KEBIJAKAN PERLINDUNGAN HKI
DI INDONESIA
Oleh : Dr. Kholis Roisah,
SH.Mhum*
1. PENDAHULUAN
Perhatian masyarakat Internasional terhadap perlindungan
HKI semakin meningkat dan bahkan menguat. Hal ini bisa dilihat dengan munculnya
konvensi-konvensi baru yang memperluas cakupan perlindungan HKI dan munculnya
perjanjian internasional untuk memberi perlindungan HKI. Hal ini dimulai
menjelang awal abad ke19 kebutuhan pengaturan
internasional di bidang HKI dirasakan perlu dilakukan karena adanya
perkembangan teknologi yang berorientasi internasional dan peningkatan volume
perdagangan internasional. Disamping itu kebutuhan untuk memperoleh
perlindungan terhadap temuan-temuan di beberapa Negara mengalami kesulitan
karena adanya peraturan yang berbeda-beda.
Tonggak sejarah pengaturan di bidang hak kekayaan
intelektual diawali dengan diadakannya Konferensi Diplomatik tahun 1883 di
Paris yang menghasilkan perjanjian internasional mengenai Perlindungan Hukum Milik Perindustrian atau
disebut Paris Convention for The Protection on Industrial Property-Paris
Convention. Tiga tahun kemudian di Bern dihasilkan juga perjanjian
internasional di bidang Perlindungan Hak Cipta yaitu International
Convention for The Protection of Literary and Artistic Work (Bern Convention). Revisi terakhir
terhadap kedua konvensi tersebut dilakukan tahun 1967 untuk Konvensi Paris dan
tahun 1971 untuk Konvensi Bern. Perlindungan terhadap karya cipta diperluas
terhadap karya-karya tampilan pada suatu phonogram, produser phonogram dan
hasil siaran, seperti yang diatur dalam International Convention for The Protection
of Performers, Producers of Phonogram and Broadcasting Organizations (Rome
Convention 1961), Treaty on Intellectual Property in Respect
of Integrated Circuit (Washington Treaty 1989) memberikan perlindungan atas tampilan Desain Tata Letak Sirkit Terpadu (DTLST).
Melalui konferensi internasional tahun
1967 di Stockholm dibentuk World Intellectual Property Organization (WIPO). Pada tahun
1970 WIPO menjadi Badan Khusus (Specialized
Agencies) PBB.
Perlindungan hukum terhadap HKI mengalami perkembangan
yang sangat pesat dalam tatanan internasional dan bahkan menjadi salah satu isu
pada era globalisasi dan liberalisasi sekarang ini. Khususnya sejak menjadi
salah satu agenda di dalam perundingan Putaran Uruguay atau Uruguay Round yang berlangsung dari
tahun 1986 sampai 1994. Perundingan yang melahirkan World Trade Organization (WTO) atau Organisasi Perdagangan Dunia
dan juga disepakatinya perjanjian internasional
tentang Aspek-aspek Hak kekayaan Intelektual Terkait Perdagangan (Trade Related Aspects of Intellectual
Property Rights-TRIPs Agreement)[1],
yang telah diratifikasi oleh 150 lebih
negara di dunia. Perjanjian ini mengukuhkan penegakan hukum (law enforcement) yang lebih ketat dan
memperluas ruang lingkup perlindungan HKI dari perjanjian internasional
sebelumnya yang diprakarsai oleh World
Intellectual Property Organization (WIPO),
seperti Bern Convention, Paris
Convention, Rome Convention dan Washington Treaty.
Banyaknya Negara yang menjadi peserta perjanjian TRIPs menunjukkan, kepedulian masyarakat internasional terhadap
perlindungan HKI. Hal ini membawa dampak terhadap upaya peningkatan
perlindungan HKI di tingkat lokal / nasional termasuk Indonesia. Pada dasawarsa
terakhir ini Indonesia telah meratifikasi perjanjian-perjanjian internasional
di bidang HKI dan melakukan revisi dan juga mengeluarkan peraturan baru di
bidang perlindungan HKI.
2.
PEMBAHASAN
A.
Konsep
Kepemilikan dan Falsafah HKI
Hak Kekayaan Intelektual (HKI)
atau istilah dalam bahasa Inggris Intellectual
Property Right adalah salah satu hak yang timbul atau lahir karena
kemampuan manusia.[2] HKI adalah suatu hak eksklusif
yang berada dalam ruang lingkup kehidupan teknologi, ilmu pengetahuan, ataupun
seni dan sastra. Kepemilikannya bukan terhadap barangnya melainkan terhadap
hasil kemampuan dan kreativitas intelektual manusianya, yaitu diantaranya
berupa ide atau gagasan.
HKI atau bisa juga disebut hak
milik intelektual merupakan hak yang berasal dari hasil kreasi suatu kemampuan
daya pikir manusia yang diekspresikan kepada khalayak umum dalam berbagai
bentuknya, yang memliki manfaat serta menunjang bagi kehidupan manusia, juga
mempunyai nilai ekonomi. Bentuk nyata dari kemampuan karya intelektual manusia
bisa berbentuk teknologi, ilmu pengetahuan, maupun seni dan sastra.[3]
Kemampuan intelektual manusia
yang berupa daya cipta, rasa dan karsanya menghasilkan karya-karya di bidang
ilmu pengetahuan, seni, dan teknologi. Karya-karya intelektual dilahirkan
dengan pengorbanan waktu bahkan biaya dan dengan pengorbanan ini menjadikan
karya yang dihasilkan mempunyai nilai ekonomi yang melekat sebagai konsekuensi
menjadi kekayaan (property), bilamana
karya-karya tersebut diperoleh manfaat ekonomi yang bisa dinikmati. HKI baru
muncul bilamana hasil intelektual manusia tersebut telah membentuk sesuatu yang
dapat dilihat, didengar, dibaca maupun digunakan secara praktis
Hak atas kekayaan yang timbul
karena, atau lahir dari kemampuan intelektual manusia. Atas hasil kreasi
tersebut , masyarakat beradab mengakui bahwa yang menciptakan boleh mengusai
untuk tujuan yang menguntungkannya. Kreasi sebagai milik berdasarkan postulak
dalam arti yang seluas-luasnya juga meliputi milik yang tak terwujud.[4]Hak
kekayaan intelektual sebagai obyek pemilikan dikontruksikan sebagai “benda tak
terwujud” atau “benda tak bertubuh” (intangibles,onlichaamelijk)
yang dihasilkan dari benak manusia. Meskipun
demikian obyek pemilikan tersebut diabtrasikan sebagai semacam “benda bergerak”
(moveable) yang bisa dipindah
tangankan dengan mudah.[5]
Hak kekayaan intelektual bersifat eksklusif dan
mutlak, artinya bahwa hak tersebut dapat dipertahankan terhadap siapapun dan
yang mempunyai hak tersebut dapat menuntut terhadap pelanggaran yang dilakukan
oleh siapapun. Pemegang hak atas kekayaan intelektual juga mempunyai hak
monopoli, yaitu hak yang dapat dipergunakan dengan melarang siapapun tanpa
persetujuannya membuat ciptaan/penemuan nya ataupun menggunakannya.[6]
Secara filosofi konsep kepemilikan HKI tidak bisa
dilepaskan pemikiran John Locke yang mengatakan setiap
manusia memiliki dirinya sendiri sebagai miliknya. Tak seorangpun memiliki hak
atas pribadi orang lain kecuali pemiliknya sendiri, termasuk hasil kerja
tubuhnya dan karya tangannya[7] serta
panca inderanya. Artinya setiap orang secara alamiah mempunyai hak untuk
memiliki segala potensi yang melekat pada diri
pribadinya dan seluruh kerja yang dihasilkannya.
Intinya adalah bahwa manusia mempunyai hak memiliki ataupun minimal
yang ada dalam dirinya termasuk akal budinya, buah pikiran, ide atau gagasan
serta kepekaan terhadap lingkungan yang kemudian diolah dengan memadukan,
memisahkan, mengurangi atau menambah apa yang sudah ada di alam dan menyatakan
secara bertanggung jawab dialah sang empunya gagasan
Jadi disini HKI lahir dari hak alamiah yang secara instrinsik ada sejak
manusia lahir sehingga HKI merupakan salah satu bagian dari hak azasi manusia (human rights) dan pengaruh hukum kodrat
John Locke ini mempengaruhi hukum Perancis yang melahirkan doktrin hak moral
yaitu hak pribadi yang dimiliki oleh seseorang pencipta ataupun penemu untuk
mencegah terjadinya penyimpangan atas karya ciptanya ataupun temuannya dan
untuk mendapatkan pengormatan atau pengharagaan atas karya tersebut. Doktrin
hak moral kemudian juga diadopsi dalam pasal 6 Konvensi Bern 1886. Pengakuan
HKI sebagai salah satu bentuk hak azasi manusia termuat dalam pasal 27
Declaration Universal of Human Rights 1948 yang berbunyi “Everyone has right to the protection of the moral and material interest
resulting from any scientific, literary or artistic production of which he
(sic) is the author”
Lebih jauh lagi filosofi rezim HKI adalah alasan ekonomi. Bahwa
individu telah mengorbankan tenaga, waktu, pikiran dan biaya demi sebuah
karyaatau temuan yang berguna bagi kehidupan. Rasionalitas untuk melindungi
modal investasi tersebut mesti dibarengi dengan pemberian hak eksklusif
terhadap individu yang bersangkutan agar menikmati secara eksklusif hasil olah
pikirnya. Dasar pemikiran tersebut sudah ada sejak filusuf Yunani Aristoteles
dengan teori keadilannya. Bahwa seseorang mempnyai hak untuk memperoleh imbalan
atas jerih payah yang dikerjakannya atau dikenal dikenal dengan keadilan
disributif. Falsafah ini dalam konteks HKI melahirkan reward theory, recovary theory, incentive theory, dan public benefit
theory yang mendalilkan bahwa apabila individu-individu yang kreatif di
beri insentif berupa hak eksklusif, maka hal ini akan merangsang
individu-individu lain untuk berkreasi. Artinya hukum menjamin pemilik
memperoleh manfaat ekonomi dari penggunaan karya cipta temuannya mendorong
masyarakat untuk menghasilkan kreatifitas.
Konsep kepemilikan HKI yang berasal dari Eropa berbeda dengan konsep
kepemilikan kreatifitas intelektual yang mendasarkan pada pemikiran sebagian besar masyarakat
Indonesia. Peradaban bangsa Indonesia sejak berabad-abad yang lalu sudah
mengenal karya-karya seni yang sangat monomental seperti candi Borobudur,
Prambanan, tari-tarian, ceritera rakyat yang berasal dari pelbagai suku bangsa
di Indonesia dan kekayaan atas pengetahuan tentang obat-obatan dari sumber
hayati (genetic resources) atau di Jawa sebagai pengetahuan tentang jamu
(istilah popular sekarang obat herbal) sudah tidak diragukan lagi. Kreativitas
tersebut oleh para seniman / kreatornya dan oleh penemu pengetahuan tersebut
tidak bermaksud untuk dimiliki monopoli atau mengklaim sebagai milik pribadi.
Masyarakat asli Indonesia pada
umumnya tidak mengenal konsep yang bersifat abstrak termasuk konsep hak atas
kekayaan intelektual, masyarakat adat Indonesia tidak pernah membayangkan bahwa
buah pikiran (intellectual creation)
adalah kekayaan (property).[8] Cara
pandang orang Indonesia tentang kebendaan adalah bersifat kongkrit. Orang
Indonesia tidak mengenal
tentang kebendaan sebagaimana konsep zakelijke
rechten dan persoonlijke rechten
yang dipunyai orang Barat.Dalam Adat hanya mengakui produk (in perse) yang
dihasilkan oleh pencipta dan si pencipta hanya boleh boleh mengklaim
kepemilikan produk hasil ciptaannya dan Adat tidak membolehkan pencipta untuk
mengklaim ide intelektual (HKI) yang mendasar pembuatan produk karena HKI
adalah tidak riel / kongkret.[9]
Kosmologi masyarakat Indonesia
menempatkan seorang individu tidak dipisahkan dari lingkungan yang
mengitarinya, masyarakat, alam dan bahkan kekuatan gaib.[10]
Fritjof Capra menyebutnya sebagai pandangan tradisi mistis.[11]Adat
tidak mengakui kepemilikan yang bersifat monopoli karena individu serta segala
yang dimilikinya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari lingkungan yang
mengitarinya.[12] Hal ini
berakibat bahwa seorang individu harus mempertanggungjawabkan penggunaan datau
pengekploitasian hak miliknya kepada masyarakat, alam dan kekuatan gaib yang
mengitarinya. Latar belakang dapat menjelaskan mengapa pada masa penjajahan
Belanda hak monopoli atas karya intelektual tidak dikenal dalam masyarakat
Indonesia. Karena karya intelektual tidak hanya dibutuhkan oleh individu
pemiliknya tapi juga komunitas dimana pemilik karya tersebut tinggal.[13]
Kosmologi masyarakat Indonesia
menempatkan seorang individu tidak dipisahkan dari lingkungan yang
mengitarinya, masyarakat, alam dan bahkan kekuatan gaib.[14]
Fritjof Capra menyebutnya sebagai pandangan tradisi mistis.[15]Adat
tidak mengakui kepemilikan yang bersifat monopoli karena individu serta segala
yang dimilikinya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari lingkungan yang
mengitarinya.[16] Hal ini
berakibat bahwa seorang individu harus mempertanggungjawabkan penggunaan datau
pengekploitasian hak miliknya kepada masyarakat, alam dan kekuatan gaib yang
mengitarinya. Latar belakang dapat menjelaskan mengapa pada masa penjajahan
Belanda hak monopoli atas karya intelektual tidak dikenal dalam masyarakat
Indonesia. Karena karya intelektual tidak hanya dibutuhkan oleh individu
pemiliknya tapi juga komunitas dimana pemilik karya tersebut tinggal.[17]
Hal ini berbeda dengan doktrin
moral diadopsi oleh rezim HKI dengan kepemilikan eksklusif untuk
memberikan perlindungan terhadap individu pemilik HKI agar hak-haknya tidak
dilanggar oleh orang lain. Jadi jelas sekali bahwa
perlindngan HKI mengadopsi gagasan yang mengedepankan hak-hak individu atau
dengan kata lain perlindungan HKI mengadopsi paham individulis. Paham ini
memenerima sesorang itu memiliki harga perseorangan yang kuat, kalau hendak
dikatakan mutlak, Seseorang atau individu diyakini memiliki harga moral yang
intrinsik. Berdasarkan keyakinan tersebut, maka paham perseorangan mendorong
otonomi seseorang dalam berpikir dan bertindak.[18] Sebagai konsekuensiya maka
eksklusifitas diri sebagai invidu (individual privacy) mendapat tempat dan
diakui sebagai penting. Seseorang benar-benar otono karena dilepaskan dengan
hubungan specifik dengan orang. Tujuan yang ingin dicapai dicapai berpusat pada
pengembangan diri sendiri.[19]
Kepemilikan ekskusifnya dapat membawa konsekuensi pemilik HKI mengeksploitasi
manfaat ekonomi dari hasil karya ataupun temuannya sebesar-besarnya tanpa
gangguan pihak lain selama masa perlindungan dan menjadi pembatasannya hanyalah
selama tidak merugikan orang lain.
B. Kebijakan Perlindungan HKI di
Indonesia
Di Indonesia sistem hukum HKI tersebut sudah muncul sejak Pemerintah
Kolonial Hindia Belanda yaitu dengan dikeluarkannya peraturan HKI yang meliputi
Auteurswet 1912 Stb.1912 No.600 bagi perlindungan Hak Cipta, Reglement
Industriele Eigendom Kolonien [20]Stb.1912 No.545 jo. Stb.1913 No.214 mengenai pelindungan hak
merek, dan Octrooweit 1910 S.No.33 yis S.11-33, S.22-54 mengenai
perlindungan hak Paten[21]. Seperti diketahui bahwa pemerintah Hindia
Belanda menerapkan potlitik pemisahan pemberlakuan (politik segregasi) hukum
maka ketentuan hukum tersebut hanya berlaku untuk orang golongan Eropa di
Indonesia dan masyarakat pribumi berlaku ketentuan hukum Adat yang tidak
mengenal konsep kepemilikan tidak terwujud.
Setelah kemerdekaan Hukum Belanda diadopsi pemerintah Indonesia karena
Pasal II Peraturan Peralihan UUD 1945 yang menyebutkan : “Bahwa Badan Negara
dan Peraturan yang masih ada terus berlaku, selama belum diadakan yang baru
menurut UUD ini”. Setelah itu praturan hukum HKI terus berlaku sama sekarang.[22]
Pada tahun 1986 sejak muncul
issu HKI dalam perundingan GATT dalam Putaran Uruguay pemerintah Indonesia telah membentuk Tim
Keppres 34 yang bertugas menyiapkan rancangan undang undang HKI. Rancangan
undang undang tersebut menyesuaikan issue HKI
yang berkembang dalam Putaran Uruguay dan
mengimplementasikan TRIPs Agreement. Beberapa undang-undang telah di hasilkan
yaitu Undang Undang RI nomor 30 tentang Rahasia Dagang, Undang Undang Nomor 31
tentang Disain Industri, Undang Undang nomor 32 tahun tentang Disain Tata Letak
Sirkit Terpadu, Undang Undang nomor 33 tahun 2000 Varietas Tanaman, Undang Undang
nomor 14 tahun 2001 tentang paten
(merupakan perubahan dari UU no 6 th. 1989, UU no 13 tahun 1997) Undang Undang
nomor 15 tahun 2001 merek (pengganti UU no. 19 tahun 1992 dan UU no. 14 tahun
2001) dan Undang Undang nomor 19 tahun 2002 tentang Cipta.(pengganti UU no. 7
tahun 1987 dan UU no. 12 tahun 1997).
Melalui Undang Undang No 7 tahun 1994 tentang Ratifikasi Agreement Establishment The World Trade
Organization, maka pemerintah Indonesia mempunyai kewajiban untuk
mengimplementasikan ketentuan TRIPs Agreement ke dalam perundang undangan
nasionalnya. Beberapa kali revisi yang dilakukan terhadap perundang-undangan HKI diatas
merupakan upaya untuk menyesuaikan terhadap
ketentuan perlindungan HKI yang ada di dalam TRIPs Agreement.
Secara substansi ketentuan
perundangan-undangan HKI tersebut, secara garis besar mengandung prinsip-prinsip
tersebut dibawah ini :
-
Prinsip kepemilikan HKI sebagai hak eksklusif
artinya sistem hukum kekayaan intelektual memberikan hak yang berifat khusus
kepada orang yang terkait langsung dengan kekayaan intelektual yang dihasilkan.
Melalui hak tersebut,pemegang hak dapat mencegah orang lain untuk membuat,
menggunakan atau berbuat tanpa ijin. Kepemilikan HKI dalam bentuk hak paten,
hak cipta, hak merek, hak disain industri, hak atas sirkit terpadu, hak varitas
tanaman dan hak rahasia dagang.
-
Prinsip perlindungan terhadap karya intelektual
diberikan oleh negara berdasarkan pendaftaran artinya perlindungan hukum
terhadap karya intlektual mensyaratkan adanya kewajiban melakukan pendaftaran.
Tanpa melakukan pendaftaran penghasil karya intelektual tidak dapat menuntut
pihak lain yang menggunakan karya intlektualnya (kewajiban mendaftarkan tidak
berlaku pemeang hak cipta dan pemegang hak rahasia dagang)
-
Prinsip pendaftaran bersifat teritorial, artinya
perlindungan hukum hanya diberikan di wilayah teritorial dimana karya
intelektual di daftarkan.
-
Prinsip pemisahan benda secara fisik dengan karya
intelektual yang terkandung di dalam benda tersebut, artinya dalam sistem hukum
kekayaan intelektual pengusaan benda secara fisik tidak secara otomatis
memiliki hak eksklusif atas benda tersebut karena kepemilikan karya intelektual
yang melekat pada benda tersebut masih milik penciptanya. Prinsip ini berbeda
dengan prinsip hukum atas benda berwujud
(tangible) penguasaan secara fisik
dari sebuah benda sekaligus membuktkan yang sah atas benda tersebut.[23]
Kebijakan pengaturan
perlindungan HKI ini menunjukkan bahwa politik hukum pembentukan beberapa
undang-undang tersebut hanya semata-mata berdasarkan implementasi TRIPs Agreement atau dengan kata lain
sekedar memenuhi kebutuhan tatanan globalisasi, bukan berdasarkan kebutuhan
internal bangsa Indonesia sendiri dan hal ini terlihat dari beberapa konsideran
beberapa undang-undang diatas.[24]
Penyusunan perundang-undangn
HKI Indonesia dan politik hukum perlindungan HKI hanya sekedar bersandar
implementasi konvensi-konvensi internasional di bidang HKI tentu saja bukan
mendasarkan ide dasar, nilai-nilai, norma yang bersumber dari masyarkat
Indonesia sendiri, sebab masyarakat Indonesia sudah terbiasa dengan nilai-nilai
yang bercorak komunal dan religius/spiritual berbeda dengan filosofi HKI yang
bersumber konvensi –konvensi internasional yang individualis dan kapitalis. Apa
yang dilakukan oleh para pembuat kebijakan dalam sistem hukum HKI sama dengan
mentransfer sistem hukum HKI yang berasal dari masyarakat Barat ke dalam sistem
hukum Indonesia, padahal menurut Robert Seidman dengan teorinya “the Law of the non transferability of law” artinya hukum tidak dapat ditransfer begitu
saja dari suatu masyarakat ke masyarakat lainnya. Mungkin saja perangkat hukum asing itu efektif di
masyarakatnya sendiri, karena antara perangkat hukum asing itu dengan kebutuhan
masyarakatnya sudah selaras, antara hukum dengan pemikiran warga masyarakatnya
serasi, namun belum tentu cocok untuk diterapkan pada masyarakat lain, yang
berbeda perangkat sosialnya, berbeda nilai-nilai sosial yang dianutnya, berbeda
stratifikasi sosialnya, berbeda taraf pemikiran warga masyarakatnya. Dalam
konteks pemikiran Seidman sistem hukum HKI berdasarkan ketentuan TRIPs
Agreement yang berasal dari ide dasar sistem hukum dan tradisi masyarakat Eropa
dan Amerika yang mempunyai perangkat sosial, ekonomi, politik dan nilai-nilai
dan stratafikasi sosial (individualis dan kapitalis) dengan kondisi begitu tidak bisa ditransfer
ke dalam sistem hukum Indonesia yang mempunyai basis kultural yang berbeda
(spiritual dan komunal).
Dapat dikatakan juga bahwa
penyusunan perundang-undangan HKI di Indonesia merupakan tindakan transplantasi
Hukum Asing ke dalam sistem hukum nasional. Sebagaimana transplantasi organ
tubuh manusia, jika cocok dengan tubuh penerima, maka tranplantsi akan berdampak
menyembuhkan. Sebaliknya jika organ yang ditraplantasikan tidak cocok bagi
tubuh penerima akan berakibat fatal. Demikian pula halnya dalam tranplantsi
hukum HKI dalam sistem hukum nasional Indonesia. Jika hukum asing tersebut
cocok dengan sistem hukum yang berlaku di Indonesia, maka akan membawa manfaat
bagi bangsa Indonesia. Sebaliknya jika tidak cocok, maka transplantsi akan
sangat merusak sistem hukum Indonesia secara keseluruhan.[25]
Bahkan kemungkinan
transplantasi tersebut akan membawa faktor kriminalisasi perilaku masyarakat
yang sebelumnya merupakan perilaku yang biasa menjadi perilaku yang melanggar
hukum (tindak pidana), seperti perilaku masyarakat yang membuat produk
berdasarkan disain yang sudah ada sebelumnya. [26] Gambaran tentang kasus tindak pidana HKI semakin meningkat sejak
pemberlakukan sistem hukum HKI di Indonesia menjadi bukti. Disamping integrasi
masyarakat Indonesia terhadap sistem hukum HKI dapat dilihat prosentasi minat masyarakat untuk memperoleh
HKI masih sangat kecil[27]
menunjukkan bahwa sistem hukum HKI yang individualistik dan monopolistik tidak
berakar pada sistem sosial (rooted ofsocial life) masyarakat
Indonesia yang komunal dan spiritual.
DAFTSR
PUSTAKA
Agus Sarjono, Membumikan HKI di
Indonesia, Nuasa Aulia, 2009
Agus Sardjono, Pengetahuan Tradisional; Studi Mengenai
Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual Atas Obat-obatan, (Jakarta:
Pascasarjana Fak. Hukum UI, 2004
Ali Afandi, Kedudukan dan Pengaruh Hukum Asing dalam Tata Hukum di Indonesia,
Universitas Gajahmada, Yogja, 1971
Anton Christop :”Indonesia Intellectual Property Law in Context” dalam Taylor,
Veronica, Asian Laws Australia Eyes , LBC Information Service, 1997
Bambang Kesowo : Posisi dan Arti Penting HaKI dalam
Perdagangan Internasional, Jakarta 1993,
Elias M. Awad, System
and Analilysis and Design, Richard D Irwin, Homewood, Illionis, 1979
Esmi Warassih ; Pranata Hukum:
Sebuah Telaah Sosilogis, PT. Suryandaru Utama, Semarang, 2005.
Fritjof Capra: The Turning
Point, Science, Society and Rising Culture, Bantam Book New York, Penerjemah M.
Thoyibi, (Titik Balik Peradaban, Saint, Masyarakat dan Kebangkitan Kebudayaan),
Cetakan ke 7, Penerbit Jejak, Yogjakarta 2007
Frederick Abbot, et.al, The International
Intellectual Property System: Commentary and Materials, Part One, (Kluwer
Law International, 1999
Glenn R. Butterton, Norms and Property in the Middle Kingdomi,
(Wisconsin Law Journal, Vol. 15, No. 2, 1997)
Group Expert On The Protection of Exspression of
Folklore by Intellectual Property 1985
FX. Aji Samekto, Justice Not
For All, Kritik Terhadap Hukum Modern dalam Perspektif Studi Hukum Kritis,
Genta Press, Yogjakarta 2008
Hamilton V. Lee & Sanders, Yoseph, Everyday Justice,
Responsibility and The Individual in Japan and United State, New Haven, Yale
University Press, 1992
Heliantoro, Undang Undang
Paten Berwawasan Nasional dan Internasional, Hukum dan Pembangunan no. 4 tahun
1987
I Ketut Gobyah, Berpijak pada
Kearifan Lokal, http//www.balipos.co.id
Lawrence M. Friedman, American Law, An Introduction, W.W. Norton and Company, New York,
1984
Mahadi, dalam Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights),
(Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004)
Martin Khor Kok Peng :
Imperalisasi Ekonomi Baru, Putaran Uruguay dan Kedaulatan Dunia Ketiga,
Gramedia Pustaka Utama, Konpalindo
Satjipto Rahardjo, Negara
Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya, Cetakan II, Genta Publishing, Yogjakarta
2009
Satjipto Rahardjo, Bahan Mata Kuliah Teori Hukum. Program PDIH UNDIP, tahun 2009
R. Soepomo, Bab-bab tentang
Hukum Adat, Pradnya Paramita, 1982
Surahman,http//www.suarapembaharuan.com/new/199711/21119/opED/opini02/opini02html,
1997
Tim
Lindsey,BA,LLB,BLitt,Phd,rpf.Damian Edy, SH,Dr,Prof.Butt,Simon, LLB dan Utomo,
Tomi Suryo,SH,LLM : Hak kekayaan Intelektual
Suatu Pengantar, Asian Law Group Ltd berkerjasama dengan Penerbit Almni.
Bandung 2002
Ter Haar :mendifinisikan hal ini sebagai :”the
non-material environment, the external environment and a part of material the
world”, Lihat Ter Haar :Adat Law in Indonesia, 1948
Tomi Suryo Utomo, Hak Kekayaan
intelektual Di Era Global, Sebuah Kajian Kontemporer, Graha Ilmu, Yogjakarta
2009UNTAD-ICTSD,
Resource Book on TRIPs
and Development, Cambrige University Press, 2005
Roscoe Pound, Pengantar Filsafat Hukum (terjemahan
Drs. Muhammad Radjab), Cetakan Ketiga, Jakarta, Bharat Karya Aksara, 1982,
*
Disampaikan pada kegiatan Stadium
Generale : Intellectual Property and
Competitive Growth, The Challenge for Indonesia’s Next Generation,
diselenggarakan oleh Central Java Center For WTO & ASEAN Studies Fakultas
Hukum UNDIP dengan Micrososf Corporation Indonesia, Seamarang 13 Maret 2014
[1]
TRIPs Agreement merupakan salah satu dari 15 Persetujuan dari The Final Act Embodying the Result of the Uruguay Round of
Multilateral Trade Negotiations bersama Agreement
Establishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan
Organisasi Perdagangan Dunia)
[2] Bambang
Kesowo, Posisi dan Arti Penting HaKI dalam
Perdagangan Internasinal,, halaman 3
[3] Muhammad
Djumhana,R.Djubaedillah, Op Cit halaman
16. Bandingkan dengan pendapat David I.Bainbridge:Computer and The Law,
London Publishing, Cetakan I 1990 halaman 7 : Itellectual property is the collective name given tolegal rights which
protect the product of human intellec. Dikatakan juga oleh John F. William, Manager’s
Duide to Patent,Trade Marks & Copyright, London Kogan Page, Cetakan ke I, 1996, halaman 11 : The term
intellectual property seem to be the best avaiable to cover that body of legal
rights which arise from mental and artistic endeavour.
[4] Roscoe
Pound, Pengantar Filsafat Hukum
(terjemahan Drs. Muhammad Radjab), Cetakan Ketiga, Jakarta, Bharat Karya
Aksara, 1982, halaman 118.
[5] Oentoeng
Soerapati, Hukum Kekayaan Intelektual dan
Alih Teknologi, Fakulas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana, Cetakan I,
Salatiga, 1999, halaman 1
[6] Mr.N.E.Algra,et.al,
Mula Hukum, Cetakan Pertama, Jakarta, Bina Cipta, 1983,
halaman 210.
[7] Thum Nikolus, Intellectual Property Rights, National
Systhem and Harmonisation in Europe, New York, Physica_Verl, tahun 2000,
halaman 5
[8] Agus sarjono, Pengetahuan Tradisional; Studi Mengenai
Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual Atas Obat-obatan, Jakarta:
Pascasarjana Fak. Hukum
UI, 2004, hal 72
[9] Heliantoro, Undang Undang Paten Berwawasan Nasional dan Internasional, Hukum
dan Pembangunan no. 4 tahun 1987. hal. 372
[10] Ali Afandi, Kedudukan dan Pengaruh Hukum Asing dalam Tata Hukum di Indonesia,
Universitas Gajahmada, Yogja, 1971, hal. 7-8. Bandingkan pendapat Sathipro
Rahardjo : Masyarakat yang berwatak kontekstual, maka di dasar masyarakat
tersebut terletak filsafat holism. Disini terdapat kecenderungan untuk tidak
memisahkan (separte out) seseorang dari konteks sosialnya. Segalanya lalu
menjadi socio centric. Kita akan melihat cara-cara seseorang bertindak dalam
konteks atau keseluuhan. Berbeda dengan dengan individualisme dimana seseorang
otonom, maka dalam kontekstualime kita menjumpai seseorang sebagai berada dalam
keterhubungan dengan orang-orang lain (interconnected individuals)
[11] Fritjof Capra: The Turning Point, Science, Society and Rising
Culture, Bantam Book New
York, Penerjemah M. Thoyibi, (Titik Balik Peradaban, Saint, Masyarakat dan
Kebangkitan Kebudayaan), Cetakan ke 7, Penerbit Jejak, Yogjakarta 2007, hal.
323-324 mengatakan :titik pandang sistem, baik determinisme maupun kebebasan
merupakan konsep yang relatif yaitu adanya kebergantungsn pada linkungan
melalui interkasi yang terus menerus, aktifitas akan dibentuk oleh pengaruh
lingkungannya. Konsep kehendak bebas yang relatif ini tampak konsisten dengan
pandangan-pandang tradisi mistis yang mendorong para pengikutnya untuk melampui
pengertian diri yang terpisah yang terpisah dan sadar bahwa kita merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari kosmos yang melingkupi kita. Tradisi-tradisi
adalah untuk menumpahkan sepenuhnya seluruh ego dan dalam pengalaman mistis
muncul dalam totalitas kosmos
[12]
Ter Haar :mendifinisikan hal ini sebagai :”the non-material environment, the
external environment and a part of material the world”, Lihat Ter Haar :Adat Law in Indonesia, 1948, hal. 53
[13] Afifah Kusumadra: Konflik Hukum HKI dan Hukum Adat Di Indonesia, Jurnal Arena no 12
tahun 2000, FH UNBRA, hal 5
[14] Ali Afandi,Kedudukan dan Pengaruh
Hukum Asing dalam Tata Hukum di Indonesia, Universitas Gajahmada, Yogja, 1971,
hal. 7-8. Bandingkan pendapat Sathipro Rahardjo : Masyarakat yang berwatak
kontekstual, maka di dasar masyarakat tersebut terletak filsafat holism. Disini terdapat kecenderungan untuk tidak
memisahkan (separte out) seseorang dari konteks sosialnya. Segalanya lalu
menjadi socio centric. Kita akan melihat cara-cara seseorang bertindak dalam
konteks atau keseluuhan. Berbeda dengan dengan individualisme dimana seseorang
otonom, maka dalam kontekstualime kita menjumpai seseorang sebagai berada dalam
keterhubungan dengan orang-orang lain (interconnected individuals)
[15] Fritjof Capra: The Turning Point, Science, Society and Rising
Culture, Bantam Book New York, Penerjemah M. Thoyibi, (Titik Balik Peradaban,
Saint, Masyarakat dan Kebangkitan Kebudayaan), Cetakan ke 7, Penerbit Jejak,
Yogjakarta 2007, hal. 323-324 mengatakan :titik pandang sistem, baik
determinisme maupun kebebasan merupakan konsep yang relatif yaitu adanya
kebergantungsn pada linkungan melalui interkasi yang terus menerus, aktifitas
akan dibentuk oleh pengaruh lingkungannya. Konsep kehendak bebas yang relatif
ini tampak konsisten dengan pandangan-pandang tradisi mistis yang mendorong
para pengikutnya untuk melampui pengertian diri yang terpisah yang terpisah dan
sadar bahwa kita merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kosmos yang
melingkupi kita. Tradisi-tradisi adalah untuk menumpahkan sepenuhnya seluruh
ego dan dalam pengalaman mistis muncul dalam totalitas kosmos
[16]
Ter Haar :mendifinisikan hal ini sebagai :”the non-material environment, the
external environment and a part of material the world”, Lihat Ter Haar :Adat Law
in Indonesia,
1948, hal. 53
[17] Afifah Kusumadra: Konflik Hukum HKI dan
Hukum Adat Di Indonesia, Jurnal Arena no 12 tahun 2000, FH UNBRA, hal 5
[18]
Satjipto Rahardjo, Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya, Cetakan II, Genta
Publishing, Yogjakarta 2009, hal. 60
[19] Hamilton V. Lee
& Sanders, Yoseph, Everyday Justice,
Responsibility and The Individual in Japan and United State, New Haven, Yale
University Press, 1992 dalam Sathipto Rahardjo, Ibid hal 60
[22] Afifah Kusumadra, HKI dalam Hukum
Adat Di Indonesia, Jurnal Arena Hukum nomor 12 tahun 2000,
hal 3
[23] Tomi Suryo Utomo, Hak Kekayaan intelektual Di Era Global, Sebuah Kajian
Kontemporer, Graha Ilmu, Yogjakarta 2009, hal. 15
[24] Politik hukum terlihat dalam konsideran
dari Undang Undang 30,31,32 tahun 2000 huruf a. bahwa untuk mewujudkan industri
yang mampu bersaing dalam lingkup perdagangan nasional dan internasional perlu
diciptakan iklim yang mendorong kreasi dan inovasi masyarakat dengan
perlindungan hukum terhadap rahasia dagang sebagai bagian dari sistem HKI, (b)
Bahwa Indonesia telah menandatangani Agreement
Establishment The WTO yang
mencakup TRIPs Agreement dengan UU
no. 9 tahun 1994 maka perlu diatur ketentuan mengenai rahsia dagang, disan
industri dan disain tata letak siskit terpadu. Konsideran huruf Undang Undang
no. 14 tahun 2001 : (a)Bahwa sejalan dengan ratifikas Indonesia pada perjanjian
internasional, perkembangan teknoloi, industri dan perdagang yang semakin pesat
diperlukan Undang Undang Paten yang dapat memberikan yang wajar bagi inventor.
Konsideran Undang Undang no. 15 tahun 2001; (a) bahwa di dalam era perdagangan
global, sejalan dengan konvensi-konvensi internasional yang telah diratifiasi
Indonesia, peranan merek menjadi sangat penting terutama dalam menjaga
persaingan usaha yang sehat. Konsideran Undang Undang Undang Undang noor 19
tahun 200; (b) Bahwa Indonesia telah menjadi anggota berbagai
konvensi/perjanjian internasional di bdang HKI pada umumnya dan Hak Cipta pada
khususnyayang perlu pengejawantahan lebih lanjut dalam sistem ukum nasional (b)
bahwa perkembang di bidang perdagang, industri dan investasi telah sedemian
pesat sehingga perlu meningkatkan perlindungan bagi Pencipta dan Pemilk Hak
Terkait dengan tetap mempertimbang kepentingan masyarakt luas
[25] Agus Sarjono, Pembangunan Hukum Kekayaan Intelektual, Antara
Kebutuhan dan Kenyataan, dalam buku Membumikan HKI di Indonesia . Hal. 17
[26] Kemungkinan tersebut seperti statemen
Konggress PBB ”..the importation of foreign cultural pattern which did not
harmonize with the indiginouse cultural had criminogen effect”, Bahan
kuliah Mahasiswa Angkatan XV PDIH UNDIP
mata kuliah Pembaharuan Hukum Nasional
oleh Prof.Dr. Nawawi Arief, tahun 2009
[27] Budaya
hukum masyarakat Indonesia yang menunjukkan integrasi masyarakat dengan sistem
hukum kekayaan intelektual salah satunya
dapat digambarkan melalui perilaku masyarakat dalam memperoleh HKI .
Data di Kantor Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Departemen RI di
Jakarta untuk paten sampai bulan Nopemeber 2009 jumlah pendaftar hak paten
67.149 ( dengan komposisi 64.025 untuk pemilik asing dan hanya 3.134 pemilik
lokal). Jumlah pendaftar hak merek
kurang lebih 600 ratus ribuan. Jumlah
tersebut sangat kecil dibandingkan dengan pelaku usaha di Indonesia yang jumlah
49.8 juta. Disamping itu semakin
meningkatnya kasus sengketa HKI di Pengadilan dan banyaknya iklan somasi-somasi
pelanggaran merek di koran-koran menunjukkan gambaran budaya hukum masyarakat
terkait sistem hukum kekayaan intelektual.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar