Kamis, 03 April 2014

Kebijakan Perlindungan HKI



KEBIJAKAN PERLINDUNGAN HKI DI INDONESIA
Oleh : Dr. Kholis Roisah, SH.Mhum*

1.      PENDAHULUAN
Perhatian masyarakat Internasional terhadap perlindungan HKI semakin meningkat dan bahkan menguat. Hal ini bisa dilihat dengan munculnya konvensi-konvensi baru yang memperluas cakupan perlindungan HKI dan munculnya perjanjian internasional untuk memberi perlindungan HKI. Hal ini dimulai menjelang awal abad ke19 kebutuhan pengaturan  internasional di bidang HKI dirasakan perlu dilakukan karena adanya perkembangan teknologi yang berorientasi internasional dan peningkatan volume perdagangan internasional. Disamping itu kebutuhan untuk memperoleh perlindungan terhadap temuan-temuan di beberapa Negara mengalami kesulitan karena adanya peraturan yang berbeda-beda.
Tonggak sejarah pengaturan di bidang hak kekayaan intelektual diawali dengan diadakannya Konferensi Diplomatik tahun 1883 di Paris yang menghasilkan perjanjian internasional  mengenai Perlindungan Hukum Milik Perindustrian atau disebut Paris Convention for The Protection on Industrial Property-Paris Convention. Tiga tahun kemudian di Bern dihasilkan juga perjanjian internasional di bidang Perlindungan Hak Cipta yaitu International Convention for The Protection of Literary and Artistic Work (Bern Convention). Revisi terakhir terhadap kedua konvensi tersebut dilakukan tahun 1967 untuk Konvensi Paris dan tahun 1971 untuk Konvensi Bern. Perlindungan terhadap karya cipta diperluas terhadap karya-karya tampilan pada suatu phonogram, produser phonogram dan hasil siaran,  seperti yang diatur dalam International Convention for The Protection of Performers, Producers of Phonogram and Broadcasting Organizations (Rome Convention 1961),  Treaty on Intellectual Property in Respect of Integrated Circuit (Washington Treaty 1989)  memberikan perlindungan atas tampilan Desain Tata Letak Sirkit Terpadu (DTLST). Melalui konferensi internasional tahun 1967 di Stockholm dibentuk World Intellectual Property Organization (WIPO).  Pada tahun 1970 WIPO menjadi Badan Khusus (Specialized Agencies) PBB.
Perlindungan hukum terhadap HKI mengalami perkembangan yang sangat pesat dalam tatanan internasional dan bahkan menjadi salah satu isu pada era globalisasi dan liberalisasi sekarang ini. Khususnya sejak menjadi salah satu agenda di dalam perundingan Putaran Uruguay atau Uruguay Round yang berlangsung dari tahun 1986 sampai 1994. Perundingan yang melahirkan World Trade Organization (WTO) atau Organisasi Perdagangan Dunia dan juga disepakatinya perjanjian internasional  tentang Aspek-aspek Hak kekayaan Intelektual Terkait Perdagangan (Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights-TRIPs Agreement)[1], yang  telah diratifikasi oleh 150 lebih negara di dunia. Perjanjian ini mengukuhkan penegakan hukum (law enforcement) yang lebih ketat dan memperluas ruang lingkup perlindungan HKI dari perjanjian internasional sebelumnya yang diprakarsai oleh World Intellectual Property Organization (WIPO), seperti Bern Convention, Paris Convention, Rome Convention dan Washington Treaty.
Banyaknya Negara yang menjadi peserta perjanjian TRIPs menunjukkan,  kepedulian masyarakat internasional terhadap perlindungan HKI. Hal ini membawa dampak terhadap upaya peningkatan perlindungan HKI di tingkat lokal / nasional termasuk Indonesia. Pada dasawarsa terakhir ini Indonesia telah meratifikasi perjanjian-perjanjian internasional di bidang HKI dan melakukan revisi dan juga mengeluarkan peraturan baru di bidang perlindungan HKI.

2.      PEMBAHASAN
A.    Konsep Kepemilikan dan Falsafah HKI
Hak Kekayaan Intelektual (HKI) atau istilah dalam bahasa Inggris Intellectual Property Right adalah salah satu hak yang timbul atau lahir karena kemampuan manusia.[2] HKI adalah suatu hak eksklusif yang berada dalam ruang lingkup kehidupan teknologi, ilmu pengetahuan, ataupun seni dan sastra. Kepemilikannya bukan terhadap barangnya melainkan terhadap hasil kemampuan dan kreativitas intelektual manusianya, yaitu diantaranya berupa ide atau gagasan.
HKI atau bisa juga disebut hak milik intelektual merupakan hak yang berasal dari hasil kreasi suatu kemampuan daya pikir manusia yang diekspresikan kepada khalayak umum dalam berbagai bentuknya, yang memliki manfaat serta menunjang bagi kehidupan manusia, juga mempunyai nilai ekonomi. Bentuk nyata dari kemampuan karya intelektual manusia bisa berbentuk teknologi, ilmu pengetahuan, maupun seni dan sastra.[3]
Kemampuan intelektual manusia yang berupa daya cipta, rasa dan karsanya menghasilkan karya-karya di bidang ilmu pengetahuan, seni, dan teknologi. Karya-karya intelektual dilahirkan dengan pengorbanan waktu bahkan biaya dan dengan pengorbanan ini menjadikan karya yang dihasilkan mempunyai nilai ekonomi yang melekat sebagai konsekuensi menjadi kekayaan (property), bilamana karya-karya tersebut diperoleh manfaat ekonomi yang bisa dinikmati. HKI baru muncul bilamana hasil intelektual manusia tersebut telah membentuk sesuatu yang dapat dilihat, didengar, dibaca maupun digunakan secara praktis
Hak atas kekayaan yang timbul karena, atau lahir dari kemampuan intelektual manusia. Atas hasil kreasi tersebut , masyarakat beradab mengakui bahwa yang menciptakan boleh mengusai untuk tujuan yang menguntungkannya. Kreasi sebagai milik berdasarkan postulak dalam arti yang seluas-luasnya juga meliputi milik yang tak terwujud.[4]Hak kekayaan intelektual sebagai obyek pemilikan dikontruksikan sebagai “benda tak terwujud” atau “benda tak bertubuh” (intangibles,onlichaamelijk) yang dihasilkan dari benak manusia. Meskipun demikian obyek pemilikan tersebut diabtrasikan sebagai semacam “benda bergerak” (moveable) yang bisa dipindah tangankan dengan mudah.[5] 
Hak  kekayaan intelektual bersifat eksklusif dan mutlak, artinya bahwa hak tersebut dapat dipertahankan terhadap siapapun dan yang mempunyai hak tersebut dapat menuntut terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh siapapun. Pemegang hak atas kekayaan intelektual juga mempunyai hak monopoli, yaitu hak yang dapat dipergunakan dengan melarang siapapun tanpa persetujuannya membuat ciptaan/penemuan nya ataupun menggunakannya.[6]
Secara filosofi konsep kepemilikan HKI tidak bisa dilepaskan pemikiran John Locke yang mengatakan setiap manusia memiliki dirinya sendiri sebagai miliknya. Tak seorangpun memiliki hak atas pribadi orang lain kecuali pemiliknya sendiri, termasuk hasil kerja tubuhnya dan karya tangannya[7] serta panca inderanya. Artinya setiap orang secara alamiah mempunyai hak untuk memiliki segala potensi yang melekat pada diri pribadinya dan seluruh kerja yang dihasilkannya.
Intinya adalah bahwa manusia mempunyai hak memiliki ataupun minimal yang ada dalam dirinya termasuk akal budinya, buah pikiran, ide atau gagasan serta kepekaan terhadap lingkungan yang kemudian diolah dengan memadukan, memisahkan, mengurangi atau menambah apa yang sudah ada di alam dan menyatakan secara bertanggung jawab dialah sang empunya gagasan
Jadi disini HKI lahir dari hak alamiah yang secara instrinsik ada sejak manusia lahir sehingga HKI merupakan salah satu bagian dari hak azasi manusia (human rights) dan pengaruh hukum kodrat John Locke ini mempengaruhi hukum Perancis yang melahirkan doktrin hak moral yaitu hak pribadi yang dimiliki oleh seseorang pencipta ataupun penemu untuk mencegah terjadinya penyimpangan atas karya ciptanya ataupun temuannya dan untuk mendapatkan pengormatan atau pengharagaan atas karya tersebut. Doktrin hak moral kemudian juga diadopsi dalam pasal 6 Konvensi Bern 1886. Pengakuan HKI sebagai salah satu bentuk hak azasi manusia termuat dalam pasal 27 Declaration Universal of Human Rights 1948 yang berbunyi “Everyone has right to the protection of the moral and material interest resulting from any scientific, literary or artistic production of which he (sic) is the author”
Lebih jauh lagi filosofi rezim HKI adalah alasan ekonomi. Bahwa individu telah mengorbankan tenaga, waktu, pikiran dan biaya demi sebuah karyaatau temuan yang berguna bagi kehidupan. Rasionalitas untuk melindungi modal investasi tersebut mesti dibarengi dengan pemberian hak eksklusif terhadap individu yang bersangkutan agar menikmati secara eksklusif hasil olah pikirnya. Dasar pemikiran tersebut sudah ada sejak filusuf Yunani Aristoteles dengan teori keadilannya. Bahwa seseorang mempnyai hak untuk memperoleh imbalan atas jerih payah yang dikerjakannya atau dikenal dikenal dengan keadilan disributif. Falsafah ini dalam konteks HKI melahirkan reward theory, recovary theory, incentive theory, dan public benefit theory yang mendalilkan bahwa apabila individu-individu yang kreatif di beri insentif berupa hak eksklusif, maka hal ini akan merangsang individu-individu lain untuk berkreasi. Artinya hukum menjamin pemilik memperoleh manfaat ekonomi dari penggunaan karya cipta temuannya mendorong masyarakat untuk menghasilkan kreatifitas.
Konsep kepemilikan HKI yang berasal dari Eropa berbeda dengan konsep kepemilikan kreatifitas intelektual yang mendasarkan pada  pemikiran sebagian besar masyarakat Indonesia. Peradaban bangsa Indonesia sejak berabad-abad yang lalu sudah mengenal karya-karya seni yang sangat monomental seperti candi Borobudur, Prambanan, tari-tarian, ceritera rakyat yang berasal dari pelbagai suku bangsa di Indonesia dan kekayaan atas pengetahuan tentang obat-obatan dari sumber hayati (genetic resources) atau di Jawa sebagai pengetahuan tentang jamu (istilah popular sekarang obat herbal) sudah tidak diragukan lagi. Kreativitas tersebut oleh para seniman / kreatornya dan oleh penemu pengetahuan tersebut tidak bermaksud untuk dimiliki monopoli atau mengklaim sebagai milik pribadi.
Masyarakat asli Indonesia pada umumnya tidak mengenal konsep yang bersifat abstrak termasuk konsep hak atas kekayaan intelektual, masyarakat adat Indonesia tidak pernah membayangkan bahwa buah pikiran (intellectual creation) adalah kekayaan (property).[8] Cara pandang orang Indonesia tentang kebendaan adalah bersifat kongkrit. Orang Indonesia tidak mengenal tentang kebendaan sebagaimana konsep zakelijke rechten dan persoonlijke rechten yang dipunyai orang Barat.Dalam Adat hanya mengakui produk (in perse) yang dihasilkan oleh pencipta dan si pencipta hanya boleh boleh mengklaim kepemilikan produk hasil ciptaannya dan Adat tidak membolehkan pencipta untuk mengklaim ide intelektual (HKI) yang mendasar pembuatan produk karena HKI adalah tidak riel / kongkret.[9]
Kosmologi masyarakat Indonesia menempatkan seorang individu tidak dipisahkan dari lingkungan yang mengitarinya, masyarakat, alam dan bahkan kekuatan gaib.[10] Fritjof Capra menyebutnya sebagai pandangan tradisi mistis.[11]Adat tidak mengakui kepemilikan yang bersifat monopoli karena individu serta segala yang dimilikinya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari lingkungan yang mengitarinya.[12] Hal ini berakibat bahwa seorang individu harus mempertanggungjawabkan penggunaan datau pengekploitasian hak miliknya kepada masyarakat, alam dan kekuatan gaib yang mengitarinya. Latar belakang dapat menjelaskan mengapa pada masa penjajahan Belanda hak monopoli atas karya intelektual tidak dikenal dalam masyarakat Indonesia. Karena karya intelektual tidak hanya dibutuhkan oleh individu pemiliknya tapi juga komunitas dimana pemilik karya tersebut tinggal.[13]
Kosmologi masyarakat Indonesia menempatkan seorang individu tidak dipisahkan dari lingkungan yang mengitarinya, masyarakat, alam dan bahkan kekuatan gaib.[14] Fritjof Capra menyebutnya sebagai pandangan tradisi mistis.[15]Adat tidak mengakui kepemilikan yang bersifat monopoli karena individu serta segala yang dimilikinya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari lingkungan yang mengitarinya.[16] Hal ini berakibat bahwa seorang individu harus mempertanggungjawabkan penggunaan datau pengekploitasian hak miliknya kepada masyarakat, alam dan kekuatan gaib yang mengitarinya. Latar belakang dapat menjelaskan mengapa pada masa penjajahan Belanda hak monopoli atas karya intelektual tidak dikenal dalam masyarakat Indonesia. Karena karya intelektual tidak hanya dibutuhkan oleh individu pemiliknya tapi juga komunitas dimana pemilik karya tersebut tinggal.[17]
Hal ini berbeda dengan doktrin moral diadopsi oleh rezim HKI dengan kepemilikan eksklusif untuk memberikan perlindungan terhadap individu pemilik HKI agar hak-haknya tidak dilanggar oleh orang lain. Jadi jelas sekali bahwa perlindngan HKI mengadopsi gagasan yang mengedepankan hak-hak individu atau dengan kata lain perlindungan HKI mengadopsi paham individulis. Paham ini memenerima sesorang itu memiliki harga perseorangan yang kuat, kalau hendak dikatakan mutlak, Seseorang atau individu diyakini memiliki harga moral yang intrinsik. Berdasarkan keyakinan tersebut, maka paham perseorangan mendorong otonomi seseorang dalam berpikir dan bertindak.[18] Sebagai konsekuensiya maka eksklusifitas diri sebagai invidu (individual privacy) mendapat tempat dan diakui sebagai penting. Seseorang benar-benar otono karena dilepaskan dengan hubungan specifik dengan orang. Tujuan yang ingin dicapai dicapai berpusat pada pengembangan diri sendiri.[19] Kepemilikan ekskusifnya dapat membawa konsekuensi pemilik HKI mengeksploitasi manfaat ekonomi dari hasil karya ataupun temuannya sebesar-besarnya tanpa gangguan pihak lain selama masa perlindungan dan menjadi pembatasannya hanyalah selama tidak merugikan orang lain.

B.     Kebijakan Perlindungan HKI di Indonesia
Di Indonesia sistem hukum HKI tersebut sudah muncul sejak Pemerintah Kolonial Hindia Belanda yaitu dengan dikeluarkannya peraturan HKI yang meliputi Auteurswet 1912 Stb.1912 No.600 bagi perlindungan Hak Cipta, Reglement Industriele Eigendom Kolonien [20]Stb.1912 No.545 jo. Stb.1913 No.214 mengenai pelindungan hak merek, dan Octrooweit 1910 S.No.33 yis S.11-33, S.22-54 mengenai perlindungan hak Paten[21].  Seperti diketahui bahwa pemerintah Hindia Belanda menerapkan potlitik pemisahan pemberlakuan (politik segregasi) hukum maka ketentuan hukum tersebut hanya berlaku untuk orang golongan Eropa di Indonesia dan masyarakat pribumi berlaku ketentuan hukum Adat yang tidak mengenal konsep kepemilikan tidak terwujud.  Setelah kemerdekaan Hukum Belanda diadopsi pemerintah Indonesia karena Pasal II Peraturan Peralihan UUD 1945 yang menyebutkan : “Bahwa Badan Negara dan Peraturan yang masih ada terus berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut UUD ini”. Setelah itu praturan hukum HKI terus berlaku sama sekarang.[22]
Pada tahun 1986 sejak muncul issu HKI dalam perundingan GATT dalam Putaran Uruguay  pemerintah Indonesia telah membentuk Tim Keppres 34 yang bertugas menyiapkan rancangan undang undang HKI. Rancangan undang undang tersebut menyesuaikan issue HKI yang berkembang dalam Putaran Uruguay dan mengimplementasikan TRIPs Agreement. Beberapa undang-undang telah di hasilkan yaitu Undang Undang RI nomor 30 tentang Rahasia Dagang, Undang Undang Nomor 31 tentang Disain Industri, Undang Undang nomor 32 tahun tentang Disain Tata Letak Sirkit Terpadu, Undang Undang nomor 33 tahun 2000 Varietas Tanaman, Undang Undang nomor 14 tahun 2001 tentang  paten (merupakan perubahan dari UU no 6 th. 1989, UU no 13 tahun 1997) Undang Undang nomor 15 tahun 2001 merek (pengganti UU no. 19 tahun 1992 dan UU no. 14 tahun 2001) dan Undang Undang nomor 19 tahun 2002 tentang Cipta.(pengganti UU no. 7 tahun 1987 dan UU no. 12 tahun 1997).
Melalui Undang Undang No 7 tahun 1994 tentang Ratifikasi Agreement Establishment The World Trade Organization, maka pemerintah Indonesia mempunyai kewajiban untuk mengimplementasikan ketentuan TRIPs Agreement ke dalam perundang undangan nasionalnya. Beberapa kali revisi yang dilakukan  terhadap perundang-undangan HKI diatas merupakan upaya untuk menyesuaikan terhadap  ketentuan perlindungan HKI yang ada di dalam TRIPs Agreement.
Secara substansi ketentuan perundangan-undangan HKI tersebut,  secara garis besar mengandung prinsip-prinsip tersebut dibawah ini :
-       Prinsip kepemilikan HKI sebagai hak eksklusif artinya sistem hukum kekayaan intelektual memberikan hak yang berifat khusus kepada orang yang terkait langsung dengan kekayaan intelektual yang dihasilkan. Melalui hak tersebut,pemegang hak dapat mencegah orang lain untuk membuat, menggunakan atau berbuat tanpa ijin. Kepemilikan HKI dalam bentuk hak paten, hak cipta, hak merek, hak disain industri, hak atas sirkit terpadu, hak varitas tanaman dan hak rahasia dagang.
-       Prinsip perlindungan terhadap karya intelektual diberikan oleh negara berdasarkan pendaftaran artinya perlindungan hukum terhadap karya intlektual mensyaratkan adanya kewajiban melakukan pendaftaran. Tanpa melakukan pendaftaran penghasil karya intelektual tidak dapat menuntut pihak lain yang menggunakan karya intlektualnya (kewajiban mendaftarkan tidak berlaku pemeang hak cipta dan pemegang hak rahasia dagang)
-       Prinsip pendaftaran bersifat teritorial, artinya perlindungan hukum hanya diberikan di wilayah teritorial dimana karya intelektual di daftarkan.
-       Prinsip pemisahan benda secara fisik dengan karya intelektual yang terkandung di dalam benda tersebut, artinya dalam sistem hukum kekayaan intelektual pengusaan benda secara fisik tidak secara otomatis memiliki hak eksklusif atas benda tersebut karena kepemilikan karya intelektual yang melekat pada benda tersebut masih milik penciptanya. Prinsip ini berbeda dengan prinsip hukum  atas benda berwujud (tangible) penguasaan secara fisik dari sebuah benda sekaligus membuktkan yang sah atas benda tersebut.[23]

Kebijakan pengaturan perlindungan HKI ini menunjukkan bahwa politik hukum pembentukan beberapa undang-undang tersebut hanya semata-mata berdasarkan implementasi TRIPs Agreement atau dengan kata lain sekedar memenuhi kebutuhan tatanan globalisasi, bukan berdasarkan kebutuhan internal bangsa Indonesia sendiri dan hal ini terlihat dari beberapa konsideran beberapa undang-undang diatas.[24]
Penyusunan perundang-undangn HKI Indonesia dan politik hukum perlindungan HKI hanya sekedar bersandar implementasi konvensi-konvensi internasional di bidang HKI tentu saja bukan mendasarkan ide dasar, nilai-nilai, norma yang bersumber dari masyarkat Indonesia sendiri, sebab masyarakat Indonesia sudah terbiasa dengan nilai-nilai yang bercorak komunal dan religius/spiritual berbeda dengan filosofi HKI yang bersumber konvensi –konvensi internasional yang individualis dan kapitalis. Apa yang dilakukan oleh para pembuat kebijakan dalam sistem hukum HKI sama dengan mentransfer sistem hukum HKI yang berasal dari masyarakat Barat ke dalam sistem hukum Indonesia, padahal menurut Robert Seidman dengan teorinya “the Law of the non transferability of law”  artinya hukum tidak dapat ditransfer begitu saja dari suatu masyarakat ke masyarakat lainnya. Mungkin saja perangkat hukum asing itu efektif di masyarakatnya sendiri, karena antara perangkat hukum asing itu dengan kebutuhan masyarakatnya sudah selaras, antara hukum dengan pemikiran warga masyarakatnya serasi, namun belum tentu cocok untuk diterapkan pada masyarakat lain, yang berbeda perangkat sosialnya, berbeda nilai-nilai sosial yang dianutnya, berbeda stratifikasi sosialnya, berbeda taraf pemikiran warga masyarakatnya. Dalam konteks pemikiran Seidman sistem hukum HKI berdasarkan ketentuan TRIPs Agreement yang berasal dari ide dasar sistem hukum dan tradisi masyarakat Eropa dan Amerika yang mempunyai perangkat sosial, ekonomi, politik dan nilai-nilai dan stratafikasi sosial (individualis dan kapitalis)  dengan kondisi begitu tidak bisa ditransfer ke dalam sistem hukum Indonesia yang mempunyai basis kultural yang berbeda (spiritual dan komunal).
Dapat dikatakan juga bahwa penyusunan perundang-undangan HKI di Indonesia merupakan tindakan transplantasi Hukum Asing ke dalam sistem hukum nasional. Sebagaimana transplantasi organ tubuh manusia, jika cocok dengan tubuh penerima, maka tranplantsi akan berdampak menyembuhkan. Sebaliknya jika organ yang ditraplantasikan tidak cocok bagi tubuh penerima akan berakibat fatal. Demikian pula halnya dalam tranplantsi hukum HKI dalam sistem hukum nasional Indonesia. Jika hukum asing tersebut cocok dengan sistem hukum yang berlaku di Indonesia, maka akan membawa manfaat bagi bangsa Indonesia. Sebaliknya jika tidak cocok, maka transplantsi akan sangat merusak sistem hukum Indonesia secara keseluruhan.[25]
Bahkan kemungkinan transplantasi tersebut akan membawa faktor kriminalisasi perilaku masyarakat yang sebelumnya merupakan perilaku yang biasa menjadi perilaku yang melanggar hukum (tindak pidana), seperti perilaku masyarakat yang membuat produk berdasarkan disain yang sudah ada sebelumnya. [26] Gambaran tentang kasus tindak pidana HKI semakin meningkat sejak pemberlakukan sistem hukum HKI di Indonesia menjadi bukti. Disamping integrasi masyarakat Indonesia terhadap sistem hukum HKI dapat dilihat  prosentasi minat masyarakat untuk memperoleh HKI masih sangat kecil[27] menunjukkan bahwa sistem hukum HKI yang individualistik dan monopolistik tidak berakar pada sistem sosial (rooted ofsocial life) masyarakat Indonesia yang komunal dan spiritual.

DAFTSR PUSTAKA
Agus Sarjono, Membumikan HKI di Indonesia, Nuasa Aulia, 2009

Agus Sardjono, Pengetahuan Tradisional; Studi Mengenai Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual Atas Obat-obatan, (Jakarta: Pascasarjana Fak. Hukum UI, 2004

Ali Afandi, Kedudukan dan Pengaruh Hukum Asing dalam Tata Hukum di Indonesia, Universitas Gajahmada, Yogja, 1971

Anton Christop :”Indonesia Intellectual Property Law in Context” dalam Taylor, Veronica, Asian Laws Australia Eyes , LBC Information Service, 1997

Bambang Kesowo : Posisi dan Arti Penting HaKI dalam Perdagangan Internasional, Jakarta 1993,

Elias M. Awad, System and Analilysis and Design, Richard D Irwin, Homewood, Illionis, 1979

Esmi Warassih ; Pranata Hukum: Sebuah Telaah Sosilogis, PT. Suryandaru Utama, Semarang, 2005.

Fritjof Capra: The Turning Point, Science, Society and Rising Culture, Bantam Book New York, Penerjemah M. Thoyibi, (Titik Balik Peradaban, Saint, Masyarakat dan Kebangkitan Kebudayaan), Cetakan ke 7, Penerbit Jejak, Yogjakarta 2007

Frederick Abbot, et.al, The International Intellectual Property System: Commentary and Materials, Part One, (Kluwer Law International, 1999

Glenn R. Butterton, Norms and Property in the Middle Kingdomi, (Wisconsin Law Journal, Vol. 15, No. 2, 1997)
Group Expert On The Protection of Exspression of Folklore by Intellectual Property 1985
FX. Aji Samekto, Justice Not For All, Kritik Terhadap Hukum Modern dalam Perspektif Studi Hukum Kritis, Genta Press, Yogjakarta 2008

Hamilton V. Lee &  Sanders, Yoseph, Everyday Justice, Responsibility and The Individual in Japan and United State, New Haven, Yale University Press, 1992

Heliantoro, Undang Undang Paten Berwawasan Nasional dan Internasional, Hukum dan Pembangunan no. 4 tahun 1987

I Ketut Gobyah, Berpijak pada Kearifan Lokal, http//www.balipos.co.id
Lawrence M. Friedman, American Law, An Introduction, W.W. Norton and Company, New York, 1984

Mahadi, dalam Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights), (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004)

Martin Khor Kok Peng : Imperalisasi Ekonomi Baru, Putaran Uruguay dan Kedaulatan Dunia Ketiga, Gramedia Pustaka Utama, Konpalindo

Satjipto Rahardjo, Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya, Cetakan II, Genta Publishing, Yogjakarta 2009

Satjipto Rahardjo, Bahan  Mata Kuliah Teori Hukum. Program PDIH UNDIP, tahun 2009

R. Soepomo, Bab-bab tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, 1982

Surahman,http//www.suarapembaharuan.com/new/199711/21119/opED/opini02/opini02html, 1997

Tim Lindsey,BA,LLB,BLitt,Phd,rpf.Damian Edy, SH,Dr,Prof.Butt,Simon, LLB dan Utomo, Tomi Suryo,SH,LLM : Hak kekayaan Intelektual  Suatu Pengantar, Asian Law Group Ltd berkerjasama dengan Penerbit Almni. Bandung 2002

Ter Haar :mendifinisikan hal ini sebagai :”the non-material environment, the external environment and a part of material the world”, Lihat Ter Haar :Adat Law in Indonesia, 1948

Tomi Suryo Utomo, Hak Kekayaan intelektual Di Era Global, Sebuah Kajian Kontemporer, Graha Ilmu, Yogjakarta 2009UNTAD-ICTSD, Resource Book on TRIPs and Development, Cambrige University Press, 2005

Roscoe Pound, Pengantar Filsafat Hukum (terjemahan Drs. Muhammad Radjab), Cetakan Ketiga, Jakarta, Bharat Karya Aksara, 1982,




* Disampaikan  pada kegiatan Stadium Generale  : Intellectual Property and Competitive Growth, The Challenge for Indonesia’s Next Generation, diselenggarakan oleh Central Java Center For WTO & ASEAN Studies Fakultas Hukum UNDIP dengan Micrososf Corporation Indonesia, Seamarang 13 Maret 2014
[1] TRIPs Agreement merupakan salah satu dari 15 Persetujuan dari The Final Act Embodying the Result of the Uruguay Round of Multilateral Trade Negotiations bersama Agreement Establishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia)

[2]     Bambang Kesowo, Posisi dan Arti Penting HaKI dalam Perdagangan Internasinal,, halaman 3
[3]     Muhammad Djumhana,R.Djubaedillah, Op Cit halaman 16. Bandingkan dengan pendapat David I.Bainbridge:Computer and The Law, London Publishing, Cetakan I 1990 halaman 7 : Itellectual property is the collective name given tolegal rights which protect the product of human intellec. Dikatakan juga oleh John F. William, Manager’s Duide to Patent,Trade Marks & Copyright, London Kogan Page, Cetakan ke I, 1996, halaman 11 : The term intellectual property seem to be the best avaiable to cover that body of legal rights which arise from mental and artistic endeavour.
[4]     Roscoe Pound, Pengantar Filsafat Hukum (terjemahan Drs. Muhammad Radjab), Cetakan Ketiga, Jakarta, Bharat Karya Aksara, 1982, halaman 118.
[5]     Oentoeng Soerapati, Hukum Kekayaan Intelektual dan Alih Teknologi, Fakulas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana, Cetakan I, Salatiga, 1999, halaman 1
[6]     Mr.N.E.Algra,et.al, Mula Hukum,  Cetakan Pertama, Jakarta, Bina Cipta, 1983, halaman 210.
[7] Thum Nikolus, Intellectual Property Rights, National Systhem and Harmonisation in Europe, New York, Physica_Verl, tahun 2000, halaman 5
[8] Agus sarjono, Pengetahuan Tradisional; Studi Mengenai Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual Atas Obat-obatan, Jakarta: Pascasarjana Fak. Hukum UI, 2004,  hal 72
[9] Heliantoro, Undang Undang Paten Berwawasan Nasional dan Internasional, Hukum dan Pembangunan no. 4 tahun 1987. hal. 372
[10] Ali Afandi, Kedudukan dan Pengaruh Hukum Asing dalam Tata Hukum di Indonesia, Universitas Gajahmada, Yogja, 1971, hal. 7-8. Bandingkan pendapat Sathipro Rahardjo : Masyarakat yang berwatak kontekstual, maka di dasar masyarakat tersebut terletak filsafat holism. Disini terdapat kecenderungan untuk tidak memisahkan (separte out) seseorang dari konteks sosialnya. Segalanya lalu menjadi socio centric. Kita akan melihat cara-cara seseorang bertindak dalam konteks atau keseluuhan. Berbeda dengan dengan individualisme dimana seseorang otonom, maka dalam kontekstualime kita menjumpai seseorang sebagai berada dalam keterhubungan dengan orang-orang lain (interconnected individuals)
[11] Fritjof Capra: The Turning Point, Science, Society and Rising Culture, Bantam Book New York, Penerjemah M. Thoyibi, (Titik Balik Peradaban, Saint, Masyarakat dan Kebangkitan Kebudayaan), Cetakan ke 7, Penerbit Jejak, Yogjakarta 2007, hal. 323-324 mengatakan :titik pandang sistem, baik determinisme maupun kebebasan merupakan konsep yang relatif yaitu adanya kebergantungsn pada linkungan melalui interkasi yang terus menerus, aktifitas akan dibentuk oleh pengaruh lingkungannya. Konsep kehendak bebas yang relatif ini tampak konsisten dengan pandangan-pandang tradisi mistis yang mendorong para pengikutnya untuk melampui pengertian diri yang terpisah yang terpisah dan sadar bahwa kita merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kosmos yang melingkupi kita. Tradisi-tradisi adalah untuk menumpahkan sepenuhnya seluruh ego dan dalam pengalaman mistis muncul dalam totalitas kosmos
[12] Ter Haar :mendifinisikan hal ini sebagai :”the non-material environment, the external environment and a part of material the world”, Lihat Ter Haar :Adat Law  in Indonesia, 1948, hal. 53
[13] Afifah Kusumadra: Konflik Hukum HKI dan Hukum Adat Di Indonesia, Jurnal Arena no 12 tahun 2000, FH UNBRA, hal 5
[14] Ali Afandi,Kedudukan dan Pengaruh Hukum Asing dalam Tata Hukum di Indonesia, Universitas Gajahmada, Yogja, 1971, hal. 7-8. Bandingkan pendapat Sathipro Rahardjo : Masyarakat yang berwatak kontekstual, maka di dasar masyarakat tersebut terletak filsafat holism. Disini terdapat kecenderungan untuk tidak memisahkan (separte out) seseorang dari konteks sosialnya. Segalanya lalu menjadi socio centric. Kita akan melihat cara-cara seseorang bertindak dalam konteks atau keseluuhan. Berbeda dengan dengan individualisme dimana seseorang otonom, maka dalam kontekstualime kita menjumpai seseorang sebagai berada dalam keterhubungan dengan orang-orang lain (interconnected individuals)
[15] Fritjof Capra: The Turning Point, Science, Society and Rising Culture, Bantam Book New York, Penerjemah M. Thoyibi, (Titik Balik Peradaban, Saint, Masyarakat dan Kebangkitan Kebudayaan), Cetakan ke 7, Penerbit Jejak, Yogjakarta 2007, hal. 323-324 mengatakan :titik pandang sistem, baik determinisme maupun kebebasan merupakan konsep yang relatif yaitu adanya kebergantungsn pada linkungan melalui interkasi yang terus menerus, aktifitas akan dibentuk oleh pengaruh lingkungannya. Konsep kehendak bebas yang relatif ini tampak konsisten dengan pandangan-pandang tradisi mistis yang mendorong para pengikutnya untuk melampui pengertian diri yang terpisah yang terpisah dan sadar bahwa kita merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kosmos yang melingkupi kita. Tradisi-tradisi adalah untuk menumpahkan sepenuhnya seluruh ego dan dalam pengalaman mistis muncul dalam totalitas kosmos
[16] Ter Haar :mendifinisikan hal ini sebagai :”the non-material environment, the external environment and a part of material the world”, Lihat Ter Haar :Adat Law in Indonesia, 1948, hal. 53
[17] Afifah Kusumadra: Konflik Hukum HKI dan Hukum Adat Di Indonesia, Jurnal Arena no 12 tahun 2000, FH UNBRA, hal 5
[18] Satjipto Rahardjo, Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya, Cetakan II, Genta Publishing, Yogjakarta 2009, hal. 60
[19] Hamilton V. Lee &  Sanders, Yoseph, Everyday Justice, Responsibility and The Individual in Japan and United State, New Haven, Yale University Press, 1992 dalam Sathipto Rahardjo, Ibid hal 60

[21] Budi santoso, Pengantar Hukum Kekayaan Intelektual, Pustaka Magister 2008, 29
[22] Afifah Kusumadra, HKI dalam Hukum  Adat Di Indonesia, Jurnal Arena Hukum nomor 12 tahun 2000,  hal 3
[23] Tomi Suryo Utomo, Hak Kekayaan intelektual Di Era Global, Sebuah Kajian Kontemporer, Graha Ilmu, Yogjakarta 2009, hal. 15
[24] Politik hukum terlihat dalam konsideran dari Undang Undang 30,31,32 tahun 2000 huruf a. bahwa untuk mewujudkan industri yang mampu bersaing dalam lingkup perdagangan nasional dan internasional perlu diciptakan iklim yang mendorong kreasi dan inovasi masyarakat dengan perlindungan hukum terhadap rahasia dagang sebagai bagian dari sistem HKI, (b) Bahwa Indonesia telah menandatangani Agreement Establishment The WTO yang mencakup TRIPs Agreement dengan UU no. 9 tahun 1994 maka perlu diatur ketentuan mengenai rahsia dagang, disan industri dan disain tata letak siskit terpadu. Konsideran huruf Undang Undang no. 14 tahun 2001 : (a)Bahwa sejalan dengan ratifikas Indonesia pada perjanjian internasional, perkembangan teknoloi, industri dan perdagang yang semakin pesat diperlukan Undang Undang Paten yang dapat memberikan yang wajar bagi inventor. Konsideran Undang Undang no. 15 tahun 2001; (a) bahwa di dalam era perdagangan global, sejalan dengan konvensi-konvensi internasional yang telah diratifiasi Indonesia, peranan merek menjadi sangat penting terutama dalam menjaga persaingan usaha yang sehat. Konsideran Undang Undang Undang Undang noor 19 tahun 200; (b) Bahwa Indonesia telah menjadi anggota berbagai konvensi/perjanjian internasional di bdang HKI pada umumnya dan Hak Cipta pada khususnyayang perlu pengejawantahan lebih lanjut dalam sistem ukum nasional (b) bahwa perkembang di bidang perdagang, industri dan investasi telah sedemian pesat sehingga perlu meningkatkan perlindungan bagi Pencipta dan Pemilk Hak Terkait dengan tetap mempertimbang kepentingan masyarakt luas
[25] Agus Sarjono, Pembangunan Hukum Kekayaan Intelektual, Antara Kebutuhan dan Kenyataan, dalam buku Membumikan HKI di Indonesia . Hal. 17
[26] Kemungkinan tersebut seperti statemen Konggress PBB ”..the importation of foreign cultural pattern which did not harmonize with the indiginouse cultural had criminogen effect”, Bahan kuliah  Mahasiswa Angkatan XV PDIH UNDIP mata kuliah Pembaharuan Hukum Nasional  oleh Prof.Dr. Nawawi Arief, tahun 2009
[27] Budaya hukum masyarakat Indonesia yang menunjukkan integrasi masyarakat dengan sistem hukum kekayaan intelektual  salah satunya dapat digambarkan  melalui  perilaku masyarakat dalam memperoleh HKI . Data di Kantor Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Departemen RI di Jakarta untuk paten sampai bulan Nopemeber 2009 jumlah pendaftar hak paten 67.149 ( dengan komposisi 64.025 untuk pemilik asing dan hanya 3.134 pemilik lokal). Jumlah pendaftar  hak merek kurang lebih 600 ratus ribuan.  Jumlah tersebut sangat kecil dibandingkan dengan pelaku usaha di Indonesia yang jumlah 49.8 juta.  Disamping itu semakin meningkatnya kasus sengketa HKI di Pengadilan dan banyaknya iklan somasi-somasi pelanggaran merek di koran-koran menunjukkan gambaran budaya hukum masyarakat terkait sistem hukum kekayaan intelektual.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar