Perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional
Dalam Sistem Hukum Kekayaan Intelektual
Oleh
: Kholis Roisah
Abstract
The exsisting law of intellectual property had
enable to protect incomprehensive against cause that is difference between the characteristics of both IPR and TCE, related form
of expression ideas; orientation
creation or invention , indications, construction existence, content of rights , the
identity of the creator or inventor and the underlying value system of
protection Although
both same from human intellectual
creativity both of
between IPR and EBT that is a
difference in character. Forms of IPR should be
embodied in the idea (in material form),
(novelty) and (originality),
in the form of TCE can be in the form of verbal
expression / oral,
expression of motion or sound expressions
(intangible) and
idea of TCE must be contained and produced as an act and knowledge as
well as specific techniques rooted hereditary tradition. Creator
of the IPR are clearly identified, orientation produces creation or
finding more towards economic incentives and IPR is constructed as an intangible movable property so that it can be the object of property rights. It is different in TCE,
the original creator is unknown identification, orientation to produce
a creation to continue cultural traditions. and the creation is
constructed as a cultural heritage
cultural identity. IPR system base on individualistic and monopolistic value, and TCE
systembase base on comunal and sipiritual value
1. Pendahuluan
Kekayaan intelektual merupakan kreatifitas yang
dihasilkan dari olah pikir manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan dan
kesejahteraan hidup manusia. Kreatifitas
manusia yang muncul sebagai asset
intelektual seseorang telah lama memberi pengaruh yang signifikan terhadap
peradaban manusia, antara lain melalui penemuan-penemuan (inventions) dan hasil-hasil di bidang karya cipta dan seni (art
and literary work) [1]
Semakin berkembang kreatifitas seseorang maka semakin berkembang juga peradaban
manusia. Pada akhirnya diperlukan pengakuan dan juga penghargaan (reward) terhadap hasil kreatifitas
seseorang dengan tatanan hukum yang
disebut rejim hukum hak kekayaan intelektual. Rejim hukum ini memberikan perlindungan terhadap hasil karya
penemu (inventor) atau pencipta dari pihak lain yang secara tidak sah
menggunakan ataupun memanfaatkan hasil karyannya. Selain itu rejim hukum HKI
juga memberikan perlindungan terhadap kepentingan ekonomi dari hasil temuan
ataupun karya cipta penemu atau
pencipta. Perlindungan hukum bertujuan untuk memberikan rangsangan untuk
menghasilkan temuan atau karya cipta yang lebih inovatif. Ruang lingkup rejim
HKI meliputi hak paten, merek, disain industri, cipta, rahasia dagang, disain
tata letak sirkit terpadu dan varietas tanaman.
Perlindungan
hukum terhadap HKI mengalami perkembangan yang sangat pesat dalam tatanan
internasional dan bahkan menjadi salah satu issue pada pada era globalisasi dan
liberalisasi sekarang ini. Khusunya sejak disepakatinya perjanjian
internasional tentang Aspek-aspek Hak
kekayaan Intelektual dalam Perdagangan (Trade
Related Aspects of Intellectual Property Right-TRIPs Agreement), yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari perjanjian tentang Pendirian World Trade Organization (WTO) yang
telah diratifikasi oleh 150 lebih negara di dunia . Perjanjian ini
mengukuhkan penegakan hukum (law
enforcement) yang lebih dan memperluas ruang lingkup perlindungan HKI dari
perjanjian internasional sebelumnya yang diprakarsai oleh World Intellectual Property Organization (WIPO).seperti Perjanjian
Bern (art and literary work) dan
Perjanjian Paris (Intellectual
Property) dan Perjanjian Washington.
Banyaknya
Negara yang menjadi peserta perjanjian TRIPs menunjukkan, kepedulian masyarakat internasional terhadap
perlindungan HKI. Hal ini membawa dampak terhadap upaya peningkatan
perlindungan HKI di tinkgat lokal /nasional termasuk Indonesia. Pada dasa warsa
terakhir ini Indonesia telah meratifikasi perjanjian-perjanjian internasional
di bidang HKI dan melakukan revisi juga mengeluarkan peraturan baru di bidang
perundang undangan HKI.
Walaupun
demikian perkembangan di bidang perlindungan
HKI
dihadapkan pada isu
yang menyangkut kepentingan potensi kekayaan intelektual yang berasal dari sebagian besar Negara berkembang termasuk
Indonesia, yaitu perlindungan kekayaan
intelektual berbasis pengetahuan tradisional atau tradisional knowlegde (TK), traditional
cultural expression (TCe) atau folklore dan genetic
resources (GR). Kekayaan intelektual tradisional yang berupa karya cipta
ataupun pengetahuan merupakan hasil kreativitas seseorang atau kelompok
masyarakat sebagai ungkapan tradisi
budaya turun temurun dari satu
generasi ke generasi dalam rangka memenuhi kebutuhan dan
kesejahteraan hidupnya yang ditransmisikan secara lisan dan penciptanya anonim.[2] Suatu kekayaan tradisional dapat berupa karya
cipta tradisional (folklore) dan
pengetahuan tradisional (traditional
knowledge). Folklor adalah hasil karya tradisional sebagai
ungkapan seni (Traditional Cultural
Expressions) dan Traditional
Knowledge adalah aspek pengetahuan yang mengandung unsur teknologi.[3]
Ciri yang melekat
pada hasil karya ataupun temuan tradisional mengandung nilai-nilai kearifan
dalam hubungan manusia dengan manusia, dengan alam dan Tuhannya. Kekayaan
intelektual tradisional ini
dilestarikan, dikembangkan serta dijadikan bagian identitas budaya
terutama oleh kelompok masyarakat lokal dan atau masyarakat yang adat yang berada di sebagian besar wilayah Negara
berkembang dan Indonesia.
Persoalan
terjadi pada ekspresi budaya tradisional
atau EBT (Traditional
Cultural Expressions/Expressions of Folklore) sebagai salah satu bentuk
dari kekayaan intelektual tradisional. EBT memiliki nilai budaya yang sangat besar sebagai
bentuk warisan budaya yang terus menerus berkembang bahkan dalam masyarakat
modern di penjuru dunia. Sementara di sisi lain, mereka juga memegang peran
penting sebagai bagian dari identitas sosial dan wujud ekspresi budaya dari
suatu masyarakat lokal.
Ekspresi budaya
tradisional Indonesia juga mempunyai potensi ekonomi yang menjanjikan terutama
terkait dengan industri pariwisata dan industri ekonomi kreatif. Di bidang industri pariwisata misalnya,
industri pariwisata di Bali yang hampir semuanya berbasis EBT mempunyai sumbangan yang sangat besar sebagai
sumber pendapatan ekonomi daerah dan
menjadikan Bali dikenal seluruh dunia. Di bidang industri ekonomi kreatif
terutama produk kerajinan berbasis EBT seperti, kerajinan batik, ukir kayu,
ukir tembaga, perak adalah produk mempunyai sumbangan yang cukup besar untuk
menyumbang devisa negara.
Namun perkembangan teknologi modern terutama di bidang
telekomunikasi dapat menimbulkan berbagai penggunaan secara tak pantas dari EBT
yang ada. Berbagai bentuk komersialisasi terhadap EBT terjadi bahkan hingga tingkat global
tanpa seijin masyarakat adat pemiliknya. Komersialisasi ini juga disertai
dengan berbagai bentuk distorsi, pengubahan maupun modifikasi terhadap EBT
secara tidak pantas
Kasus-kasus yang terjadi belakangan ini di Indonesia, walaupun belum ada penyelesaian secara hukum.
Kasus mebel ukir Jepara, yaitu pengusaha asing P.T. Harrison & Grill-Java
mendaftarkan katalog yang berisi gambar-gambar desain mebel ukir tradisional
Jepara, kemudian dengan berpegang hak cipta atas katalog tersebut Harrison melakukan
somasi untuk melarang para pengrajin
lokal memproduksi model ukiran yang
tertera di dalam katalognya[4]. Lebih tragis lagi beberapa motif tradisional yang
menjadi bagian perjalanan sejarah budaya ukir perak Bali seperti batun timun, batun poh, parta ulanda, kuping
guling dan jawan (ada sekitar 1.800 motif lagi) didaftarkan oleh para warga
asing baik yang tinggal di Indonesia maupun di luar negeri, bahkan ada beberapa
pengrajin lokal yang sudah digugat oleh para pengusaha asing di Indonesia
sendiri maupun di negara tujuan ekspor yang dituduh melanggar hak cipta[5]. Kasus pengrajin perak tradisional perak di Bali yang
dituntut oleh pengusaha raksasa asing atau juga pengrajin perak yang digugat di
pengadilan Negara Bagian Amerika oleh pengusaha Amerika belum lagi adanya fakta
bahwa sebagian besar desain perak tradisional di daftarkan hak ciptanya oleh
sebagian besar pengusaha Asing.
Kasus-kasus klaim kepemilikan kekayaan budaya tradisional
milik bangsa Indonesia oleh negara tetangga seperti misalnya penggunaan lagu
tradisional Rasa Sayange sebagai jingle
iklan Visit Malaysia tanpa otorisasi masyarakat adat Maluku sebagai pemiliknya,
hingga memancing kontroversi antara dua negara karena muncul anggapan telah
terjadi pelecehan terhadap budaya tradisional Indonesia
disamping issue klaim pemilikan oleh pihak Malaysia atas Batik Parang, Reog
Ponorogo, Angklung dan terakhir Tari Pendhet.
EBT
merupakan bagian identitas budaya yang berproses sangat panjang melintasai
beberapa generasi yang sampai sekarang tetap eksis, dipertahankan dipelihara , dikembangkan dan digunakan oleh
komunitas masyarakat adat / lokal untuk kelangsungan dan kesejahteraan
hidupnya. Kemudian ketika sistem hak kekayaan intelektual muncul maka eksistensi
EBT menghadapi tantangan terutama yang terkait dengan upaya memberikan
perlindungan terhadap EBT. Terdapat diskursus tentang upaya memberikan
perlindungan terhadap EBT, di satu sisi ada keinginan sejumlah pihak untuk
mengupayakan perlindungan hukum terhadap EBT
tapi di pihak lain berkeinginan untuk tetap membebaskan EBT dari
perlindungan apapun.
Beberapa
gambaran diatas tampak jelas jika berbagai bentuk pelanggaran, penyerobotan dan
penggunaan tidak pantas terhadap EBT itu belum ada usaha menangani,
mengendalikan dan mengatasinya bahkan rezim hukum yang eksis pun belum cukup
melindungi secara memadai, maka hal ini
akan berdampak buruk. Dampak itu tidak hanya dirasakan oleh komunitas
masyarakat adat pemilik EBT bahwa nilai budaya dan identitas sosialnya
dilecehkan dan bahkan secara perlahan terdistorsi dan kehilangan nilai-nilai
budaya dan adat istiadat yang sakral dan luhur, berubah menjadi sekedar
komoditas komersial belaka. Inilah yang menjadi latar belakang perlunya sistem
hukum yang dapat memberikan perlindungan secara komprehensif terhadap EBT.
2. Pembahasan
1.
Pengertian Ekspresi Budaya Tradisional
Secara etimologis Ekspresi Budaya Tradisional atau Traditional Cultural Exspression yang
terdiri dari kata ekspresi atau exspression
yang artinya ekspresi pengungkapan atau proses menyatakan (yaitu
memperlihatkan atau menyatakan maksud, gagasan,
perasaan, dsb.).[6] Sedangkan
Budaya atau kebudayaan
berasal dari bahasa
Sanskerta yaitu buddhayah,
yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan
sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia.
Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang
berasal dari kata Latin “cultura”
(Colere).[7]. Maksudnya adalah usaha
untuk memperbaiki kehidupan dengan segala daya upaya dan cara-cara ilmiah untuk
membesarkan hasilnya.[8] Koentjaraningrat mendefinisikan
kebudayaan sebagai “hal-hal yang bersangkutan dengan budi dan akal” sebab
konsep kebudayaan berarti: “keseluruhan dari hasil budi dan karyanya itu”[9]
Selanjutnya menurut Koentjaraningrat budaya adalah keseluruhan prinsip-prinsip
gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat
yang dijadikan milik diri manusia dengan cara belajar[10].
Kata tradisional (traditional)
berasal dari kata tradisi yang
artinya adat kebiasaan turun temurun
yang masih dijalankan dalam masyarakat.[11]
Hal ini dapat diartikan sebagai keseluruhan prinsip-prinsip yang merupakan
ungkapan ide, gagasan, tindakan dan
hasil karya manusia sebagai ungkapan tradisi turun temurun dalam masyarakat.
Di dalam Tunisia Model 1976 pengertian folklor dapat diketahui pada
Section 18 :
Folklore” is all literary, artistic and scientific works
created on national territory by authors presumed to be nationals of such
countries or by ethnic communities, passed from generation to generation and
constituting one of the basic elements of the traditional “
Diperkenalkannya istilah yang disebut “expression of Folklore.”
Istilah ini digunakan untuk mendefinisikan bentuk folklor secara khusus, yaitu
folklor sebagai bentuk ekspresi budaya. Model Provisions for National Laws
on the Protection of Expressions of Folklore Against Illicit Exploitation and
Other Prejudicial Actions 1982 menggunakan istilah ini untuk menjelaskan[12]:
“Expressions
of folklore” means poductions consisting of characteristic elements of
traditional artistic heritage developed and maintained by a community of [name
of the country] or by individuals reflecting the traditional artistic
expectations of such a community, in particular :
1.
verbal
expressions, such as: folk tales, folk poetry, and riddles;
2.
musical expressions, such as folk songs
and instrumental music;
3.
expressions by action, such as folk
dances, plays, and artistic forms or rituals; Whether or not reduced to a
material form; and
4.
tangible expressions, such as:
-
productions of folk art, in particular,
drawings, paintings, carvings, sculptures, pottery, terracotta, mosaic,
woodwork, metalware, jewelry, basket weaving, needlework, textiles, carpets,
costumes;
-
musical instruments
-
architectural forms;”
Definisi
dari istilah ekspresi folklor (Expression of Folklore) dalam Model
Provision 1982 inipun tidak dapat dianggap baku. Definisi ini tidak
berusaha mengkaji secara mendalam pengertian dari EBT, tetapi lebih berfokus
pada bentuk-bentuk EBTyang dapat dilindungi.
Tunisia Model Law
1976 dan Model Provisions 1982[13] memberikan
definisi yang sama yaitu adanya mengandung unsur elemen karakter tradisional.
Unsur elemen karakter tradisional (traditional
character element) menjadi syarat utama karena sebuah karya atau produk
untuk disebut sebagai EBT maka karya
atapun produk harus mempunyai keterkaitan, pertalian ataupun berakar dan
sekaligus merepresentasikan dengan sikap dan cara berpikir serta bertindak
yang berpegang teguh pada nilai, norma dan adat kebiasaan yang ada secara
turun-temurun atau yang disebut warisan tradisi (tradisional heritage) dari
komunitas masyarakat tertentu. Tanpa ada keterkaitan tersebut maka works atapun
produk tersebut bukan EBT. Sekaligus ini menunjukkan bahwa elemen karakter
tradisional merupakan garansi bahwa suatu sebuah karya atau produk EBT adalah “authentic”.[14]
Drafts Treaty WIPO
tetang Perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional/Ekspresi folklor
karakteristik yang menjadi kriteria
persyaratan untuk mendapatkan
perlindungan adalah, perlindungan
(shall) harus meliputi setiap EBT yang merupakan
produk yang berkarakter unik dari orang
atau masyarakat, termasuk masyarakat adat atau komunitas lokal dan komunitas budaya atau bangsa dan (menjadi
milik) yang digunakan dan dikembangkan oleh orang atau masyarakat (sebagai
bagian dari identitas budaya atau sosial atau warisan mereka).
Beberapa pengertian diatas menggambarkan
bahwa EBT adalah :
(a)
produk-produk dari aktivitas intelektual yang
kreatif , termasuk kreativitas komunal;
(b)
Mempunyai indikasi autentik dan orisinil
dari identitas budaya dan sosial dan warisan budaya masyarakat adat dan masyarakat dan komunitas budaya tradisional dan lainnya, dan
(c)
dipertahankan, digunakan atau dikembangkan oleh bangsa, negara, masyarakat adat, dan masyarakat dan komunitas budaya tradisional dan lainnya, atau oleh individu memiliki hak atau tanggung
jawab untuk melakukannya sesuai dengan
prinsip-prinsip kepemilikan tanah adat atau hukum /
prinsip-prinsip normatif adat
atau praktek-praktek tradisional /
leluhur mereka masyarakat
adat dan masyarakat dan komunitas
budaya tradisional dan lainnya,
atau memiliki hubungan dengan
komunitas adat / tradisional.[15]
2. Perlindungan
EBT Dalam Prinsip-prinsip Hukum Kekayaan Intelektual
Perlindungan
terhadap EBT yang mendasarkan
prinsip-prinsip hukum
yang ada pada prinsip-prinsip hukum kekayaan intelektual, yaitu dapat melalui prinsip-prinsip
yang ada pada ketentuan hak cipta dan hukum
kekayaan industri yang sekarang eksis berlaku
baik
di tingkat internasional dan nasional.
Ketika
menyebut sistem
hukum banyak diantara kita yang mengacu pada Friedman yang menyebutkan adanya
tiga unsur, yakni substance (materi/substansi),
structure (struktur), dan culture (budaya).[16] Pertama akan dibahas
perlindungan EBT melalui substansi hukum kekayaan intelektual terutama melalui
prinsip-prinsp hukum yang ada dalam ketentuan hukum cipta dan hukum kekayaan
industri
2.1.
Perlindungan EBT melalui Hak Cipta (Copyright)
1)
Perlindungan EBT Melalui Ketentuan
Hak Cipta (Copyright
Law)
Prinsip-prinsip
hukum cipta yang terdapat The Berne Convention for the Protection of
Literary and Artistic Works (Konvensi Berne 1967) mengatur konsep kepemilikan
terhadap karya cipta anonim atau “anonymous
works”. Walaupun tidak secara khusus mengatur mengenai perlindungan
EBT, ketentuan dalam Konvensi Berne 1967 ini dapat diterapkan terhadap terutama
dalam hal ini ekspresi budaya yang tidak diketahui penciptanya.
Kententuan
“anonymous works” di dalam Konvensi
Bern merupakan ketentuan hukum kekayaan intelektual yang dapat diterapkan secara tidak langsung terhadap EBT
pada Pasal 15 paragraf 4 :”bahwa negara-negara pihak konvensi Bern mempunyai
kewajiban menunjuk otoritas yang berkompeten berdasarkan ketentuan nasional
untuk memberikan perlindungan terhadap karya-karya yang dipublikasikan yang
tidak diketahui penciptanya untuk mewakili kepentingan pencipta dan melindungi hak-hak pencipta.
Kemudian negara mempunyai kewajiban untuk mendepositorikan karya tersebut ke
Direktur Jenderal WIPO [17]
Setelah
didaftarkan, karya cipta anonim pun juga mendapat perlindungan selayaknya karya
biasa. Negara sebagai pemegang hak atas karya cipta anonim memperoleh hak-hak
eksklusif atas karya cipta tersebut. Hak-hak eksklusif yang diatur dalam
Konvensi Berne 1967 termasuk hak untuk translasi (Pasal 8), hak reproduksi
dalam berbagai bentuk termasuk rekaman audio visual (Pasal 9), hak untuk
menampilkan drama, drama-musikal, dan karya musik (Pasal 11), hak
untuk untuk menyiarkan dan mengkomunikasikan kepada publik (Pasal 11bis), hak
untuk menampilkan penampilan publik (public
recitation) (Pasal 11ter), hak untuk membuat adaptasi, aransemen, maupun
perubahan terhadap karya cipta (Pasal 12), hak untuk membuat adaptasi dan
reproduksi sinematografis terhadap karya cipta (Pasal 14), hak “droit de suite” berkaitan dengan karya
seni dan manuskrip asli (Pasal 14ter) serta hak moral (Pasal 6bis).
Ketentuan
tersebut walaupun secara implisit tidak menyebutkan perlindungan terhadap EBT
tapi ketentuan perlindungan terhadap karya yang tidak diketahui penciptanya (anonymous author) dapat dianalogikan
sebagai karya cipta yang mempunyai kriteria salah satu karakter EBT ( lihat
definisi) . Walaupun tidak dicantumkan
secara tegas namun hal ini merupakan langkah awal memberikan payung hukum
terhadap perlindungan EBT
Indonesia
sebagai negara yang telah meratifikiasi Konvensi Bern dan sekaligus juga
meratifikasi persetujuan TRIPs mempunyai kewajiban penuh untuk mengimplementasikan
prinsip-prinsip perlindungan hukum terhadap anonymous
works yang ada dalam konvensi Bern
ke dalam hukum cipta nasional (Undang-Undang Hak Cipta Nomor 19 Tahun 2002) UU
tersebut menyebutkan bahwa :
a.
Negara
pemegang hak cipta terhadap karya cipta anonim (tidak diketahui penciptanya)
yang belum diterbitkan;
b.
Penerbit
pemegang hak cipta atas karya cipta anonim yang sudah diterbitkan; dan
c.
Negara
pemegang hak cipta atas karya cipta anonim yang sudah diterbitkan dan tidak
diketahui penerbitnya. ( Pasal 11 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak
Cipta)
Walaupun
demikian implementasi ketentuan tersebut kalau diterapkan terhadap perlindungan EBT kemungkinan
mengalami kesulitan karena tidak memberikan informasi tentang badan yang
ditunjuk, fungsi dan tanggung jawabnya, contohnya ketika akan menerapkan
ataupun mendistribusikan suatu royalti bagaimana mekanismenya. Disamping itu
ketentuan tersebut tidak memberikan informasi yang tegas terkait dengan jangka
waktu (limit time) perlindungannya
terhadap karya anonymous apakah
diberlakukan khusus atau disamakan
dengan karya psedonymous (nama
samaran). Kalau disamakan maka ada
jangka waktu perlindungannya yaitu
50 Tahun sesudah penciptanya meninggal dunia (Artidel 7 Konvensi Bern)[18].
Perlindungan
EBT melalui hukum cipta merupakan salah bentuk perlindungan yang paling relevan
dalam prinsip-prinsip hukum kekayaan intelektual. Walaupun demikian
perlindungan melalui hukum cipta bukan berarti tidak menemui masalah ketika
persyaratan dan prinsip-prinsip perlindungan hak cipta akan diterapkan, seperti
bentuk karya berwujud (fixation work),
keaslian (originality), pencipta
teridentifikasi (identication of author)
dan jangka yang dibatasi.
Persyaratan
bentuk karya berwujud (fixation)
dalam hukum cipta merupakan salah satu peryaratan yang harus dipenuhi bilamana
suatu karya berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum. Secara umum hukum
cipta di dalam prinsip-prinsip Common Law
terutama di Inggris dan Amerika salah satu persyaratan perlindungan hak cipta
mensyaratkan bentuk karya harus berujud.
Hal ini berbeda di dalam prinsip-prinsip Civil Law yang tidak mensyaratkan berwujudan dalam bentuk materi (in material
form) untuk mendapatkan perlindungan hak cipta. Walaupun ada perbedaan di dalam
prinsip-prinsip Common Law dan
prinsip-prinsip civil law tapi yang
jelas di dalam Konvensi Bern Pasal 2 paragraf 2[19]
mensyaratkan perwujudan dalam bentuk materi untuk mendapatkan perlindungan hak
cipta. Hukum cipta Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 mensyaratkan untuk karya cipta
yang dilindungi harus dalam bentuk berwujud (material
form) yang dapat diproduksi berulang-ulang secara independent dan
mensyaratkan keaslian (originality) [20]
yang
berarti karya harus bersifat asli, tidak meniru karya orang lain.
Persyaratan karya harus berwujud dalm bentuk
materi ini akan menjadi hambatan apabila
diterapkan pada perlindungan EBT karena
hampir sebagaian besar karya yang berbasis EBT mempunyai karakter oral tranmisi (tidak tertulis) seperti
sebagian besar dongeng, legenda, mitos, tarian dan lagu rakyat atau dengan kata
lain rezim hukum cipta tidak bisa melindungi secara menyeluruh terhadap
karya-karya EBT/folklor dan hanya bisa diterapkan untuk kategori EBT/folklor
non lisan. Padahal kenyataannya
kreasi-kreasi yang masih menggunakan tradisi oral tersebut masih eksis dan
hidup di masyarakat tradisional atapun lokal.
Ketentuan
ini tentunya menghancurkan harapan para komunitas- komunitas tradisional
ataupun lokal sebagai pemegang EBT di seluruh dunia untuk mendapatkan pengakuan
dan perlindungan hukum melalui
prinsip-prinsip hukum hak cipta. Walaupun demikian banyak berdebatan mengenai
interpretasi terhadap persyaratan berwujud
dalam bentuk materi sendiri tapi yang perlu menjadi catatan bahwa
perwujudan eksploitasi dan komersialisasi terhadap EBT secara nyata (fixed)
banyak terjadi di belahan dunia.
Persyaratan
originality yang artinya asli tidak meniru karya orang
lain dalam prinsip-prinsip perlindungan hak cipta juga mengalami kesulitan
ketika akan diterapkan dalam perlindungan karya-karya EBT. Pada kebayakan karya-karya EBT terikat pada
tradisi (pakem) yang selama ini
diyakini (sarat akan nilai moral dan agama) dan dipegang dalam komunitas
tradisional/lokal secara terus menerus.
Bagi
kebanyakan karya-karya EBT/folklor merupakan sebuah karya yang mempunyai nilai
seni tinggi dan tingkat kerumitan yang sangat kompleks (terutama karya
EBT/folklor non lisan) dan proses kreasinya memerlukan waktu yang lama[21].
Biasanya karya EBT/folklor asli dihasilkan oleh seseorang dalam suatu komunitas
yang mempunyai kualifikasi ahli yang tidak hanya mempunyai kemampuan atau skill
yang bagus tapi juga seseorang tersebut juga mempunyai kapasitas spiritual[22]
yang bagus pula.
Khasanah
tradisi kreativitas-kreativitas EBT selalu akan dijumpai
pengulangan-pengulangan sebagai fungsi dari penerusan perbendaharan budaya yang
telah terbentuk sebelumnya, dan membuat tradisi tersebut sebagari ciri pengenal
atau bagian identitas komunitas. Di dalam tradisi selalu terdapat dinamika
antara pengulangan dan interpretasi
kreatif individual anggota komunitas. Akan tetapi juga se waktu-waktu muncul
suatu karya yang betul baru dari seseorng dengan kualifikasi ahli (disebut empu
dalam tradsi seni Jawa) yang kemudian di terima komunitasnya sebagai khasanah
tradisi seni.[23]
Penghormatan
terhadap tradisi, membuat para anggota komunitas tidak mempunyai kebebasan
untuk melahirkan inspirasinya sehingga proses inovasi menjadi terbatas. Bahkan
cara penghargaan dan penyambutan suatu ide seni baru dalam lingkup tradisi adalah
dengan menirunya, seperti di Jawa dikenal mutrani
dari induknya yang merupakan karya seorang empu.[24]
Persyaratan
originality menjadi suatu hal yang
masih dipertanyakan ketika perlindungan karya yang berbasis EBT melalui hak
cipta. Akan tetapi penerapan persyaratan originality
tidak terlalu sulit bagi hakim
pengadilan Australia ketika menyelesaikan beberapa kasus yang berkaitan originality EBT. Contohnya dalam kasus
terkait dengan reproduksi karya seni karpet terkenal milik masyarakat Aborigin
yaitu Mallipurruru dan Indofurn Ltd dalam salah satu pertimbangan
keputusan hakim dikatakan :”...Althought
the each artwork is one indicate detail and complexiting reflecting great skill
and orginallity”[25].
Persyaratan perlindungan melalui hak cipta terhadap EBT bisa dilihat di dalam
tabel di bawah ini :
Dialektika Hukum
Cipta dan Karakter EBT
Hukum Cipta
|
Karakter EBT
|
Karya cipta (works) ataupun
temuan harus diwujudkan dalam bentuk
materi (fixation in material form ) bukan hanya ide ataupun gagasan
|
Sebagian karya EBT dalam bentuk oral ditransmisikan dari satu generasi
ke generasi kepada anggota-anggotanya di lingkungan komunitas itu sendiri, seperti dongeng, legenda, mitos, lagu
rakyat, tarian
Masih tetap eksis dalam masyarakat tradisional maupun lokal
|
-
Karya cipta harus
orisinil/asli (originality), tidak
meniru karya orang atau tidak sama dengan pengungkapan sebelumnya
-
Meniru karya sebelumnya
merupakan pelanggaran terhadap hak cipta
|
Pengulangan dari karya sebelumnya :
-
Terikat dengan
tradisi/pakem yang diyakini sarat akan nilai moral dan agama;
-
Pengulangan
sebagai fungsi dari penerusan perbendaharan
budaya yang telah terbentuk sebelumnya, dan membuat tradisi tersebut sebagari
ciri pengenal atau bagian identitas komunitas;
-
Penghormatan terhadap tradisi membuat
para anggota komunitas tidak mempunyai kebebasan untuk melahirkan
inspirasinya sehingga proses inovasi menjadi terbatas;
-
Meniru merupakan bagian
penghormatan dan penyambutan terhadap karya seni baru (di Jawa disebut
mutrani)
|
Identifikasi pencipta jelas /Authorship
|
Karakter EBT merupakan suatu karya cipta yang proses
kreasinya berlangsung dalam waktu yang lama, lintas generasi dan merupakan
hasil kreasi yang mencerminkan atribusi kelompok masyarakat bukan atribusi dari individual author;
|
Disamping
persyaratan originality, permasalahan
siapa pemegang hak (authorship) bagi
karya EBT juga masih dipertanyakan
ketika perlindungan hak cipta akan diterapkan. Karakter EBT merupakan suatu karya cipta yang proses
kreasinya berlangsung dalam waktu yang lama, lintas generasi dan merupakan
hasil kreasi yang mencerminkan atribusi kelompok masyarakat tertentu bukan
atribusi dari individual author. Sehingga
sulit menentukan siapa pemegang hak ciptanya.[26]
Sebagian
dari karya EBT secara alamiah bersifat tertutup dan rahasia dan hanya
ditransmisikan dari satu generasi ke generasi kepada anggota-anggotanya di
lingkungan dalam komunitas itu sendiri ataupun sebagain karya EBT hanya
diperuntukkan atau digunakan untuk tujuan tradisi ritual komunitas itu sendiri (sesembahan misalnya). Hal ini dilakukan untuk menjaga integritas kesucian ataupun
kesakralan dari karya atapun pengetahuan EBT yang merupakan bagian dari tradisi
ritual yang diyakini oleh komunitas tersebut. Ketika karya-karya EBT kemudian
terbuka ataupun digunakan di luar komunitasnya yang tidak sesuai dengan tradisi
maka integritas kesakralan ataupun kesucian karya EBT juga akan hilang.
Hilangnya kesakralan ataupun kesucian sebuah karya EBT membuat ketidaknyamanan
atau ketidaktentraman komunitas dan hal ini merupakan kerugian moral bagi
komunitas dan kerugian dalam konteks ini adalah kerugian yang bersifat non-economic interest.
Perlindungan
yang bersifat non – economic interest
terhadap karya-karya EBT melalui prinsip-prinsip hak cipta menjadi relevan karena di dalam hak cipta mengandung hak
moral disamping hak ekonomi. Hak
moral di dalam prinsip-prinsip hak cipta
dianggap sebagai hak yang dimiliki oleh seorang pencipta untuk mencegah
terjadinya penyimpangan atas karya ciptanya dan untuk mendapatkan penghormatan
atau penghargaan atas karyanya tersebut. Hak moral mengadung (a) Hak untuk
memperoleh pengakuan, yaitu : hak pencipta untuk memperoleh pengakuan publik
sebagai pencipta suatu karya guna mencegah pihak lain mengklaim karya tersebut
sebagai hasil kerja mereka, atau untuk mencegah pihak lain memberikan pengakuan
pengarang karya tersebut kepada pihak lain tanpa seijin pencipta; dan (b) Hak
Integritas, yaitu hak untuk mengajukan keberatan atas perubahan yang dilakukan
terhadap suatu karya tanpa sepengetahuan si pencipta.
Hak moral atas EBT berarti hak disebutkan sumber atribusi (hak atas
identitas sebagai pencipta), klaim kepemilikan dan hak untuk mencegah pengakuan
kepemilikan pihak lain atas karya EBT; hak atas penghormatan integritas (hak
untuk mencegah modifikasi, mutilasi, perubahan dan distorsi atas karya EBT); dan hak untuk membuka serta mengumumkan (hak
kapan dan bagaimana suatu karya EBT bisa dibuka untuk publik).[27]
Seperti diketahui bahwa hak moral merupakan bagian hak
asasi manusia (Pasal 27 ayat (2) UDHR) yang memiliki kedudukan penting tidak
hanya sebagai bagian dari hak asasi tiap individu, tapi bagian tak terpisahkan
dari komunitas dimana sang individu menjadi anggota. Hak moral tidak lagi hanya
dapat diterjemahkan sebagai hak individual, tetapi sebagai hak kolektif yang
dimiliki oleh komunitas masyarakat adat/lokal.
2)
Perlindungan EBT melalui Neighbouring Right
Perlindungan internasional terhadap EBT secara terbatas termuat dalam WIPO Performances and Phonograms Treaty
(WPPT) yaitu perjanjian internasional yang ditandatangani oleh negara-negara anggota World
Intellectual Property Organization dan disepakati
di Jenewa pada
tanggal 20 Desember 1996. WPPT bertujuan untuk mengembangkan dan memelihara
perlindungan hak-hak pelaku dan produser rekaman suara dengan cara sefektif
mungkin dan seragam. WPPT sendiri juga turut
memberikan perlindungan terhadap Ekspresi Budaya Tradisional, mengingat tarian
tradisional, puisi, drama, lagu dan musik serta berbagai bentuk kesenian
tradisional lainnya muncul sebagai bagian dari pertunjukan hidup (live performance) yang ditampilkan. Oleh
karenanya, perlindungan terhadap hak penampil atas karya pertunjukan yang
ditampilkan juga dapat digunakan dalam konteks perlindungan Ekspresi Budaya
Tradisional.
Perkembangan yang membedakan
antara WPPT dengan Konvensi Roma 1961 adalah definisi dari penampil tersebut.
Pada Pasal 3 (a) Konvensi Roma 1961, definisi penampil dibatasi dalam :
“performers” means actors,
singers, musicians, dancers, and other persons who act, sing, deliver, declaim,
play in, or otherwise perform literary or artistic works.”
Sementara dalam WPPT,
definisi penampil ditarik lebih jauh lagi, mengingat karya seni yang
ditampilkan tidak hanya dapat dibatasi dalam bentuk “literary and artistic works” yang bermakna kontemporer. Karena itu
pada Pasal 2 (a) WPPT, penampil didefinisikan sebagai :
“performers” are actors, singers,
musicians, dancers, and other persons who act, sing, deliver, declaim, play in,
interpret, or otherwise perform literary or artistic works or expressions of
folklore;”
Dengan digunakannya definisi
penampil diatas, maka WPPT juga turut memberikan perlindungan terhadap seniman
tradisional yang menampilkan pertunjukan Ekspresi Budaya Tradisional.
1)
Moral Rights of Performers (Pasal 5)
adalah bentuk perlindungan terhadap hak dari penampil sebagai bagian tak
terpisahkan dari pertunjukannya, termasuk hak untuk melindungi pertunjukan yang
ia tampilkan dari segala bentuk perubahan dan distorsi yang dapat mencederai
reputasinya sebagai penampil.
2)
Economic Rights of Performers in Their Unfixed Performances (Pasal 6) adalah hak eksklusif bagi penampil untuk memberi
otorisasi bagi segala bentuk penyiaran (broadcasting)
maupun publikasi (communication to the public)
dari pertunjukan yang ia tampilkan. Termasuk hak
untuk memberi otorisasi terhadap segala bentuk perekaman (fixation) dari pertunjukannya.
3)
The Right of Reproduction (Pasal 7)
adalah hak untuk memberikan otorisasi atas segala bentuk reproduksi, baik
langsung maupun tak langsung, dari rekaman (phonogram)
pertunjukannya.
4)
The Right of Distribution (Pasal 8)
adalah hak untuk memberikan otorisasi atas segala bentuk publikasi rekaman
pertunjukannya, baik karya asli maupun reproduksi, kepada umum melalui
penjualan maupun bentuk pemindahan hak milik lainnya (other transfer of ownership).
5)
The Right of Rental (Pasal 9)
adalah hak untuk memberi otorisasi penyewaan komersil rekaman pertunjukan, baik
karya asli maupun reproduksinya, kepada publik dengan melihat ketentuan dalam
hukum nasional yang berlaku.
6)
The Right of Making Available
(Pasal 10) adalah hak untuk memberikan otorisasi segala bentuk pengadaan
rekaman pertunjukan (making available to
the public). Hingga dengan begitu masyarakat umum dapat menyimak (access) rekaman tersebut sesuai
keinginan mereka.
Walaupun WPPT dapat dianggap
sebagai salah satu upaya memberikan perlindungan terhadap Ekspresi Budaya
Tradisional, namun fokus utama dari WPPT adalah perlindungan terhadap hak sang
penampil (performer’s right).
Perlindungan terhadap EBT dalam WPPT diberikan dengan anggapan bahwa suatu
karya seni pertunjukan merupakan bagian tak terpisahkan dari penampilnya.
Perlindungan terhadap hak penampil inipun juga memiliki jangka waktu
perlindungan yang telah ditentukan sebelumnya.
Disisi lain, perlindungan
yang diberikan terhadap EBT pun masih sangat terbatas dalam lingkup “phonogram” yang didefinisikan sebagai “the fixation of the sounds of a performance
or of other sounds, or of a representation of sounds, other than in the form of
a fixation incorporated in a cinematographic or other audiovisual work.”(Pasal
2 huruf (b). Maka dapat dikatakan bahwa perlindungan
yang diberikan WPPT membutuhkan suatu bentuk “fixation,” sementara EBT seringkali tidak memiliki bentuk “fixation” karena sifatnya yang
berangkat dari tradisi lisan yang hidup. Selain itu WPPT tidak melindungi aspek
visual, namun hanya melindungi aspek suara dari EBT ataupun EBT yang memiliki
aspek suara (sound) dan perwakilan
dari suara (representation of sound).
Bagi
produser rekaman suara yaitu orang atau badan hukum yang mengambil inisiatif
dan memiliki tanggung jawab untuk fiksasi suara dari kinerja atau suara lain
atau representasi dari suara (Pasal 2 huruf d)[28]
yang pertama mempunyai keuntungan terkait dengan perlindungan EBT ketika ia
melakukan fiksasi pertama atas karya-karya EBT. Produser rekaman tersebut
mempunyai hak eksklusif atas reproduksi, distribusi, sewa dan making avaible of phonogram atas rekaman
karya-karya EBT.[29]
Perlindungan
terhadap pelaku dan produser rekaman juga diatur dalam hukum cipta Indonesia
bahwa, pelaku dan produser rekaman memiliki
hak eksklusif untuk memberikan izin atau melarang pihak lain yang tanpa
persetujuannya membuat, memperbanyak, atau menyiarkan rekaman suara dan/atau
gambar pertunjukannya dan/atau
menyewakan karya rekaman suara atau rekaman bunyi. Bahkan lembaga penyiaran juga memiliki hak eksklusif untuk
memberikan izin atau melarang pihak lain yang tanpa persetujuannya membuat,
memperbanyak, dan/atau menyiarkan ulang karya siarannya melalui transmisi
dengan atau tanpa kabel, atau melalui prinsip-prinsip elektromagnetik lain
(Pasal 49 Undang-Undang nomo 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta).
Perlindungan
dan keuntungan yang sedemikian luas tersebut yang dinikmati oleh pruduser
rekaman atas karya EBT tidak sebanding dengan perlindungan yang terbatas atas
pelaku EBT yang hanya menikmati hak moral dan penggunaan secara komersial
secara terbatas. Bahkan kemungkinan besar ketentuan tersebut tidak memberikan
keuntungan sama sekali terhadap komunitas dimana EBT berasal tetapi justru
produser rekaman atau lembaga penyiaran tersebut bukan anggota komunitas asal
EBT. Lebih tepatnya yang paling berhak
atas hak eksklusif tersebut adalah komunitas asal EBT.[30]
Hal
tersebut kemungkinan besar bisa terjadi terutama terhadap karya EBT yang
merupakan ekspresi verbal, bunyi ataupun gerak saja dan penciptanya yang tidak
jelas. Kemudian karya EBT tersebut oleh pihak-pihak di luar komunitas
dipertunjukkan, direkam ataupun disiarkan pertama kali maka pemegang hak cipta
dan hak eksklusifnya adalah penerbit, pelaku perusahaan rekaman atau lembaga penyiaran.
Manfaat ekonomi pun pada akhirnya hanya dinikmati oleh pihak-pihak di luar
komunitas tradisional ataupun lokal yang selama ini memelihara dan
mempertahankan karya EBT. Lebih buruk lagi dengan kepemilikan hak eksklusif
atas karya EBT tersebut oleh pihak-pihak di luar komunitas, kemungkinan juga
pihak komunitas tradisional atau lokal pemilik EBT tersebut pada akhirnya juga
kehilangan akses untuk menggunakan karya EBT tersebut. Kondisi ini jelas
menimbulkan ketidakadilan bahkan menjadi faktor ancaman kriminalisasi terhadap
penggunaan karya EBT tersebut oleh komunitas tradisional atau lokal.[31]
2.
2. Perlindungan EBT Melalui Hukum Kekayaan Industri (Protection Based on Industrial Property)
Prinsip-prinsip
hukum kekayaan industri merupakan prinsip-prinsip hukum hak kekayaan
intelektual yang melindungi paten, merek dagang dan desain industri dengan
mendasarkan pada Paris Convention on
Industrial Property Protection 1883. Perlu diketahui perjanjian ini juga
menegakkan hak
prioritas konvensi atau hak prioritas Konvensi Paris (hak prioritas
Uni) yang menjamin pemohon hak kekayaan intelektual dari negara peserta untuk
menggunakan tanggal pengajuan permohonan pertama (di salah satu negara peserta)
sebagai tanggal efektif pengajuan permohonan di negara lain yang juga menjadi
peserta, asalkan pemohon mengajukan permohonan dalam waktu 6 bulan (untuk desain industri dan merek dagang) atau 12 bulan (untuk paten dan model
utilitas) dari tanggal pertama kali mengajukan permohonan.
Seperti halnya Konvensi Bern 1886, Konvensi Paris 1883 juga masuk dalam
prinsip-prinsip hukum WTO berdasarkan perjanjian Persetujuan TRIPst sehingga
ketentuan- ketentuan yang diatur dalam Konvensi Paris bersifat full complaince
dengan mekanisme penegakan hukum yang ketat. Perlindungan
EBT melaui prinsip-prinsip hak kekayaan industri ada beberapa kemungkinan yaitu
melalui hak merek, hak desain industri, indikasi geografis dan paten.
1)
Perlindungan
melalui hak desain industri
Perlindungan EBT dapat dimungkian melalui
prinsip-prinsip hukum desain industri. Desain Industri, desain industri adalah suatu kreasi
tentang bentuk, konfigurasi atau kompisisi garis atau warna, atau gabungan dari
keduanya yang berbentuk tiga dimensi atau dua dimensi dapat dipakai untuk
mengahsilkan produk, barang, komoditas industri, atau kerajinan tangan. Dengan
demikian dapat dimungkinkan bahwa suatu kreasi yang mempunyai komponen atau
motif tradisional (motif ukir kayu, kain, bordir, ukir perhiasan, tenun dan
sebagainya) dilindungi berdasarkan hukum desain industri.
Aplikasi pendaftaran merupakan prasyarat untuk
mendapatkan perlindungan melalui prinsip-prinsip hukum desain industri dan di
dalam persyaratannya pendaftaran harus
ada unsur baru dan original [32] atau kebaruan pada kreasi yang artinya kreasi tersebut
baru sama sekali atapun bisa memperbarui dari kreasi sebelumnya. Persyaratan
baru (novelty) ini yang menjadi
hambatan ketika kreasi yang berbasis EBT akan mendapatkan perlindungan melalui
hukum desain industri karena para kreator mempunyai keterikatan dengan tradisi
sehingga sebagian kreasi-kreasi berbasis tradisi kultural merupakan
pengulangan-pengulangan dari kreasi sebelumnya. Untuk mendapatkan perlindungan
melalui prinsip-prinsip hukum desain industri maka para kreator dalam komunitas
tradisional harus menambahkan unsur yang baru (untuk memenuhi persyaratan novelty) tanpa harus meninggalkan unsur
tradisi yang ada sebelumnya. Persyaratan originality
dan novelty menjadi hambatan untuk
menerapkan perlindungan karya EBT melalui hukum hak cipta dan desain industri.
2)
Perlindungan
melalui hak merek
Peluang untuk mendapatkan perlindungan terhadap karya EBT
yaitu melalui prinsip perlindungan merek kolektif. Pengertian merek adalah tanda atau lambang yang menggambarkan identitas sesuatu atau “mark
: a sign, simbol or visual impression or a visible trace impression on
something”[33]. Potensi karya-karya EBT seperti, kata-kata yang berasal
dari karakter tradisional, simbol, gambar, lukisan, kata dalam dongeng ataupun lagu, dapat
digunakan sebagai identitas produk atau digunakan tanda merek[34]produk barang atau jasa yang mempunyai keterkaitan
dengan EBT. Potensi
tersebut dapat didaftarkan sebagai merek produk-produk EBT oleh komunitas
tradisional ataupun komunitas-komunitas lokal dimana EBT berasal sebagai merek
kolektif (Collective Mark)[35]. Merek kolektif, adalah
merek yang digunakan pada barang atau jasa dengan karakteristik yang sama yang
diperdagangkan beberapa orang
atau badan hukum secara bersama-sama untuk membedakan dengan barang atau jasa
sejenis lainnya
Pendaftaran merek kolektif bisa dilakukan manakala EBT digunakan sebagai produk dalam aktivitas
komersial oleh asosiasi dari komunitas dimana EBT berasal. Dalam hal ini perlu adanya klarifikasi yang jelas dan diakui bahwa
komunitas tersebut memang benar-benar pemangku kepentingan atas karya-karya EBT. Ruang lingkup
klarifikasi meliputi produk barang atau jasa yang berbasis EBT tersebut harus
mempunyai keterkaitan yang jelas dengan komunitas dimana EBT berasal; nama,
kata, simbol ataupun gambar yang digunakan sebagai tanda merek barang atau jasa
menggambarkan karakteristik EBT; sifat dan ciri-ciri umum produk barang atau
jasa secara jelas menggambarkan EBT berasal.
Melalui prinsip-prinsip perlindungan merek kolektif
memberi keuntungan yang pertama, merek kolektif dapat menandakan keaslian (authentificate) suatu produk EBT dan
membantu konsumen terkait identitas asli product EBT, Kedua dengan pendaftaran
merek kolektif ini dapat menunjukkan siapa yang membuat dan produk EBT berasal,
dan yang ketiga dapat mempromosikn industri produk berbasis EBT.
Perlindungan melalui hukum merek juga dapat diterapkan
dengan menerapkan prinsip-prinsip perlindungan merek yang bersertifikasi (sertificate of mark ) bisa menjadi
pilihan. Sertification of mark adalah tanda
yang dipakai suatu pihak untuk menunjukkan bahwa barang memenuhi standar atau kualitas tertentu.[36] Produk-produk berbasis EBT adalah produk yang
mempunyai karakter khusus yaitu terkait geografis asal produk, kualitas, materi
yang digunakan dan juga model-modelnya serta indikasi yang lain produk-produk
yang berbasis EBT dibuat mempunyai pertalian dengan tradisi dan kepercayaan. Jangka perlindungan yang dibatasi agak menjadi hambatan
(6 – 10 Tahun) dan ketika jangka waktu telah habis maka asosiasi pemegang hak
dari komunitas harus memperpanjang lagi dan lagi agar tetap mendapatkan perlindungan melalui prinsip-prinsip hukum
Merek.
Disamping itu perlindungan terhadap EBT dapat dilakukan
melalui mekanisme pendaftaran merek yang akan ditolak pendaftarannya, yaitu
bilamana mengandung unsur bertentangan dengan moralitas dan bertentangan dengan
ketertiban umum[37]. Penggunaan
karakter-karakter EBT (bisa nama atau simbol) untuk digunakan sebagai label
merek masuk kategori tindakan yang mengkomersialisasikan EBT oleh pihak di luar
komunitas dan dianggap menganggu integritas nilai-nilai tradisi (kesakralan)
masyarakat adat atau komunitas lokal pemilik EBT. Maka menggunakan dan
mendaftarkan merek yang mengandung unsur EBT dianggap sebagai bertentangan
dengan moralitas dan ketertiban umum dan masuk kategori merek yang secara
mutlak tidak dapat di daftarkan. Merek-merek yang masuk kategori demikian ini
dapat dilakukan keberatan dan pembatalan oleh pihak yang berkepentingan.
Mekanisme ini dapat dipakai oleh masyaraktat
tradisional/lokal untuk dapat melakukan pencegahan setiap penggunaan secara
tidak pantas terhadap kata, nama, simbol dan sebagainya digunakan untuk
penggunaan merek dagang oleh pihak-pihak diluar masyarakat adat ataupun
komunitas lokal. Tindakan pencegahan dengan cara melakukan keberatan untuk didaftarkan
dan melakukan pembatalan terhadap terhadap merek yang mengunakan karakter
EBT secara sebagaian dan seluruhnya.
Tindakan ini dilakukan pada saat proses pendaftaran (keberatan) atau pada saat
merek yang sudah terdaftar (pembatalan) dengan alasan bahwa pendaftaran merek
yang memakai karakter EBT merupakan tindakan yang melanggar ketertiban umum.[38] Akan tetapi dalam implementasinya ketentuan ini tidak
mudah dilakukan karena untuk membuktikan pelanggaran ketertiban umum ini tidak
mudah karena ukuran-ukuran pelanggarn ketertiban umum bersifat relatif.[39]
Peluang perlindungan melalui prinsip-prinsip hukum merek
(Collective mark and sertification of
mark) lebih pasti karena perlindungannya
untuk kepentingan masyarakat
komunal dimana produk EBT berasal. Perlindungan ini relatif lebih bagus dibandingkan dengan
perlindungan melalui prinsip-prinsip hak cipta yang melindungi kepentingan
individual. Prinsip-prinsip hukum hak cipta bahkan memberi peluang kepada
individual di luar komunitas asal EBT menikmati keuntungan dari penggunaan
karya-karya EBT (contoh produser rekaman). Akan tetapi perlindungan EBT melalui
prinsip-prinsip hukum merek hanya untuk sebagain karya EBT yang berupa ekspresi
nyata.
Upaya
lain yang juga dapat diaplikasikan untuk melindungi EBT dalam prinsip-prinsip hukum kekayaan intelektual
adalah melalui prinsip-prinsip perlindungan
indikasi-geografis (Geographical Indication). Indikasi-geografis
pertama kali diperkenalkan dalam Model
Law on Mark Tahun 1967, selanjutnya konsep ini dikembangkan dalam WIPO Special Model Law for Developing
Countries on Appelations of Origins and Indications of Sources. Dalam model
perlindungan hukum ini dinyatakan bahwa suatu Indikasi-geografis harus memiliki
karakteristik di bidang kualitas dan reputasi. Kata “Geografis” (Geographical) tidak hanya sekedar
bermakna sebagai daerah dalam pengertian sempit sebagai suatu lokasi geografis.
Namun juga tidak dapat melepaskan konsep bahwa daerah itu memiliki keterkaitan
erat dengan berbagai faktor, baik dalam hal ini faktor alam (natural factors), faktor manusia (human factors) atau faktor keduanya (natural and human factors)[40].“
Indikasi geografis sebagai
penanda asal dari suatu barang diatur
secara implisit di dalam Konvensi Paris revisi 1979. [41]. Berdasarkan konvensi ini bahwa setiap negara
wajib melindungi produsen, pembuat (manufacturer)
maupun pedagang dari penggunaan indikasi palsu (false indications) terhadap sebuah barang. Indikasi palsu ini
digunakan untuk memalsukan asal barang, identitas produsen, pembuat maupun
pedagang dari barang tersebut. Perlindungan dari penggunaan indikasi palsu dan
menyesatkan ini kemudian berkembang menjadi konsep indikasi geografis.
Selanjutnya persetujuan TRIPs menjelaskan bahwa “geographical indication” (indikasi geographis) adalah indikasi yang
mengidentifikasikan suatu barang yang berasal dari wilayah dari salah satu
anggota (persetujuan TRIPs) atau suatu wilayah atau tempat di dalam lingkungan
mempengaruhi suatu kualitas tertentu, reputasi atau ciri khas daripada benda
adalah essensial yang merupakan sifat dari geografis asalnya.[42]
Prinsip perlindungan indikasi geografis dimungkinkan
untuk memberikan perlindungan terhadap EBT, karena karakteristik karya ataupun
EBT mempunyai pertalian dengan pengetahuan ataupun tradisi budaya yang tidak terlepas
dari sifat dari geografis asalnya. Seperti kata ”Minang” berarti menunjuk Sumayera Barat, Gambar ”rumah adat Toraja” menunjuk asal barang
dari Toraja daerah di Sulawesi Selatan, Gudeg
mengindikasikan Kota Yogjakarta, Reog mengindikasikan
daerah Ponorogo, gambar tari Pendhet menindikasikan pulau Bali.
Berkenaan dengan perlindungan indikasi geografis para
anggota persetujuan TRIPs dibebani kewajiban untuk menyediakan jalur hukum bagi
pihak yang berkepentingan supaya dapat menghindarkan dipakainya cara-cara untuk
menentukan atau memperkenalkan suatu benda yang memberikan indikasi atau
memberikan kesan bahwa benda yang bersangkutan ini asalnya dari wilayah
geografis yang berlainan dari tempat asal sebenarnya dengan cara yang membawa
kekeliruan untuk khalayak ramai berkenaan dengan asal barang bersangkutan.
Setiap
penggunaan merek
yang mengandung indikasi geografis yang memberikan kesan terhadap indikasi
geografis dikatagorikan sebagai tindakan persaingan curang atau unfair competition[43],
dasarnya tindakan tersebut dianggap dapat mengacaukan khalayak ramai. Artinya setiap penggunaan kata, lukisan, simbol atau
bentuk apapun yang mempunyai karakter warisan budaya tradisional yang dapat
memberi kesan bukan berasal dari warisan budaya tradisional yang bersangkutan
masuk kategori sebagai tindakan persaingan curang.
Perlindungan terhadap karya EBT Berdasarkan
ketentuan Pasal 56 ayat (1) UU Merek 2001, Indikasi Geografis dilindungi
sebagai tanda yang menunjukkan daerah asal barang, yang karena factor
lingkungan geografis termasuk faktor
alam, faktor manusia atau kombinasi dari kedua faktor tersebut memberikan ciri dan kualitas
tertentu pada barang yang dihasilkan. Dalam kaitan dengan hal ini, suatu
indikasi geografis dapat melibatkan pengetahuan tradisional, yaitu
pengetahuan yang dimiliki EBT oleh sekelompok
masyarakat tempat penghasil produk tersebut.
Namun
yang menjadi hambatan perlindungan indikasi geografis bersifat terbatas, yaitu hanya mencegah
klaim yang tidak sah bahwa
suatu produk berasal dari daerah tertentu. Disamping
itu penggunaan indikasi-geografis
sebagai alternatif perlindungan EBT
tidak
luput dari kesulitan.[44]
Pertama, indikasi geografis hanya
melindungi EBT yang
memiliki bentuk nyata sebagai sebuah produk atau barang yang dikomersialkan.
Indikasi-geografis tidak dapat digunakan untuk melindungi EBT dalam bentuk ekspresi
seni atau musikal yang bersifat lisan.
Kedua,
Indikasi geografis
dalam penggunaanya berfungsi melindungi reputasi suatu barang dengan kaitannya
dengan asal barang tersebut. Indikasi-geografis tidak melindungi barang atau
produk tersebut. Indikasi-geografis tidak dapat digunakan misalkan apabila
sebuah perusahaan membuat suatu kaos dengan gambar pahatan Asmat yang telah
dilindungi dalam indikasi-geografis,
yang kemudian dikomersilkan dan dijual ke tempat umum. Suku Asmat pun tidak
dapat menuntut kompensasi apapun karena tidak diatur dalam Indikasi-geografis
mengenai kompensasi oleh pihak pemakai suatu produk EBT dengan masayarakat adat
asal EBT tersebut.
3)
Perlindungan melalui hak rahasia dagang dan
hak paten
Berdasarkan
prinsip-prinsip hukum rahasia dagang (trade secret)
ataupun hak atas informasi rahasia (undisclosour
information), perlindungan diberikan mengacu kepada
segala bentuk informasi yang berifat rahasia yang mempunyai nilai ekonomi.
dan tidak diperlukan formalitas
pendaftaran. Bagi pemilik rahasia dagang untuk mempertahankan
perlindungannya perlu mengambil langkah pengamanannya agar kerahasiaan dapat
dipertahankan. Dikaitkan
dengan EBT, maka perlindungan EBT khususnya yang berkaitan
dengan informasi rahasia (seperti
legenda, pengetahuan tentang obat-obatan) yang dimiliki
masyarakat tradisional
melalui rejim rahasia
dagang ini dapat dimungkinkan
perlindungannya.
Persyaratan novelty
juga menjadi hambatan ketika hukum paten akan diterapkan pada perlindungan EBT
karena kebanyakan EBT dan pengetahuan tradisional digunakan selama
berabad-abad secara turun tenurun
oleh masyarakat tradisional, sehingga persyaratan kebaruan tidak terpenuhi.
Disamping itu karena karakteristik yang bersifat turun temurun, sulit untuk
menemukan siapa penemu sebenarnya dari pengetahuan tradisional [45].
Selain itu persyaratan formal untuk mendapakan perlindungan paten,
penemuan-penemuan harus diuraikan secara tertulis, hal ini tentunya akan sulit
dipenuhi oleh pengetahuan tradisional yang umumnya hanya disampaikan secara
lisan dari satu generasi ke generasi lainnya [46].
Untuk mendapat perlindungan berdasarkan
hukum paten masyarakat tradisional harus mengembangkan pengetahuannya dengan
penggunaan baru (novelty)yang
bersifat ilmiah . Disamping itu di dalam ketentuan hukum paten
tidak mencantumkan ketentuan bahwa
pengetahuan tradisonal dijadikan prior-art
bagi persyaratan kebaruan.
Penjelasan diatas menggambarkan bahwa secara
substantif bahwa prinsip-prinsip hukum yang mendasarkan pada prinsip-prinsip
hukum kekayaan intelektual yang sekarang ini eksis berlaku di tingkat
internasional maupun nasional (mendasarkan pada prinsip-prinsip perlindungan
yang ada dalam ketentuan-ketentuan hukum cipta, merek, rahasia dan paten) belum
cukup memadai untuk memberikan perlindungan terhadap karya-karya intelektual
yang berkarakter EBT/folklor secara menyeluruh (hanya melindungi EBT dalam
bentuk ekspresi nyata atau non lisan). Ketidakmampuan prinsip-prinsip hukum
dalam sistem hukum kekayaan intelektual
dalam memberikan perlindungan terhadap EBT sebagaimana terlihat dalam tabel
dibawah ini.
Perlindungan EBT melalui
Hukum Kekayaan Intelektual
Dialog
|
Hukum Cipta/ Hak Terkait
|
Hukum Kekayaan Industri
|
Indikasi Geografis
|
Dasar
|
- Konvensi Bern, Pasal 15 (4)
- WPPT Convention 1996
- UU Hak Cipta 2002, Pasal 11
& 49
|
- Konvensi Paris
Pasal 25 (1);
Pasal 7bis (1); dan
Pasal 6quinquies (b)
- UU Desain Industri 2000, Pasal 2 (1)
- UU Merek 2001, Pasal 50, 5 (a).
|
- Konvensi Paris,
- Revisi th 1967 dan th 1979
- Persetujuan TRIPs (Pasal 22)
- UU Merek 2001, Pasal 56
|
Prinsip-prinsip hukum
|
- Perlindungan terhadap Ciptaan anonim (Anonymous Work); dan
- Pelaku (Performer),
|
- Hak desain industri
- Mekanisme
pendaftaran merek;
merek kolektif ; & sertifkasi merek
- Hak atas informasi rahasia
|
- Indikasi asal dan persaingan curang
- Perlindungan Indikasi - geografis
|
Pemegang Hak
|
- negara
- pelaku EBT
|
- komunitas EBT
|
- komunitas atau asosiasi EBT
|
Perlindungan
|
- Hak moral dan ekonomi
|
- Hak ekonomi
|
- Hak ekonomi
|
Kelemahan
|
- persyaratan perlindungan, asli,
perwujudan & identitas pencipta
- Terbatas pada karya EBT non Lisan
- Pelaku di luar komunitas
- Tertutup akses thd EBT
|
- tidak melindungi kepentingan non ekonomi dari misuse & misappropriate
- Terbatas EBT non lisan
|
- tidak melindungi kepentingan non ekonomi;
- Terbatas EBT non lisan
|
Keuntungan
|
- Dapat melindungi kepentingan
non ekonomi
|
- perlindungan identitas , kualitas,
dan promosi produk EBT
|
- perlindungan reputasi karakter
EBT
|
3. Kesimpulan
Perkembangan perlindungan HKI ini ternyata tidak
mampu melindungi EBT secara utuh. Ketidak mampuan untuk memberikan perlindungan hukum terhadap EBT
melalui sistem hukum kekayaan intelektual, karena perbedaan karakteristik
antara HKI dan EBT, sebagaimana terlihat dalam dialektika pada konsep dan karakteristik antara HKI dan EBT. Walaupun
sama-sama bersumber pada kreativitas intelektual manusia tetapi antara HKI dan
EBT selebihnya terdapat perbedaan dalam
karakternya. Bentuk gagasan HKI harus diwujudkan dalam bentuk ekspresi yang
nyata (in material form) bisa dilihat
dan di dengar, tapi kalau dalam EBT bentuk
gagasan tidak selalu dalam ekspresi nyata, bisa dalam bentuk ekspresi
verbal/oral, ekspresi gerak ataupun ekspresi bunyi (tidak berwujud). Gagasan
dalam HKI berbentuk karya cipta (works)
dalam seni dan ilmu pengetahuan, disain, merek, temuan teknologi dan species sebagai karya atau temuan yang baru (novelty) dan tidak sama dengan
pengungkapan sebelumnya (originality),
kalau dalam EBT hasil gagasan dalam bentuk karya cipta seni dan pengetahuan
serta teknik tertentu yang berakar dari tradisi turun temurun.
Pencipta dalam HKI teridentifikasi dengan jelas yaitu
individu ataupun korporasi (bilamana individu berkerja dalam korporasi) dan
orientasi menghasilkan ciptaan atau temuan lebih ke arah motif ekonomi daripada
sekedar ekspresi dari pencipta atau penemu. Hasil ciptaannya dikonstruksikan
sebagai benda bergerak yang dikategorikan sebagai benda bergerak tak berwujud
sehingga bisa menjadi obyek hak kekayaan. Hal ini berbeda dalam EBT, identifikasi pencipta aslinya tidak
diketahui, komunitas masyarakat
tradisional/lokal mencipta karya EBT secara turun temurun lintas generasi
ataupun inidividu yang mempunyai
kewenangan berdasarkan tradisi dan orientasi untuk menghasilkan ciptaan untuk
meneruskan tradisi baik yang menyangkut kepentingan budaya dan keagamaan. Hasil
ciptaan dikonstruksikan sebagai warisan budaya dari generasi sebelumnya bukan
untuk dimiliki tapi dijadikan identitas budaya komunitas masyarakat yang selama
mempertahankan dan memelihara EBT.
Perlindungan dalam HKI lebih mengutamakan perlindungan kepentingan ekonomi
daripada untuk melindungi hak moral (integritas & atribusi karya cipta atau
temuan) dan perlindungan dalam EBT lebih
lebih difokuskan integritas karya EBT supaya kesakralan EBT tetap terjaga
DAFTAR PUSTAKA
Acmad Gusman Catur
Siswandi :Perlindungan Hukum Terhadap Asset Pengetahuan Tradsional
Agnes Lucas-Shloetter : Folklore dalam Indigenous
Heratage and Intellectual Property GRTKF,
2 nd edition Edited by silke von Lewinski, Kluwer Law, Law & Bussiness Netherland
2007
Budi Santoso, Pengantar
Hak Kekayaan Intelektual, (Semarang : Pustaka Magister, 2008)
Edy Sedyawati : Makalah : Upaya Perlindungan Hukum (HKI) terhadap Produk Kerajinan Nasionl yang
Menjadi Warisan Budaya, Diskusi Panel, Semarang, 18 Oktober 2002
Edy Sedyawati, Warisan Tradisi, Penciptaan, dan
Perlindungan, Makalah dalam Temu Wicara Perlindungan Hukum Floklor dan
Traditional Knowledge, Dirjen HKI, Departmen Kehakiman dan HAM RI, Jakarta 13
Agustus 2003
Josep Githaiga, Intellectual Property Law and Protection Indigenous folklore and Konwledge, E
LAW | Murdoch University Electronic Journal of LawVolume 5, Number 2 (June 1998)
Iman Syahputra, Heri Herhanto, Parjio: Hukum
Merek Baru, Seluk Beluk Tanya Jawab Merek, Teori dan Praktik, Harvarindo
Karin Timmermans : TRIPs , CBD and Traditional
Medicines; Consepts and Question_ Repot of ASEAN Workshop on The Persetujuan
TRIPst and Traditional Medicines,
National Agency for Drug and Food Control _World Helth Organization,
Jakarta 2001
Kamus Bahasa Indonesia,
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta 2008
Ki Hajar Dewantara, bagian II A : Kebudajaan, Madjelis Luhur Persatuan
Taman Siswa, Pertjetakan Taman Siswa, Jogjakarta, 1967
Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan, cet. 7 (Jakarta:
PT.Gramedia, 1996
Lawrence M. Friedman, American Law, An Introduction, W.W.
Norton and Company, New York, 1984
Lawrence M. Friedman, A History of American Law, Simon and Schuster, New York, 1973
Maui Solomon, Intellectual Property Rights and Indigenous
Peoples Rights and Obligations, Motion Magizine of Misouri Rural Crisis
Center, NPC Productions, 1995
Miranda Risang Ayu, Konsep Indikasi Geografis dalam Undang-Undang
Merek di Indonesia dalam kalitannya Prinsip-prinsip Protekksi Trips,
Fakultas Hukum Universitas Padjadajaran
, Bandung 2000
Ralph L.Beals, Harry Hoijer, An Introduction to Anthropology, ed.3, The Macmillan Company, NY,
1965
WIPO-UNESCO Model Provisions for National Laws on the
Protection of Expressions of Folklore against Illicit Exploitation and Other
Prejudicial Actions 1982
DokumenWIPO/GRTKF/IC/19/4 :http://www.wipo.int/edocs/mdocs/tk/en/wipo_grtkf_ic_19/wipo_grtkf_ic_19_4.pdf
Dokumen
WIPO/GRTKF/IC/10/4 http://www.wipo.int/edocs/mdocs/tk/en/wipo_grtkf_ic_19/wipo_grtkf_ic_10_4.pdf
[1] Acmad Gusman Catur Siswandi :Perlindungan
Hukum Terhadap Asset Pengetahuan Tradsional, hal 1
[2]
Sedyawati Edy, Warisan Tradisi, Penciptaan, dan
Perlindungan, Makalah dalam Temu Wicara Perlindungan Hukum Floklor dan
Traditional Knowledge, Dirjen HKI, Departmen Kehakiman dan HAM RI, Jakarta 13
Agustus 2003, halaman 3, bandingkan Dananjaya James : Perlindungan Hukum Folklore : beberapa cirri khusus folklore :
penyebarannya dan pewarisannya bersifat lisan; bersifat tradisional, eksis dalam farian-farian yang berbeda; bersifat
anonim, bentuknya berumus atau berpola; mempunyai fungsi kegunaan dalam kehidupan kolektif,
pralogis; milik kolektif dan bersifat polos, vulgar.
[3] Ibid, halaman 3, lebih lanjut berdasarkan
Group Expert On The Protection of
Exspression of Folklore by Intellectual Property 1985, folklore hanya
mencakup bentuk-bentuk ekspresi identitas sosial budaya yang dituangkan dalam
karya seni dan karya sastra, dengan perlindungan folklore hanya dapat
dilakukan dalam kerangka perlindungan
hak cipta. Traditional Knowledge
is Knowledge, innovation and practices of indigenous and local communites
embodying traditional lifestyle relevant for the conservation and sustainable
use of biological diversity (The Convention on Biological Diversity, article 8
j) . Dengan demikian pengetahuan
tradisional memiliki cakupan yang lebih luas, termasuk pengetahuan mengenai
tumbuh-tumbuhan dan binatang dalam hal pengobatan dan makanan yang memerlukan
perlindungan dalam kerangka lain, yaitu paten dan keanekaragaman hayati (Lihat Michel Blakeney, Intellectual Property in The Dreamtime- Protecting the Cultural
Creativity of Indigenous Peoples, dikutip oleh Tomi Suryo Utomo :
Perlindungan Pengetahuan Tradisional dalam Hukum Paten Indonesia, Problematika
dan Solusi)
[5] http://warungpojokfilsafat.blogspot.com/2008,
diakses 19 Nopember 2012
[6]
Kamus Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta
2008, halaman 380
[7] Ralph L.Beals, Harry Hoijer, An Introduction to Anthropology, ed.3, The Macmillan Company, NY,
1965 page 269 kemudian “culture”,
sebagai suatu kata yang digunakan oleh antropologis, bisa diaplikasikan sebagai
(a) jalan hidup atau desain kehidupan pada satu waktu untuk umat manusia;(b)jalan
atau cara hidup khusus bagi suatu kelompok atau masyarakat yang melakukan
interaksi;(c) suatu karakteristik cara berperilaku khas sebuah segmen prinsip-prinsip
kemasyarakatan yang luas dan kompleks; dan (d) suatu pola tingkah laku khas
dari suatu masyarakat.
[8]
Ki Hajar Dewantara, bagian II A : Kebudajaan,
Madjelis Luhur Persatuan Taman Siswa, Pertjetakan Taman Siswa, Jogjakarta, 1967, hal.27
[9]
Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitet
dan Pembangunan, cet. 7 (Jakarta: PT.Gramedia, 1996), hal.17
[10]
Koentjaraningrat, Ibid halaman 72. Selanjutnya kebudayaan paling sedikit mempunyai tiga
wujud, yaitu wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan,
nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya; Wujud kebudayaan sebagai
suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia ke masyarakat;Wujud
kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.
[11]
Kamus Bahasa Indonesia, Op Cit halaman 1543
[12]
Lihat Section 2 dari WIPO-UNESCO Model
Provisions for National Laws on the Protection of Expressions of Folklore
against Illicit Exploitation and Other Prejudicial Actions 1982
[13] Tunisia Model Law 1976 in Section 18 : Folklore” is
all literary, artistic and scientific works created on national territory by
authors presumed to be nationals of such countries or by ethnic communities, passed from generation to generation and
constituting one of the basic elements of the traditional “ .
Lihat Model Provisions Section 2 : Productions consisting of characteristic elements of traditional artistic heritage developed and maintained by a community, in particular, verbal expressions, (folk tales, folk poetry, riddles); musical expressions (folk songs and
instrumental music); expressions by action (folk dances, plays and artistic forms or rituals); and tangible expressions (productions of folk art, drawings, paintings,
carvings, sculptures, pottery, terracotta, mosaic, woodwork, metalware, jewelry,
basket-weaving, needle work, textiles, carpets, costumes,musical instruments, and
[architectural forms.]
[14]
Lihat Dokumen WIPO/GRTKF/IC/10/4, p.13 : The
term of “characteristic” is intended to convey nation of “authenticity” or that
the protected exspression are “genuine”, “partain to” and
“authencity” are implicit in requirement that expression, or elements
of them, mus be characteristic
[15]DokumenWIPO/GRTKF/IC/19/4:http://www.wipo.int/edocs/mdocs/tk/en/wipo_grtkf_ic_19/wipo_grtkf_ic_19_4.pdf : “Protection (shall) should extend to any
traditional cultural expression which is the (unique]/indicative) characteristic product of a
people or community, including an indigenous people or local community and cultural
communities or nations and (belongs to) is used and developed by that
people or community (as part of their cultural or
social identity or heritage). Protected traditional cultural expressions
shall be: (a) the products of (creative intellectual activity), including communal creativity;
(b) indicative of (authenticity/being genuine) of the cultural and social
identity and cultural heritage of indigenous peoples and communities and
traditional and other cultural communities; and
(c) maintained, used or developed by nations, states, indigenous peoples
and communities and traditional and other cultural communities, or by
individuals having the right or
responsibility to do so in accordance with the customary land tenure system or law / customary
normative systems or traditional/ancestral practices of those indigenous peoples and
communities and traditional and other cultural communities, or has an
affiliation with an indigenous/traditional community.
[16]
Tiga unsur subprinsip-prinsip hukum ini diambil dari Lawrence M. Friedman, American Law, An Introduction, W.W. Norton and Company, New York,
1984, juga dalam Lawrence M. Friedman, A
History of American Law, Simon and Schuster, New York, 1973
[17] Bern Convention for the Protection of Literary and Artistic Works Article 15 paragraf 4 :a) In the case of unpublished works where the
identity of the author is unknown, but where there is every ground to presume
that he is a national of a country of the Union, it shall be a matter for
legislation in that country to designate the competent authority which shall
represent the author and shall be entitled to protect and enforce his rights in
the countries of the Union.(b) Countries of the
Union which make such designation under the terms of this provision shall
notify the Director General by means of a written declaration giving full
information concerning the authority thus designated. The Director General
shall at once communicate this declaration to all other countries of the Union.
[18]
Agnes Lucas-Shloetter : Folklore
dalam Indigenous Heratage and
Intellectual Property GRTKF, 2 nd
edition Edited by silke von Lewinski, Kluwer Law, Law & Bussiness
Netherland 2007, halaman 351
[19]
Bern Convention, Article 2 (2);” It shall,
however, be a matter for legislation in the countries of the Union to prescribe
that works in general or any specified categories of works shall not be
protected unless they have been fixed in some material form “.
[20]
Penjelasan UU Nomor 19 Tahun 2002;”Perlindungan Hak Cipta tidak diberikan
kepada ide atau gagasan karena karya cipta harus memiliki bentuk yang khas,
bersifat pribadi dan menunjukkan keaslian
sebagai Ciptaan yang lahir berdasarkan kemampuan, kreativitas, atau
keahlian sehingga Ciptaan itu dapat dilihat, dibaca, atau didengar”.
[21]
Proses kreatif kain tenun Pagringsingan
memerlukan waktu 8 Tahun untuk menjadi kain siap pakai, kain batik (tulis)
paling sedikit 6 bulan demikian juga tenun Sikek dan juga karya EBT lainnya.
[22]
Pada masyarakat tradisional untuk menghasilkan karya seni EBT sesorang anggota
komunitas harus mempersiapkan tidak hanya persiapan phisik tapi juga persiapan
jiwanya, misalnya dengan nglakoni
bisa semedi, puasa, membuat ritual
tertentu. Apalagi kalau karya EBT
tersebut diperuntukan untuk keperluan ritual keagamaan. Hasil Wawancara dengan
Kepala Adat Desa Tenganan Bp. Mangku
[23]
Edy Sedyawati : Makalah : Upaya
Perlindungan Hukum (HKI) terhadap Produk Kerajinan Nasionl yang Menjadi Warisan
Budaya, Diskusi Panel, Semarang, 18 Oktober 2002, halaman 3
[24] LocCit
[25]
Agnes Lucas – Schoeller. Op Cit hal
386 , lihat juga kasus Yumbulul vs
Reserve Bank of Australia terkait kasus reproduksi dugaan seni Aborigin, Morning
Star, pada mata uang kertas $ 10 oleh Reserve Bank of Australia. keputusan
ini menandai tonggak penting dalam pengadilan penerapan Undang-Undang Hak Cipta 1968 untuk karya-karya artistik Adat. Pengadilan menerima bahwa karya seni
Aborigin adalah sebuah karya seni asli yang hidup dari hak cipta, dan bahwa
seniman Aborigin adalah pemilik hak cipta di dalamnya. (Kamal Puri, Brisbane University Queenland
Austrlaia, www.folklife.si.edu/resources/unesco/puri.htm)
[26]
Josep Githaiga, Intellectual Property Law and Protection Indigenous folklore and Konwledge, E LAW | Murdoch University
Electronic Journal of LawVolume 5, Number 2 (June 1998), halaman 4. Maui Solomon, Intellectual Property
Rights and Indigenous Peoples Rights and Obligations, Motion Magizine of
Misouri Rural Crisis Center, NPC Productions, 1995, halaman 4
[27]
Ibid, halaman 390-391. Lihat Pasal 6 bis Konvensi Bern ..” author shall have the right to claim authorship of the work and to
object to any distortion, mutilation or other modification of, or other
derogatory action in relation to, the said work, which would be prejudicial to
his
honor or
reputation
[28]
WIPO Performances and Phonogram Treaty 1996, Article 2 (d) : (d) “producer of a phonogram” means the person, or the legal
entity, who or which takes the initiative and has the responsibility for the
first fixation of the sounds of a performance or other sounds, or the
representations of sounds;
[29]
Produser rekaman mendapatkan perlindungan atas hak eksklusif tersebut
berdasarkan Pasal 11 -15 WPPT, Pasal 10 Rome
Convention dan Pasal 12 Persetujuan
TRIPs. Bandingkan dengan ketentuan tentang perlindungan terhadap pencipta “posthumous” yang dalam The European Directive In the Field of
Copyright an Neighouring Rights 1993,2001 dan 2006 Pasal 4 : “grant a posthumous right of publication for
the benefit of any person who after expiry of copyright protection, for the
firstime lawsfully publishes or lawsfully communication to the public a
previosly unpublished work” dan hak-hak eksklusif (reproduksi, distribusi,
rental dan renumersi) produser phonogram atas karya EBT yang “posthumous”
pertama kali yang belum terpublikasi secara internasional.
[30]
Agnes Lucas-Shloetter. Op Cit halman 357
[31] Kasus
antara John Hardy, Ltd. (“John Hardy”), sebuah perusahaan perhiasan dengan nama PT. Karya Tangan Indonesia
(KTI) yang berkantor pusat di Hong
Kong, melawan I Ketut Denny Aryasa,
pengrajin perhiasan dari Bali. John Hardy memiliki pabrik untuk membuat perhiasan di Bali bernama PT. Karya Tangan Indah dan
Denny Aryasa yang sebelumnya pernah bekerja pada John Hardy, sekarang
menjadi kepala pendesain dan
pemilik modal dari perusahaan bernama BaliJewel.
Denny Aryasa ditahan di Bali
dengan tuduhan menjiplak dua motif perhiasan milik John Hardy, yaitu Batu Kali dan Fleur (“Bunga”),
pada perhiasan yang didesain oleh Denny Aryasa untuk BaliJewel. Denny dan sebagian besar masyarakat Bali memprotes
klaim hak cipta John Hardy atas kedua motif tersebut karena kedua
motif itu adalah motif tradisional Bali
yang telah dipergunakan turun-temurun oleh masyarakat Bali. Walaupun belum pernah didokumentasikan atau dikompilasikan dalam data-base, kedua motif tersebut umum digunakan untuk dekorasi pura di Bali, pintu
masuk bangunan di Bali, dan dalam
berbagai karya seni Bali lainnya. Selama proses pengadilan, hakim menemukan fakta bahwa John Hardy juga telah memiliki
hak cipta atas kurang lebih
800 motif tradisional
Indonesia lainnya, baik yang terdaftar di Indonesia maupun di Amerika Serikat. Pengadilan Negeri
Denpasar memutuskan Denny Aryasa
tidak bersalah dalam kasus ini dengan alasan karena motif yang dibuatDenny
Aryasa berbeda bentuk dan teksturnya dari motif yang dimiliki John Hardy (Dituding Jiplak Motif Perak, Perajin Bali Dituntut 2
Tahun Penjara”, detikNews, 12 September 2008, http:/
/us.detiknews.com/read/2008/09/17/163057/1007972/10/perajin-perak-bali-bantah-jiplak-motif-perak-milik-asing, diakses
2 Januari 2011).
[32] Article 25 ayat
(1) Persetujuan TRIPst: Members shall provide for the protection of
independently created industrial designs that are new or original. Members may provide that designs are not new or
original if they do not significantly differ from known designs or combinations
of known design features. Lihat juga Pasal 2 ayat (1) dan (2) Undang-Undang
Desain Industri Nomor 31 Tahun 2000 Hak Desain Industri diberikan untuk Desain
Industri yang baru.(2) Desain
Industri dianggap baru apabila pada Tanggal Penerimaan, Desain Industri
tersebut tidak sama
dengan pengungkapan yang telah ada sebelumnya.
[33]
Porwodarminto, The Grolie International Dictionary , Diolah kembali oleh Pusat Pembinaan dan {Pengembangan Bahasa
Indonesia, Dept. P dan K, PN Balai Pustaka , Jakarta 1976, halaman 1008,
bandingkan dengan dengan Henry Cambell Black, halaman 70 :Brand or Mark : A word, mark,
design, term, or a combination of these both visual and oral, used for the
purpose of indentification of some product or service. Bandingkan Brendan J
Fowlston, Understanding commercial and
Industrial Licencing, London : Waterflow
Publisher Limited, First Edt, 1984, halaman 11: ’The word, bedge or simbol which a manufacturer uses to mark to denote
their origin”.
[34] Pasal 1 ayat (1)
Undang-Undang no 15 Tahun 2001; “Merek adalah tanda yang berupa
gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi
dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam
kegiatan perdagangan barang ataujasa.”
[35]
Article 7(bis) (1) Paris Convention :
The countries of the Union undertake to
accept for filing and to protect collective
marks belonging to associations the existence of which is not contrary to
the law of the country of origin, even if such associations do not possess an
industrial or commercial establishment. Pasal 50 Undang-Undang Merek Nomor
15 Tahun 2001
[36]
Iman Syahputra, Heri Herhanto, Parjio: Hukum Merek Baru, Seluk Beluk Tanya Jawab
Merek, Teori dan Praktik, Harvarindo,
halaman 131.
[37] Konvensi Paris Pasal 6quinquies huruf b (3) ;
Trademarks
covered by this Article may be neither denied registration nor invalidated except
inthe following cases:hen they are contrary to morality or public order and, in
particular, of such a nature as to deceive the public. It is understood that a
mark may not be considered contrary to public order for the sole reason that it
does not conform to a provision of the legislation on marks, except if such
provision itself relates to public order. Pasal 5 huruf a Undang-Undang
Merek Nomor 15 Tahun 2001
[38]
Sebagai ilustrasi terkait prinsip ini
yaitu dalam hal penggunaan karakter EBT
untuk tanda merek yaitu kasus PT Konimex yang berlokasi di Kecamatan Grogol,
Sukoharjo, Jawa Tengah digugat oleh Ikatan Masyarakat Manggarai, Flores, Nusa
Tenggara Timur yang berada di Jakarta karena menggunakan dan mendaftarkan merek
“Kido” untuk produk permen coklat . Sebab, dalam bahasa daerah Flores, 'Kido'
bermakna bersenggama, bersetubuh, hubungan kelamin antara wanita dan laki-laki. IMMI menggugat PT Konimex sebesar Rp 1 serta keharusan meminta maaf
secara terbuka kepada masyarakat Manggarai, baik yang tinggal di Indonesia
maupun di luar negeri melalui media televisi, koran nasional serta koran lokal
di Flores selama tujuh hari berturut-turut. Juga membayar uang paksa sebesar Rp
5 juta per hari atas keterlambatan melaksanakan putusan itu. Selain itu, PT
Konimex wajib mengganti merek Kido. Menurut
para penggugat yang tergabung dalam Ikatan Masyarakat Manggarai Indonesia
(IMMI), kata Kido sangat tabu diucapkan secara terbuka ke khayalak ramai
Masyarakat Manggarai prihatin dan resah dengan kehadiran cokelat merk 'Kido’. Produk tersebut membawa dampak negatif bagi pendidikan
anak-anak, bahkan terindikasi cokelat tersebut telah dijadikan bahasa sandi di
antara remaja untuk melaksanakan hubungan seksual. Hal itu
menyebabkan orang Manggarai tabu menyebutkannya secara terbuka di depan
anak-anak/remaja. Jika hal itu dilakukan, maka sama saja mendidik mereka dengan
hal-hal pornografis yang ditentang keras oleh masyarakat Indonesia yang dikenal
tinggi peradabannya.Sejalan dengan tabunya kata tersebut, maka kehadiran
cokelat Kido, di tengah masyarakat Manggarai mendatangkan keresahan pada orang
tua, rohaniwan/biarawan/biarawati, para pendidik dan tua-tua adat di daerah
ini. Keresahan ini terutama disebabkan kata Kido tidak lagi merupakan sesuatu
yang dipandang tabu oleh orang Manggarai, melainkan sesuatu yang maknanya telah
bergeser menjadi yang sebaliknya, yakni mengonsumsi cokelat.Orang tua yang
mendengar anaknya mengucapkan kata itu, atau meminta jajan cokelat Kido sungguh
menderita luka batin. Apalagi kata tersebut sudah menjadi bahasa sandi antara
remaja untuk melakukan
hubunganseksual
[39]
Menurut Yahya Harahap, Op Cit halaman
394 mengatakan : “Penerapan
ketentuan bertentuan tersebut tidak bisa dilakukan dengan menggunakan dengan standar universalisme tetapi menggunakan
patokan relativisme cultural, karena
setiap masayarakat mempunyai persepsi terhadap nilai-nilai moralitas ataupun
ukuran baik dan buruk berbeda antara bangsa yang yang satu dengan bangsa yang
lainnya. Bertentangan dengan ketertiban umum berarti bertentangan dengan hukum positif, menganggu
ketentraman masyarakat, menganggu
stabilitas keamanan dan ketentraman masyarakat, membahayakan
kesejahteraan rohani dan jasmani masyarakat dan bertentangan dengan ajaran
agama
[40]
Budi Santoso, Pengantar Hak Kekayaan
Intelektual, (Semarang : Pustaka Magister, 2008), halaman 68
[41]
Article 10 Paris Convention
:1) The provisions of
the preceding Article shall apply in cases of direct or indirect use of a false
indication of the source of the goods or the identity of the producer,
manufacturer, or merchant.;(2) Any producer, manufacturer, or merchant, whether
a natural person or a legal entity, engaged in the production or manufacture of
or trade in such goods and established either in the locality falsely indicated
as the source, or in the region where such locality is situated, or in the
country falsely indicated, or in the country where the false indication of
source is used, shall in any case be deemed an interested party.”
[42]
Pasal 22 ayat (1) Persetujuan TRIPs
[43]
Persaingan curang adalah Segala bentuk perbuatan yang dapat menimbulkan
kebingungan tentang pihak pesaing, barang, ataupun kegiatan perdagangan dan
industrial pesaing; Persangkaan palsu (false
allegations) yang bertujuan untuk mendiskeditkan pihak pesaing, barang,
ataupun kegiatan perdagangan dan industrial pesaing; Persangkaan atau petunjuk
yang yang dapat menyesatkan publik mengenai kondisi, proses pembuatan,
karakteristik, kelayakan, serta kuantitas dari barang. (Pasal 10 bis ayat (2)
dan (3) Konvensi Paris)
[44]
Miranda Risang Ayu, Konsep Indikasi Geografis dalam Undang-Undang Merek di Indonesia dalam
kalitannya Prinsip-prinsip Protekksi Trips, Fakultas Hukum Universitas Padjadajaran , Bandung 2000,
halaman 6
[45]
Karin Timmermans : TRIPs , CBD and Traditional Medicines; Consepts and
Question_ Repot of ASEAN Workshop on The Persetujuan TRIPst and
Traditional Medicines, National Agency
for Drug and Food Control _World Helth Organization, Jakarta 2001, halaman
20
[46] Lindsey Tim dkk.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar