be a matter for legislation in the countries of the Union to prescribe that works in general or any specified categories of works shall not be protected unless they have been fixed in some material form “.
[20] Penjelasan UU Nomor 19 Tahun 2002;”Perlindungan Hak Cipta tidak diberikan kepada ide atau gagasan karena karya cipta harus memiliki bentuk yang khas, bersifat pribadi dan menunjukkan keaslian sebagai Ciptaan yang lahir berdasarkan kemampuan, kreativitas, atau keahlian sehingga Ciptaan itu dapat dilihat, dibaca, atau didengar.
[21] Proses kreatif  kain tenun Pagringsingan memerlukan waktu 8 Tahun untuk menjadi kain siap pakai, kain batik (tulis) paling sedikit 6 bulan demikian juga tenun Sikek dan juga  karya EBT lainnya.
[22] Pada masyarakat tradisional untuk menghasilkan karya seni EBT sesorang anggota komunitas harus mempersiapkan tidak hanya persiapan phisik tapi juga persiapan jiwanya, misalnya dengan nglakoni bisa semedi, puasa, membuat ritual tertentu. Apalagi  kalau karya EBT tersebut diperuntukan untuk keperluan ritual keagamaan. Hasil Wawancara dengan Kepala Adat  Desa Tenganan Bp. Mangku
[23] Edy Sedyawati : Makalah : Upaya Perlindungan Hukum (HKI) terhadap Produk Kerajinan Nasionl yang Menjadi Warisan Budaya, Diskusi Panel, Semarang, 18 Oktober 2002, halaman 3
[24] LocCit
[25] Agnes Lucas – Schoeller. Op Cit hal 386 , lihat juga kasus Yumbulul vs Reserve Bank of Australia terkait kasus reproduksi dugaan seni  Aborigin, Morning Star, pada mata uang kertas $ 10 oleh Reserve Bank of Australia. keputusan ini menandai tonggak penting dalam pengadilan penerapan Undang-Undang Hak Cipta 1968 untuk karya-karya artistik Adat. Pengadilan menerima bahwa karya seni Aborigin adalah sebuah karya seni asli yang hidup dari hak cipta, dan bahwa seniman Aborigin adalah pemilik hak cipta di dalamnya.  (Kamal Puri, Brisbane University Queenland Austrlaia, www.folklife.si.edu/resources/unesco/puri.htm)
[26] Josep Githaiga, Intellectual  Property Law and Protection  Indigenous folklore and Konwledge,  E LAW | Murdoch University Electronic Journal of LawVolume 5, Number 2 (June 1998), halaman 4.  Maui Solomon, Intellectual Property Rights and Indigenous Peoples Rights and Obligations, Motion Magizine of Misouri Rural Crisis Center, NPC Productions, 1995, halaman 4
[27] Ibid, halaman 390-391. Lihat Pasal 6 bis Konvensi Bern ..” author shall have the right to claim authorship of the work and to object to any distortion, mutilation or other modification of, or other derogatory action in relation to, the said work, which would be prejudicial to his
honor or reputation
[28] WIPO Performances and Phonogram Treaty 1996, Article 2 (d) : (d) “producer of a phonogram” means the person, or the legal entity, who or which takes the initiative and has the responsibility for the first fixation of the sounds of a performance or other sounds, or the representations of sounds;
[29] Produser rekaman mendapatkan perlindungan atas hak eksklusif tersebut berdasarkan Pasal 11 -15 WPPT, Pasal 10 Rome Convention dan Pasal 12 Persetujuan TRIPs. Bandingkan dengan ketentuan tentang perlindungan terhadap pencipta “posthumous” yang dalam The European Directive In the Field of Copyright an Neighouring Rights 1993,2001 dan 2006 Pasal 4 : “grant a posthumous right of publication for the benefit of any person who after expiry of copyright protection, for the firstime lawsfully publishes or lawsfully communication to the public a previosly unpublished work” dan hak-hak eksklusif (reproduksi, distribusi, rental dan renumersi) produser phonogram atas karya EBT yang “posthumous” pertama kali yang belum terpublikasi secara internasional.
[30] Agnes Lucas-Shloetter. Op Cit halman 357
[31]  Kasus antara John Hardy, Ltd. (“John Hardy”), sebuah perusahaan perhiasan dengan nama PT. Karya Tangan Indonesia (KTI) yang berkantor pusat di Hong Kong, melawan I Ketut Denny Aryasa, pengrajin perhiasan dari Bali. John Hardy memiliki pabrik untuk membuat perhiasan di Bali bernama PT. Karya Tangan Indah dan Denny Aryasa yang sebelumnya pernah bekerja pada John Hardy, sekarang menjadi kepala pendesain dan pemilik modal dari perusahaan bernama BaliJewel. Denny Aryasa ditahan di Bali dengan tuduhan menjiplak dua motif perhiasan milik John Hardy, yaitu Batu Kali dan Fleur (“Bunga”), pada perhiasan yang didesain oleh Denny Aryasa untuk BaliJewel. Denny dan sebagian besar masyarakat Bali memprotes klaim hak cipta John Hardy atas kedua motif tersebut karena kedua motif itu adalah motif tradisional Bali yang telah dipergunakan turun-temurun oleh masyarakat Bali. Walaupun belum pernah didokumentasikan atau dikompilasikan dalam data-base, kedua motif tersebut umum digunakan untuk dekorasi pura di Bali, pintu masuk bangunan di Bali, dan dalam berbagai karya seni Bali lainnya. Selama proses pengadilan, hakim menemukan fakta bahwa John Hardy juga telah memiliki hak cipta atas kurang lebih 800 motif  tradisional Indonesia lainnya, baik yang terdaftar di Indonesia maupun di Amerika Serikat. Pengadilan Negeri Denpasar memutuskan Denny Aryasa tidak bersalah dalam kasus ini dengan alasan karena motif yang dibuatDenny Aryasa berbeda bentuk dan teksturnya dari motif yang dimiliki John Hardy (Dituding Jiplak Motif Perak, Perajin Bali Dituntut 2 Tahun Penjara”, detikNews, 12 September 2008, http:/
/us.detiknews.com/read/2008/09/17/163057/1007972/10/perajin-perak-bali-bantah-jiplak-motif-perak-milik-asing, diakses 2 Januari 2011).
[32] Article 25 ayat (1) Persetujuan TRIPst: Members shall provide for the protection of independently created industrial designs that are new or original. Members may provide that designs are not new or original if they do not significantly differ from known designs or combinations of known design features. Lihat juga Pasal 2 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Desain Industri Nomor 31 Tahun 2000 Hak Desain Industri diberikan untuk Desain Industri yang baru.(2) Desain Industri dianggap baru apabila pada Tanggal Penerimaan, Desain Industri tersebut tidak sama dengan pengungkapan yang telah ada sebelumnya.

[33] Porwodarminto, The Grolie International Dictionary , Diolah kembali oleh Pusat Pembinaan dan {Pengembangan Bahasa Indonesia, Dept. P dan K, PN Balai Pustaka , Jakarta 1976, halaman 1008, bandingkan dengan dengan Henry Cambell Black, halaman 70 :Brand or Mark : A word, mark, design, term, or a combination of these both visual and oral, used for the purpose of indentification of some product or service. Bandingkan Brendan J Fowlston, Understanding commercial and Industrial Licencing, London : Waterflow Publisher Limited, First Edt, 1984, halaman 11: ’The word, bedge or simbol which a manufacturer uses to mark to denote their origin”.
[34]  Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang no 15 Tahun 2001; “Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang ataujasa.

[35] Article 7(bis) (1) Paris Convention : The countries of the Union undertake to accept for filing and to protect collective marks belonging to associations the existence of which is not contrary to the law of the country of origin, even if such associations do not possess an industrial or commercial establishment. Pasal 50 Undang-Undang Merek Nomor 15 Tahun 2001
[36] Iman Syahputra, Heri Herhanto, Parjio: Hukum Merek Baru, Seluk Beluk Tanya Jawab Merek, Teori dan Praktik, Harvarindo, halaman 131.
[37]  Konvensi Paris Pasal 6quinquies huruf b (3) ;  Trademarks covered by this Article may be neither denied registration nor invalidated except inthe following cases:hen they are contrary to morality or public order and, in particular, of such a nature as to deceive the public. It is understood that a mark may not be considered contrary to public order for the sole reason that it does not conform to a provision of the legislation on marks, except if such provision itself relates to public order. Pasal 5 huruf a Undang-Undang Merek Nomor 15 Tahun 2001

[38] Sebagai ilustrasi  terkait prinsip ini yaitu dalam  hal penggunaan karakter EBT untuk tanda merek yaitu kasus PT Konimex yang berlokasi di Kecamatan Grogol, Sukoharjo, Jawa Tengah digugat oleh Ikatan Masyarakat Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur yang berada di Jakarta karena menggunakan dan mendaftarkan merek “Kido” untuk produk permen coklat . Sebab, dalam bahasa daerah Flores, 'Kido' bermakna bersenggama, bersetubuh, hubungan kelamin antara wanita dan laki-laki. IMMI menggugat PT Konimex sebesar Rp 1 serta keharusan meminta maaf secara terbuka kepada masyarakat Manggarai, baik yang tinggal di Indonesia maupun di luar negeri melalui media televisi, koran nasional serta koran lokal di Flores selama tujuh hari berturut-turut. Juga membayar uang paksa sebesar Rp 5 juta per hari atas keterlambatan melaksanakan putusan itu. Selain itu, PT Konimex wajib mengganti merek Kido. Menurut para penggugat yang tergabung dalam Ikatan Masyarakat Manggarai Indonesia (IMMI), kata Kido sangat tabu diucapkan secara terbuka ke khayalak ramai Masyarakat Manggarai prihatin dan resah dengan kehadiran cokelat merk 'Kido’. Produk tersebut membawa dampak negatif bagi pendidikan anak-anak, bahkan terindikasi cokelat tersebut telah dijadikan bahasa sandi di antara remaja untuk melaksanakan hubungan seksual. Hal itu menyebabkan orang Manggarai tabu menyebutkannya secara terbuka di depan anak-anak/remaja. Jika hal itu dilakukan, maka sama saja mendidik mereka dengan hal-hal pornografis yang ditentang keras oleh masyarakat Indonesia yang dikenal tinggi peradabannya.Sejalan dengan tabunya kata tersebut, maka kehadiran cokelat Kido, di tengah masyarakat Manggarai mendatangkan keresahan pada orang tua, rohaniwan/biarawan/biarawati, para pendidik dan tua-tua adat di daerah ini. Keresahan ini terutama disebabkan kata Kido tidak lagi merupakan sesuatu yang dipandang tabu oleh orang Manggarai, melainkan sesuatu yang maknanya telah bergeser menjadi yang sebaliknya, yakni mengonsumsi cokelat.Orang tua yang mendengar anaknya mengucapkan kata itu, atau meminta jajan cokelat Kido sungguh menderita luka batin. Apalagi kata tersebut sudah menjadi bahasa sandi antara remaja untuk melakukan
hubunganseksual
[39] Menurut Yahya Harahap, Op Cit halaman 394 mengatakan : “Penerapan ketentuan bertentuan tersebut tidak bisa dilakukan dengan menggunakan dengan standar universalisme tetapi menggunakan patokan relativisme cultural, karena setiap masayarakat mempunyai persepsi terhadap nilai-nilai moralitas ataupun ukuran baik dan buruk berbeda antara bangsa yang yang satu dengan bangsa yang lainnya. Bertentangan dengan ketertiban umum berarti  bertentangan dengan hukum positif, menganggu ketentraman masyarakat, menganggu  stabilitas keamanan dan ketentraman masyarakat, membahayakan kesejahteraan rohani dan jasmani masyarakat dan bertentangan dengan ajaran agama
[40] Budi Santoso, Pengantar Hak Kekayaan Intelektual, (Semarang : Pustaka Magister, 2008), halaman 68
[41] Article 10 Paris Convention :1) The provisions of the preceding Article shall apply in cases of direct or indirect use of a false indication of the source of the goods or the identity of the producer, manufacturer, or merchant.;(2) Any producer, manufacturer, or merchant, whether a natural person or a legal entity, engaged in the production or manufacture of or trade in such goods and established either in the locality falsely indicated as the source, or in the region where such locality is situated, or in the country falsely indicated, or in the country where the false indication of source is used, shall in any case be deemed an interested party.”

[42] Pasal 22 ayat (1)  Persetujuan TRIPs
[43] Persaingan curang adalah Segala bentuk perbuatan yang dapat menimbulkan kebingungan tentang pihak pesaing, barang, ataupun kegiatan perdagangan dan industrial pesaing; Persangkaan palsu (false allegations) yang bertujuan untuk mendiskeditkan pihak pesaing, barang, ataupun kegiatan perdagangan dan industrial pesaing; Persangkaan atau petunjuk yang yang dapat menyesatkan publik mengenai kondisi, proses pembuatan, karakteristik, kelayakan, serta kuantitas dari barang. (Pasal 10 bis ayat (2) dan (3) Konvensi Paris)
[44]   Miranda Risang Ayu, Konsep Indikasi Geografis dalam Undang-Undang Merek di Indonesia dalam kalitannya Prinsip-prinsip Protekksi Trips, Fakultas  Hukum Universitas Padjadajaran , Bandung 2000, halaman 6

[45] Karin Timmermans : TRIPs , CBD and Traditional Medicines; Consepts and Question_ Repot of ASEAN Workshop on The Persetujuan TRIPst and Traditional  Medicines, National Agency for Drug and Food Control _World Helth Organization, Jakarta 2001, halaman 20

[46]  Lindsey Tim dkk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar