Kamis, 03 April 2014
PRISMATIKA HUKUM
SEBAGAI DASAR PEMBANGUNAN
HUKUM DI
INDONESIA BERDASARKAN PANCASILA
(Kajian
terhadap Hukum Kekayaan Intelektual)
Oleh:
Kholis Roisah, SH.MHum
Abstract
The term of “prismatika” came from the concept 'Prismatic Society' Fred W. Riggs. Prismatika law is a unique legal values, which distinguishes the Indonesian legal system with other legal systems that is law of Pancasila. Option between the two concepts of individualism and communalism understood as the nature of law that will influence the politics of state law will be determined by the interest value in prismatika law. The consept of prismatika law related the development of Indonesian law is the relationship between law and society, namely the integration of law as an too of social change and law as a mirror of society. Prismatika concept of law as the law of the development IPR law paradigm based on Pancasila, IPR regulations that should be in balance IPR moral doctrines such as the value of respect for the work of others, the value of honesty and fairness, not to imitate and moral values rooted in Indonesian society that communality and spirituality value as part of the Indonesian wisdom (local wisdom). Local wisdom can be regarded as a reflection of the customs value in a society (living law) and the value of respect for other people's work is expected to take to encourage peoples to be more creative and innovative to produce their works and inventions in the prismatika law context can be used as a tool for change against the culture which is reflected in the imitate behavior to be honest and respect other people's work
The term of “prismatika” came from the concept 'Prismatic Society' Fred W. Riggs. Prismatika law is a unique legal values, which distinguishes the Indonesian legal system with other legal systems that is law of Pancasila. Option between the two concepts of individualism and communalism understood as the nature of law that will influence the politics of state law will be determined by the interest value in prismatika law. The consept of prismatika law related the development of Indonesian law is the relationship between law and society, namely the integration of law as an too of social change and law as a mirror of society. Prismatika concept of law as the law of the development IPR law paradigm based on Pancasila, IPR regulations that should be in balance IPR moral doctrines such as the value of respect for the work of others, the value of honesty and fairness, not to imitate and moral values rooted in Indonesian society that communality and spirituality value as part of the Indonesian wisdom (local wisdom). Local wisdom can be regarded as a reflection of the customs value in a society (living law) and the value of respect for other people's work is expected to take to encourage peoples to be more creative and innovative to produce their works and inventions in the prismatika law context can be used as a tool for change against the culture which is reflected in the imitate behavior to be honest and respect other people's work
Key word:
Primatika , IPR law, Pancasila
PENDAHULUAN
Hukum prismatik merupakan tata nilai
hukum yang khas, yakni yang membedakan sistem hukum Indonesia dengan sistem
hukum lainnya sehingga muncul istilah hukum Pancasila yang jika dikaitkan
dengan literatur tentang kombinasi antara lebih dari satu pilihan nilai sosial
disebut sebagai pilihan nilai prismatik yang karenanya dalam konteks hukum
dapat disebut sebagai hukum prismatik. Konsep Prismatik merupakan kombinasi
atas nilai sosial paguyuban dan nilai sosial patembayan. Dua nilai sosial ini
saling mempengaruhi warga masyarakat, yakni kalau nilai sosial paguyuban lebih
menekankan pada kepentingan bersama dan nilai sosial patembayan lebih
menekankan kepada kepentingan dan kebebasan individu. Nilai prismatik diletakan
sebagai dasar untuk membangun hukum yang penjabarannya dapat disesuaikan dengan
tahap-tahap perkembangan sosial ekonomi
masyarakat yang bersangkutan. Nilai-nilai khas inilah yang membedakan sistem
hukum Indonesia dengan sistem hukum lainnya sehingga muncul istilah hukum Pancasila
yang jika dikaitkan dengan literatur tentang kombinasi antara lebih dari satu
pilihan nilai sosial, disebut sebagai pilihan nilai prismatik yang karenanya
dalam konteks hukum dapat disebut sebagai hukum prismatik.[1]
Dan istilah prismatik itu sendiri berasal Fred W. Riggs terkait konsep “prismatic
Society”.[2]
Ada empat hal supaya prismatika hukum
dapat diwujudkan, pertama, Pancasila memadukan unsur yang baik dari paham
Individualisme dan kolektivisme. Kedua, Pancasila mengintegrasikan negara hukum
yang menekankan pada civil law dan kepastian hukum serta konsepsi negara hukum
the rule of law yang menekankan pada common law dan rasa keadilan. Ketiga,
Pancasila menerima hukum sebagai alat pembaharuan masyarakat (law as tool of
social enginering) sekaligus hukum sebagai cermin ras keadilan yang hidup dalam
masyarakat (living law). Keempat, Pancasila menganut paham relegious nation
state, tidak mengendalikan agama tertentu (karena bukan negara agama), tetapi
juga bukan hampa agama.Di sini negara harus melindungi semua pemeluk agama
tanpa diskriminasi.
Prismatik hukum antara dua konsep
individualisme dan komunalisme dipahami dalam watak hukum yang akan
mempengaruhi politik hukum suatu negara akan sangat ditentukan oleh pilihan
nilai kepentingan, yakni apakah akan mementingkan kepentingan perorangan ataukah
akan memihak kepada kepentingan bersama. Dengan kata lain materi hukum harus meliputi aturan baik tertulis maupun
tidak tertuilis yang berlaku dalam penyelenggaraan segenap dimensi kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, dan bersifat mengikat bagi semua
penduduk. Memang
fungsi harus mendukung stabilitas nasional yang mantap dan dinamis dan produk
hukum diperlukan untuk mendukung tugas umum pemerintahan dan pembangunan
nasional. Rumusan ini sangat penting demi kelancaran dan kesuksesan pembangunan
ekonomi yang sangat mengesankan selama ini yang memang didukung oleh fungsi
hukum yang demikian, namun sebagai bandingan perlu juga disebutkan di sini,
bahwa perumusan seperti oleh sebagaian pakar dianggap terlalu konservatif
karena hukum lebih diberi fungsi instrumental dari pada sentral. [3]
Peletakan hukum sebagai instrumen dan
bukan sebagai sentral dalam masyarakat dan bernegara kurang sesuai dengan
prinsip negara yang dianut oleh UUD 1945. Atau dengan kata lain bertentangan
dengan prismatik hukum. Sebab
hukum tidak dijadikan pengarah tetapi dijadikan sebagai instrumen pendukung
yang berfungsi sebagai pemelihara dan pengejar tujuan pembangunan yang telah
digariskan. Inilah pendapat bandingan, yang penting diketahui tanpa menaifkan
obsesi bahwa pembangunan ekonomi telah berhasil ditingkatkan dan hukum harus
memberi dukungan bagi obsesi tersebut.[4]
Watak hukum yang akan mempengaruhi
politik hukum suatu negara akan sangat ditentukan oleh pilihan nilai
kepentingan kemakmuran perseorangan ataukah kemakmuran orang banyak. Pembedaan
atas banyak atau sedikitnya pemenuhankepentingan itu didasarkan pada perspektif
ekonomi politik. Sementara itu dari perspektif teori sosial, bahkan dari sudut
pandang ideologi pembedaan itu didikotomikan atas paham indvidualisme liberal
(menekankan kebebasan individu) atau kapitalisme dan paham kolektivisme atau
komunisme (yang menekankan kepentingan bersama. Akan tetapi ada paham lain yang
disebut paham fanatik relegius.[5]Indonesia
menolak secara ekstrem kedua pilihan kepentingan dan ideologi tersebut,
melainkan mengambil segi-segi yang baik dari keduanya. Pancasila dan UUD 1945
mengakui hak-hak (termasuk hak milik) dan
kebebasan individu sebagai hak asasi, tetapi sekaligus meletakkan kepentingan
bersama di atas kepentingan pribadi atau kelompok.[6]
Konsep prismatika hukum dalam
pembangunan hukum Indonesia adalah hubungan antara hukum dan masyarakat, yakni
antara pemaduan hukum sebagai alat perubahan masyarakat dan hukum sebagai
cermin masyarakat. Hal ini sejalan dengan pendapat Mohtar Kusumaadmadja perlu
keseimbangan diantara keduanya yaitu hukum sebagai alat dan hukum sebagai
cermin budaya masyarakat; juga antara hukum sebagai alat untuk menegakkan
ketertiban yang sifatnya konservatif (memelihara ketertiban) dan hukum sebagai
alat untuk membangun (mengarahkan) masyarakat agar lebih maju. Hal ini sejalan dengan konsep “living law”
atau hukum yang hidup ditengah-tengah masyarakat oleh Eugen Erlich yang
mengatakan hukum positif yang baik dan efektif adalah hukumyang sesuai dengan “living
law” yakni yang mencerminkan nilai yang hidup dalam masyarakat.[7]
Konsepsi ini selain mencerminkan nilai yang hidup dalam masyarakat juga
menghendaki agar politik hukum nasional harus juga mempositifkan “living law”
tersebut, sekaligus alat pendorong dan mengarahkan kemajuan masyarakat.[8]
Berdasarkan
pemikiran diatas maka akan dibahas dalam makalah ini bagaimana konsep
prismatika hukum sebagai dasar pembangunan
hukum berdasarkan Pancasila, terutama dalam rangka pembangunan sistem
hukum kekayaan intlektual di Indonesia.
PEMBAHASAN
Di Indonesia sistem hukum HKI tersebut sudah muncul sejak
Pemerintah Kolonial Hindia Belanda yaitu dengan dikealuarkannya peraturan HKI
yang meliputi Auteurswet 1912 Stb.1912 No.600 bagi perlindungan Hak
Cipta, Reglement Industriele Eigendom Kolonien [9]Stb.1912
No.545 jo. Stb.1913
No.214 mengenai
pelindungan hak merek, dan Octrooweit 1910 S.No.33 yis S.11-33, S.22-54
mengenai perlindungan hak Paten[10]. Seperti
diketahui bahwa pemerintah Hindia Belanda menerapkan potlitik pemisahan
pemberlakuan (politik segregasi) hukum maka ketentuan hukum tersebut hanya
berlaku untuk orang golongan Eropa di Indonesia dan masyarakat pribumi berlaku
ketentuan hukum Adat yang tidak mengenal konsep kepemilikan tidak
terwujud. Setelah kemerdekaan Hukum
Belanda diadopsi pemerintah Indonesia karena Pasal II Peraturan Peralihan UUD
1945 yang menyebutkan : “Bahwa Badan Negara dan Peraturan yang masih ada terus
berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut UUD ini”. Setelah itu praturan
hukum HKI terus berlaku sama sekarang.[11]
Indonesia
sebagai negara salah satu negara yang menandatangani dan meratifikasi Establishment The World Trade Organization
Agreement yang mana TRIPs Agreement
merupakan salah satu persetujuan di dalamnya dengan Undang Undang nomor 7 tahun
1994. Sebagai konsekuensinya maka Indonesia dibebani kewajiban untuk
mengimplementasikan system HKI sesuai dengan TRIPs Agreement ke dalam hukum
nasional.
Beberapa
undang-undang telah dibuat dalam rangka mengimplementasikan dan menyesuaikan
dengan TRIPs Agreement yaitu Undang Undang RI nomor 30 tentang Rahasia Dagang,
Undang Undang Nomor 31 tentang Disain Industri, Undang Undang nomor 32 tahun
tentang Disain Tata Letak Sirkit Terpadu, Undang Undang nomor 33 tahun 2000
Varietas Tanaman, Undang Undang nomor 14 tahun 2001 tentang paten (merupakan perubahan dari UU no 6 th.
1989, UU no 13 tahun 1997) Undang Undang nomor 15 tahun 2001 merek (pengganti
UU no. 19 tahun 1992 dan UU no. 14 tahun 2001) dan Undang Undang nomor 19 tahun
2002 tentang Cipta.(pengganti UU no. 7 tahun 1987 dan UU no. 12 tahun 1997). Kesemua
ketentuan Undang-Undang tersebut mengadopsi secara utuh keseluruhan
prinsip-prinsip dasar perlindungan HKI berdasarkan ketetnuan TRIPs Agreement.[12]
Adopsi demikian merupakan konsekuensi dari penerapan prinsip full complaince TRIPs Agreement bagi
seluruh anggota WTO termasuk di Indonesia. Sedangkan politik hukum yang
tercermin dalam beberapa ketentuan Undang Undang HKI tersebut diatas hanya
semata-mata mengadopsi kecenderungan
nilai-nilai global terkait sistem perlindungan HKI.[13]
Secara substansi sistem HKI tersebut
mengandung prinsip-prinsip tersebut dibawah ini :
- Prinsip
kepemilikan HKI sebagai hak eksklusif artinya sistem hukum kekayaan intelektual
memberikan hak yang berifat khusus kepada orang yang terkait langsung dengan
kekayaan intelektual yang dihasilkan. Melalui hak tersebut,pemegang hak dapat
mencegah orang lain untuk membuat, menggunakan atau berbuat tanpa ijin.
Kepemilikan HKI dalam bentuk hak paten, hak cipta, hak merek, hak disain
industri, hak atas sirkit terpadu, hak varitas tanaman dan hak rahasia dagang.
- Prinsip
perlindungan terhadap karya intelektual diberikan oleh negara berdasarkan
pendaftaran artinya perlindungan hukum terhadap karya intlektual mensyaratkan
adanya kewajiban melakukan pendaftaran. Tanpa melakukan pendaftaran penghasil
karya intelektual tidak dapat menuntut pihak lain yang menggunakan karya
intlektualnya (kewajiban mendaftarkan tidak berlaku pemeang hak cipta dan
pemegang hak rahasia dagang)
- Prinsip
pendaftaran bersifat teritorial, artinya perlindungan hukum hanya diberikan di
wilayah teritorial dimana karya intelektual di daftarkan.
- Prinsip
pemisahan benda secara fisik dengan karya intelektual yang terkandung di dalam
benda tersebut, artinya dalam sistem hukum kekayaan intelektual pengusaan benda
secara fisik tidak secara otomatis memiliki hak eksklusif atas benda tersebut
karena kepemilikan karya intelektual yang melekat pada benda tersebut masih
milik penciptanya. Prinsip ini berbeda dengan prinsip hukum atas benda berwujud (tangible) penguasaan secara fisik dari sebuah benda sekaligus
membuktkan yang sah atas benda tersebut.[14]
- Prinsip
jangka waktu perlindungan terbatas, artinya sistem hukum kekayaan intelektual
memberikan perlindungan dalam jangka waktu tertentu (limitative), kecuali untuk hak merek bisa diperpanjang selama merek
masih digunakan dalam aktifitas perdagangan
- Prinsip yang lebih menonjolkan perlindungan hak
ekonomi daripada hak moral;
- Prinsip
hak terkait dalam ketentuan hak cipta
- Prinsip
perlindungan kekayaan intelektual yang berakhir menjadi public domain
Prinsip-prinsip tersebut diatas
menunjukkan bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam substansi hukum kekayaan
intelektual mengandung nilai yang
individualistik, monopilistik, materialistik dan kapitalistik. Individualistik karena sistem hukum kekayaan intelektual mengakui dan melindungi hasil karya intelektual (work dan
invention) sebagai kekayaan yang bisa menjadi hak milik individu; monopolistik
karena hukum memberikan hak eksklusif terhadap pemegang HKI
dalam jangka waktu tertentu mempunyai hak untuk mencegah pihak lain memakai
ataupun menggunakan hasil karya intelektualnya (untuk hak cipta masa perlindungan
sangat panjang) ; materialistik karena pemilik HKI dapat
mengekploitasi sebesar-besarnya manfaat ekonomi (keuntungan
materi) dari kepemilikan
HKInya tanpa gangguan dari pihak-pihak lain dan kapitalistik karena
system hukum HKI lebih banyak melindungi kepentingan pemilik modal sebagai
pemegang HKI daripada pencipta ataupun inventor.
Doktrin moral diadopsi oleh sistem hukum HKI tersebut dengan
kepemilikan eksklusif untuk memberikan
perlindungan terhadap individu pemilik HKI agar hak-haknya tidak dilanggar oleh
orang lain. Artinya pemilik HKI mempunyai hak monopoli hasil karya ataupun
invensinya selama masa perlindungan berlangsung. Jadi jelas sekali bahwa
perlindngan HKI mengadopsi gagasan yang mengedepankan hak-hak individu atau
dengan kata lain perlindungan HKI mengadopsi paham individulis. Paham ini memenerima sesorang itu memiliki
harga perseorangan yang kuat, kalau hendak dikatakan mutlak, Seseorang atau
individu diyakini memiliki harga moral yang intrinsik. Berdasarkan keyakinan
tersebut, maka paham perseorangan mendorong otonomi seseorang dalam berpikir
dan bertindak.[15]
Sebagai konsekuensiya maka eksklusifitas diri sebagai individu
(individual privacy) mendapat tempat dan diakui sebagai penting. Seseorang
benar-benar otonom karena dilepaskan dengan hubungan specifik dengan
orang. Tujuan yang ingin dicapai dicapai berpusat pada pengembangan diri
sendiri.[16] Kepemilikan eksklusifnya dapat membawa konsekuensi pemilik HKI
mengeksploitasi manfaat ekonomi dari hasil karyanya sebesar-besarnya tanpa
gangguan dari pihak lain selama masa perlindungan dan yang menjadi
pembatasannya hanyalah tidak merugikan orang lain.
Namun sesungguhnya doktrin diatas bersifat lebih luas daripada
sekedar melindungi individu pemilik HKI, karena doktrin itu dapat pula
diterapkan untuk melindungi pihak-pihak lain, termasuk masyarakat lokal atau
tradisional atas pengetahuan tradisionalnya.[17] Disamping
itu hak milik sekalipun memiliki fungsi sosial dan menjadi milik bersama
(komunal). Hal ini berarti bahwa masyarakat dapat memiliki hak alami atas suatu
ciptaan atau invensi yang dibuat baik oleh individu maupun melalui kerjasama
kelompok.
Doktrin
moral tersebut tentunya berbeda dengan kosmologi masyarkat Indonesia. Masyarakat asli Indonesia pada umumnya tidak mengenal
konsep yang bersifat abstrak termasuk konsep hak atas kekayaan intelektual,
masyarakat adat Indonesia tidak pernah membayangkan bahwa buah pikiran (intellectual creation) adalah kekayaan (property).[18]
Cara pandang orang Indonesia tentang kebendaan adalah bersifat kongkrit. Orang
Indonesia tidak mengenal tentang kebendaan sebagaimana konsep zakelijke rechten dan persoonlijke
rechten yang dipunyai orang Barat.Dalam Adat hanya mengakui produk (in
perse) yang dihasilkan oleh pencipta dan si pencipta hanya boleh boleh
mengklaim kepemilikan produk hasil ciptaannya dan Adat tidak membolehkan
pencipta untuk mengklaim ide intelektual (HKI) yang mendasar pembuatan produk
karena HKI adalah tidak riel / kongkret.[19]
Walaupun Adat hanya mengakui hak individu untuk memiliki
barang-barang, tapi Adat tidak membenarkan hak individu tersebut mengalahkan
kepentingan publik dan mengalah prinsip “barang berfungsi sosial. Norma komunal
masyarakat Indonesia yang berbeda dengan filosofis orang Barat bahwa Individu
sebagai pusat perlindungan hukum. Dalam masyarakat Indonesia yang menjadi fokus
perlindungan hukum bukan hak individu tapi hak komunitas[20].
Kosmologi masyarakat Indonesia menempatkan seorang
individu tidak dipisahkan dari lingkungan yang mengitarinya, masyarakat, alam
dan bahkan kekuatan gaib.[21]
Fritjof Capra menyebutnya sebagai pandangan tradisi mistis.[22]Adat
tidak mengakui kepemilikan yang bersifat monopoli karena individu serta segala
yang dimilikinya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari lingkungan yang
mengitarinya.[23] Hal ini
berakibat bahwa seorang individu harus mempertanggungjawabkan penggunaan datau
pengekploitasian hak miliknya kepada masyarakat, alam dan kekuatan gaib yang
mengitarinya. Latar belakang dapat menjelaskan mengapa pada masa penjajahan
Belanda hak monopoli atas karya intelektual tidak dikenal dalam masyarakat
Indonesia. Karena karya intelektual tidak hanya dibutuhkan oleh individu
pemiliknya tapi juga komunitas dimana pemilik karya tersebut tinggal.[24]
Hukum
adat diatas yang
merupakan bagian penjelamaan kearifan lokal bangsa Indonesia menunjukkan bahwa nilai-nilai, ide dasar yang mendasari perlindungan
kepemilikan dan pemanfaatan kekayaan intelektual bangsa Indonesia bersifat
komunal dan spritual yaitu yang tidak menonjolkan kepemilikan individu atas
setiap karya ataupun temuan yang dihasilkannya dan menghasilkan karya atau invensi yang bermanfaat bagi orang bagian dari dharma ataupun ibadah.
Nilai-nilai komunalitas dan spiritualitas ini tidak dipungkiri merupakan
pencerminan bagian dari nilai-nilai Pancasila. Menurut Soediman Kartohadiprodjo
Filasaft Pancasila memandang bahwa
struktur dasar hakiki dan keberadaan manusia adalah kebersamaan dengan sesama
manusia, saling ketergantungan antar manusia dan antar manusia dengan alam dan ketergantungan pada Tuhan Yang Maha Esa.
Tidak
bisa dipungkiri melihat perkembangan sistem hukum kekayaan intelektual di
Indonesia seperti sudah dijelaskan diatas maka
sistem hukumHKI bukan konsep asli Indonesia atau tidak tumbuh dari
masyarkat Indonesia sendiri (not
developed within context) dan tidak berakar pada kehidupan sosial
masyarakatnya (not rooted peculiar from of social life).[25]
Tapi merupakan produk impor atau istilah Tamanaha ”imposed from out side” atau suatu bangunan yang dipaksakan dari
luar.[26]
Sistem hukum kekayaan intelektual di Indonesia adalah adopsi dan transpalansi
melalui politik konkordasi kolonial Belanda dan reaksi atau bahkan desakan arus
globalisasi.
Dapat dikatakan juga bahwa
penyusunan perundang-undangan HKI di Indonesia merupakan tindakan transplantasi
Hukum Asing ke dalam sistem hukum nasional. Sebagaimana transplantasi organ
tubuh manusia, jika cocok dengan tubuh penerima, maka tranplantsi akan
berdampak menyembuhkan. Sebaliknya jika organ yang ditraplantasikan tidak cocok
bagi tubuh penerima akan berakibat fatal. Demikian pula halnya tranaplantasi
sistem hukum HKI. Jika hukum asing tersebut cocok dengan sistem hukum yang
berlaku di Indonesia, maka akan membawa manfaat bagi bangsa Indonesia.
Sebaliknya jika tidak cocok, maka transplantsi akan sangat merusak sistem hukum
Indonesia secara keseluruhan.[27]
Atau bahkan kemungkinan transplantasi tidak sesuai tersebut akan membawa faktor
kriminalisasi perilaku masyarakat yang sebelumnya merupakan perilaku yang biasa
menjadi perilaku yang melanggar hukum (tindak pidana), seperti perilaku
masyarakat yang membuat produk berdasarkan disain yang sudah ada sebelumnya. [28].
Budaya hukum masyarakat Indonesia
yang menunjukkan interaksi masyarakat dengan Sistem hukum kekayaan
intelektual salah satunya dapat
digambarkan melalui perilaku masyarakat dalam memperoleh HKI .
Data di Kantor Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Departemen RI di
Jakarta untuk paten sampai bulan Nopemeber 2009 jumlah pendaftar hak paten
67.149 ( dengan komposisi 64.025 untuk pemilik asing dan hanya 3.134 pemilik
lokal). Jumlah pendaftar hak merek
kurang lebih 600 ratus ribuan.[29]
Jumlah tersebut sangat kecil dibandingkan dengan pelaku usaha di Indonesia yang
jumlah 49.8 juta.[30]
Disamping itu semakin meningkatnya kasus sengketa HKI di Pengadilan dan
banyaknya iklan somasi-somasi pelanggaran merek dan cipta di koran-koran
menunjukkan gambaran budaya hukum masyarakat terkait sistem hukum kekayaan
intelektual. Gambaran ini menunjukkan bahwa integrasi masyarakat Indonesia
terhadap sistem HKI masih sangat lemah karena sistem HKI yang individualistik
dan monopolistik tidak berakar pada sistem sosial (rooted of social life) masyarakat Indonesia yang komunal dan
spiritual.
Politik
hukum nasional adalah upaya menjadikan hukum sebagai proses pencapaian cita dan
tujuan negara, yaitu mewujudkan
masyarakat adil dan makmur, maka sistem
HKI pun seharuskan juga bertujuan ke arah tersebut. Tujuan sistem HKI disamping
merangsang kreatifitas masyarakat juga bertujuan meningkatkan volume investasi
di Indonesia. Dengan meningkatnya volume investasi maka pertumbuhan ekonomi
dan lapangan kerja tersedia sehingga
kemakmuran masyarakat dapat diharapkan.
Akan tetapi tujuan tersebut sampai sekarang belum terwujud terutama
tujuan peningkatan investasi karena peraturan yang tidak jelas tentang
kewajiban melakukan investasi di wilayah Indonesia bagi pemilik HKI asing yang
menginginkan perlindungannya (dengan melakukan pendaftaran HKInya) di wilayah
Indonesia.
Sehingga
kalau berbicara sistem hukum nasional harus harus selalu bersumber pada
Pancasila dan UUD 1945, maka sistem hukum HKI sebagian dari sistem hukum
nasional yang tidak mengakomodir bagian dari nilai-nilai Pancasila (spiritual
dan komunal) dapat dikatakan sebagai sistem hukum nasional yang tidak sempurna
atau bahkan bukan sistem hukum nasional.[31]
Berdasarkan hal tersebut pemikiran tersebut maka untuk itu perlu melakukan
rekonstruksi politik perlindungan HKI dalam rangka pembaharuan sistem hukum
nasional yang lebih konsisten dengan falsafah Pancasila dan UUD 1945 dengan
mengakomodir nilai-nilai kearifan lokal yang merupakan cerminan nilai-nilai
Pancasila sebagai basisnya dan juga tidak mengabaikan nilai nilai global.
Dalam
konsep prismatika hukum sebagai paradigma politik hukum perlindungan HKI maka
seharusnya dalam perundangan perundangan HKI tidak mengabaikan ataupun
meninggalkan nilai komunalitas dan spritualitas sebagai bagian kearifan bangsa
Indonesia. Kearifan lokal dapat dikatakan sebagai cerminan nilai adat kebiasaan
dalam suatu masyarakat tertentu. Adat kebiasaan pada pada dasarnya teruji
secara alamiah dan niscaya bernilai baik, karena adat kebiasaan merupakan
tindakan sosial yang berulang-ulang dan mengalami penguatan (reinforcement). Apabila tindakan tidak
baik oleh masyarakat maka ia tidak akan mengalami penguatan secara menerus.
Pergerakan secara alamiah terjadi secara sukarela karena dianggap baik atau
mengandung kebaikan.[32]
Nilai-nilai yang dianggap baik pada dasarnya merupakan azas-azas moral yang
menuntun perilaku-perilaku yang dipandang patut dalam masyarakat dan bahkan
menjadi pedoman normatif yang hidup (the
living law) masyarakat Indonesia yang kemudian digabungkan dengan doktrin
moral yang baik dalam sistem perlindungan HKI yang mengacu pada Trips Agreement.
Doktrin
moral dalam sistem perlindungan hak kekayaan intelelektual mengambil dokrin
moral yang baik seperti nilai penghormatan terhadap hasil karya orang lain,
nilai kejujuran dan keadilan untuk tidak
meniru atau menggunakan hasil karya dan temuan
orang lain tanpa meminta
persetujuan lebih dahulu dan
doktrin diharapkan dapat membawa
pemicu masyarakat agar lebih kreatif dan inovatif untuk menghasilkan karya ciptanya da temuannya. Doktrin
moral demikian yang tercermin dalam perundang-undangan HKI dalam konteks
prismatika hukum dapat dipakai sebagai alat untuk melakukan perubahan (tool of social chance) terhadap budaya
masyarakat yang tercermin dalam perilaku suka meniru dan menggunakan karya dan
temuan orang tanpa minta ijin terlebih dahulu menjadi menjadi perilaku yang
jujur dan menghargai karya orang lain
misalnya mencantumkan pencipta asli ketika memproduksi karya yang sama.
Walaupun perilaku demikian dimaklumi karena budaya hukum kepemilikan yang tidak
berwujud (intengible) memang tidak
dikenal dalam konsep hukum Adat Indonesia.
Disamping
itu kosmologi masyarakat yang tidak begitu saja dilepaskan dalam komunitas
sosialnya (komunal) maka hal membawa dampak
budaya meniru tumbuh subur dalam perilaku masyarakat Indonesia . Sudah
menjadi hal yang dianggap biasa ketika seseorang menghasilkan suatu produk tertentu yang
merupakan hasil tiruan karya cipta orang lain sebelumnya terutama hal
banyak terjadi dalam komunitas – komunitas industri kecil. Bagi pencipta
sendiri ketika karyanya ditiru orang lain ada kebanggaan dan kebahagiaan
tersendiri karena karyanya memberikan manfaat bagi orang lain dan bahkan
menjadi bagian amal ibadahnya (nilai sipitual). Nilai komunal dan spiritual
merupakan nilai-nilai yang hidup yang menjdi pedoman perilaku masyarakat (living law) dalam komunitas-komnitas
pengahasil kekayaan intelektual. Maka itu untuk mengakomodir budaya komunal
perlu diintrodusir dalam ketetentuan konsep kepemilikan HKI (paten, merek, cipta, disain indusri dan
varitas tanman) yang berbasis kepemilikan kolektif atas nama komunitas-komunitas penghasil
kekayaan intelektual tertentu (komunitas kreator ataupun inventor) atau
komunitas-komunitas pemangku penghasil kekayaan intelektual berbasis pengetahuan
tradisional dan ekspresi budaya tradsional yang tidak selalu mensyaratkan harus
berbadan hukum. Artinya komunitas-komunitas tersebut dapat menjadi subyek hukum
kepemilikan HKI.
Disamping itu yang perlu dipahami bagaimana
menempatkan kepemilikan HKI dalam
konteks komunal artinya pemilik HKI dengan hak eksklusifnya yang bersifat
monopoli tapi juga dibarengi dengan kewajiban tertentu seperti misalnya
melakukan lisensi wajib bilamana hasil
temuannya dibutuhkan publik yang lebih luas ataupun suatu karya yang sedang
dalam perlindungan HKI boleh digunakan secara leluasa bilamana ada kepentingan sosial atau publik yang lebih
luas.
KESIMPULAN
Pembentukan
azas dan kaedah perlindungan HKI dalam sistem hukum HKI di Indonesia yang lebih
menonjolkan nilai-nilai berasal arus global yaitu individulaistik dan
kapitalistik tanpa mengakomidir konsep perlindungan kekayaan intelektual
berdasarkan nilai – nilai yang berasal dari bangsa Indonesia sendiri yang
sampai sekarang masih dianut oleh sebagian besar masyarakat Indonesia (living
law) yaitu nilai komunal dan spiritual yang
juga bagian nilai-nilai Pancasila.
Hal ini menunjukkan
bahwa politik hukum pembangunan sistem hukum
HKI masih belum konsisten dengan falsafah dasar dan cita hukum bangsa
Indonesia yaitu Pancasila. Maka untuk itu perlu pembaharuan sistem hukum HKI
Indonesia dengan politik hukum yang lebih mengakomodir nilai-nilai kearifan
lokal bangsa Indonesia yang komunal dan spiritual sebagai basisnya dan
sekaligus juga mengadopsi nilai-nilai global yaitu kejujuran dan penghormatan
terhadap kekayaan intelektual sehingga menjadikan sistem hukum HKI yang lebih
membumi (istilah prof. Agus Sarjono) atau istilah Prof. Satjipto Rahardjo
berakar pada sistem sosialnya (rooted of
social life/system) atau pula mencerminkan konsep prismatika hukum.
DAFTAR
PUSTAKA :
1.
Afifah Kusumadra, HKI Dalam Sistem Hukum
Adat Di Indoensia, Jurnal Arena Hukum, nomor 12 tahun 2000
2.
Agus Sarjono, Membumikan HKI di Indonesia, Nuasa
Aulia, 2009
3.
Agus
Sardjono, Pengetahuan Tradisional; Studi
Mengenai Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual Atas Obat-obatan, (Jakarta:
Pascasarjana Fak. Hukum UI, 2004
4.
Ali Afandi,Kedudukan dan
Pengaruh Hukum Asing dalam Tata Hukum di Indonesia, Universitas Gajahmada,
Yogja, 1971
5.
Arief Sidharta, Cita Hukum Pancasila, Bahan Kuliah Program PDIH Universitas
Diponegoro, Angkatan XV tahun 2010
6.
Brian Z Tamanaha : A general
Jurisprudence of Law and Society, Oxford University Press, NY, reprinted 2006
7.
Budi Santoso, Pengantar
Hak Kekayaan Intelektual, Pustaka
Magister,
Semarang 2008)
8. Elias M. Award, System and Analysis and Design, Richard
D Irwin, Homewood, Illinois, 1979
9. Fritjof Capra: The Turning Point, Science, Society and Rising Culture, Bantam Book New York,
Penerjemah M. Thoyibi, (Titik Balik Peradaban, Saint, Masyarakat dan
Kebangkitan Kebudayaan), Cetakan ke 7, Penerbit Jejak, Yogjakarta 2007,
10. Glenn R. Butterton, Norms and Property in the Middle Kingdom, (Wisconsin Law Journal,
Vol. 15, No. 2, 1997)
11. Hamilton
V. Lee & Sanders, Yoseph, Everyday
Justice, Responsibility and The Individual in Japan and United State, New
Haven, Yale University Press, 1992
12. Heliantoro, Undang
Undang Paten Berwawasan Nasional dan Internasional, Hukum dan Pembangunan
no. 4 tahun 1987
13. I Ketut Gobyah, Berpijak pada Kearifan Lokal,
http//www.balipos.co.id
14. Mahfud MD, Membangun
Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, LP3ES, 2006
15. Satjipto
Rahardjo, Negara Hukum yang Membahagiakan
Rakyatnya, Cetakan II, Genta Publishing, Yogjakarta 2009
16. Satjipto Rahardjo, Bahan Mata Kuliah Teori Hukum. Program PDIH UNDIP, tahun 2009
17. Sartini,
Menggali Kearifan Lokal Nusantara Sebuah
Kajian Filsafati, hal. 1,
18. S.
Swarsi Geriya dalam Menggali Kearifan
Lokal untuk Ajeg Bali, http//www.balipos.co.id
19. Sunaryati Hartono, Politik
Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni, Bandung, 1991
20. R. Soepomo, Bab-bab tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, 1982
21. Surahman,http//www.suarapembaharuan.com/new/199711/21119/opED/opini02/opini02html,
1997
22. Ter Haar
:mendifinisikan hal ini sebagai :”the
non-material environment, the external environment and a part of material
the world”, Lihat Ter Haar :Adat Law in Indonesia, 1948
23. Tomi
Suryo Utomo, Hak Kekayaan intelektual Di
Era Global, Sebuah Kajian Kontemporer, Graha Ilmu, Yogjakarta 2009,
[2] Fred W.
Riggs, Administration in Developing Countries: The Theory of Prismatic Society,
Boston: Houghton Miffin Company, 1964; Mahfudz MD, Ibid . 23.
[6] Mahfud MD. Op Cit 24
[7] Mohtar Kusumaatmadja :
Konsep-konsep Hukum dan Pembangunan, Pusat Studi Wawasan Nusantara, Hukum dan
Pembangunan dan PT Alumni Bandung 2002, hal 13-14; dalam Mahfud MD, Pembangunan
Politik,hal. 29
[11] Afifah Kusumadra, HKI dalam Sistem Hukum dat di Indonesia,Jurnal Arena Hukum, nomor 12 tahun 2000, hal 3
[12] Bagi negara anggota WTO mempunyai
kewajiban untuk membuat peraturan HKI mengacu pada Bern Convention, Paris Convention, Rome Convention dan Wasington Treaty
(Article 3 TRIPs Agreement)
[13] Politik hukum terlihat dalam konsideran dari Undang Undang 30,31,32 tahun
2000 huruf a. bahwa untuk mewujudkan industri yang mampu bersaing dalam lingkup
perdagangan nasional dan internasional perlu diciptakan iklim yang mendorong
kreasi dan inovasi masyarakat dengan perlindungan hukum terhadap rahasia dagang
sebagai bagian dari sistem HKI, (b) Bahwa Indonesia telah menandatangani
Agreement Establishment The WTO yang mencakup TRIPs Agreement dengan UU no. 9
tahun 1994 maka perlu diatur ketentuan mengenai rahsia dagang, disan industri
dan disain tata letak siskit terpadu. Konsideran huruf Undang Undang no. 14
tahun 2001 : (a)Bahwa sejalan dengan ratifikas Indonesia pada perjanjian
internasional, perkembangan teknoloi, industri dan perdagang yang semakin pesat
diperlukan Undang Undang Paten yang dapat memberikan yang wajar bagi inventor.
Konsideran Undang Undang no. 15 tahun 2001; (a) bahwa di dalam era perdagangan
global, sejalan dengan konvensi-konvensi internasional yang telah diratifiasi
Indonesia, peranan merek menjadi sangat penting terutama dalam menjaga
persaingan usaha yang sehat. Konsideran Undang Undang Undang Undang noor 19
tahun 200; (b) Bahwa Indonesia telah menjadi anggota berbagai konvensi/perjanjian
internasional di bdang HKI pada umumnya dan Hak Cipta pada khususnyayang perlu
pengejawantahan lebih lanjut dalam sistem ukum nasional (b) bahwa perkembang di
bidang perdagang, industri dan investasi telah sedemian pesat sehingga perlu
meningkatkan perlindungan bagi Pencipta dan Pemilk Hak Terkait dengan tetap
mempertimbang kepentingan masyarakt luas
[14] Tomi Suryo Utomo, Hak Kekayaan intelektual Di Era Global, Sebuah Kajian
Kontemporer, Graha Ilmu, Yogjakarta 2009, hal. 15
[15] Satjipto Rahardjo, Negara Hukum yang
Membahagiakan Rakyatnya, Cetakan II, Genta Publishing, Yogjakarta 2009, hal. 60
[16] Hamilton V. Lee
& Sanders, Yoseph, Everyday Justice,
Responsibility and The Individual in Japan and United State, New Haven, Yale
University Press, 1992 dalam Sathipto Rahardjo, Ibid hal 60
[17]Agus Sardjono, Op.
Cit., hal. 20.
[18] Agus sarjono, Ibid, hal 72
[19] Heliantoro, Undang Undang Paten
Berwawasan Nasional dan Internasional, Hukum dan Pembangunan no. 4 tahun 1987. hal.
372
[20] R. Soepomo, Bab-bab tentang Hukum Adat,
Pradnya Paramita, 1982, hal. 16
[21] Ali Afandi,Kedudukan dan Pengaruh Hukum Asing dalam Tata Hukum di Indonesia,
Universitas Gajahmada, Yogja, 1971, hal. 7-8. Bandingkan pendapat Sathipro
Rahardjo : Masyarakat yang berwatak kontekstual, maka di dasar masyarakat
tersebut terletak filsafat holism. Disini terdapat kecenderungan untuk tidak memisahkan (separate out) seseorang dari konteks sosialnya. Segalanya lalu menjadi socio centric. Kita akan melihat
cara-cara seseorang bertindak dalam konteks atau keseluuhan. Berbeda dengan dengan
individualisme dimana seseorang otonom, maka dalam kontekstualime kita
menjumpai seseorang sebagai berada dalam keterhubungan dengan orang-orang lain
(interconnected individuals)
[22] Fritjof Capra: The Turning Point, Science, Society and Rising
Culture, Bantam Book New York, Penerjemah M. Thoyibi, (Titik Balik Peradaban,
Saint, Masyarakat dan Kebangkitan Kebudayaan), Cetakan ke 7, Penerbit Jejak,
Yogjakarta 2007, hal. 323-324 mengatakan :titik pandang sistem, baik
determinisme maupun kebebasan merupakan konsep yang relatif yaitu adanya
kebergantungsn pada linkungan melalui interkasi yang terus menerus, aktifitas
akan dibentuk oleh pengaruh lingkungannya. Konsep kehendak bebas yang relatif
ini tampak konsisten dengan pandangan-pandang tradisi mistis yang mendorong
para pengikutnya untuk melampui pengertian diri yang terpisah yang terpisah dan
sadar bahwa kita merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kosmos yang
melingkupi kita. Tradisi-tradisi adalah untuk menumpahkan sepenuhnya seluruh
ego dan dalam pengalaman mistis muncul dalam totalitas kosmos
[23]
Ter Haar :mendifinisikan hal ini sebagai :”the non-material environment, the
external environment and a part of material the world”, Lihat Ter Haar :Adat
Law in Indonesia,
1948, hal. 53
[24] Afifah Kusumadra: Konflik Hukum HKI dan
Hukum Adat Di Indonesia, Jurnal Arena no 12 tahun 2000, FH UNBRA, hal 5
[25] Satjipto Rahardjo, Bahan Mata Kuliah Teori HukumProgram PDIH UNDIP 2009
[26]
Brian Z Tamanaha : A general Jurisprudence of Law and Society, Oxford
University Press, NY, reprinted 2006, hal. . Istilah ini kemudian sering
dipergunakan oleh Satjipto Rahardjo dalam banyak bukunya untuk menjelaskan
fenomena ketidak cocokan (mimacth) budaya yang diintrodusir oleh Barat dengan
budaya hukum bangsa Timur. Bandingkan pendapat Anton Christop :”Indonesia
Intellectual Property Law in Context” dalam Taylor,
Veronica, Asian Laws Australia Eyes , LBC Information Service, 1997, halaman
402-403 :Hukum HKI di Indonesia bukanlah sejak awal dikembangkan oleh Bangsa Indonesia
sendiri. Sebelum kemerdekaan
pemerintah Hindia Belanda mengundangkan
hukum HKI yang tidak diterapkan untuk orang pribumi karena politik
segregasi (pemisahan) untuk golongan Eropa yang dipersamakan dengan hukum
Belanda dan untuk hukum pribumi berlaku hukum Adat
[27] Agus Sarjono, Op Cit. Hal. 17
[28] Kemungkinan tersebut seperti statemen
Konggress PBB ”..the importation of foreind cultural pattern which did not
harmonize with the indiginouse cultural had criminogen effect”, Bahan
kuliah Mahasiswa Angkatan XV PDIH UNDIP
mata kuliah Pembaharuan Hukum Nasional
oleh Prof.Dr. Nawawi Arief, tahun 2010
[30] Data angka diambil BPS 2008 dalam makalah Deputy Departemen Koperasi dan
UKM, Pentingnya Mensinergikan Program Proram dari Perguruan Tinggi, Dunia
Ushadan Pemerintah Dalam Pemanfaatan Sistem HKI Bagi UKM, Seminar Nasional
Kolabolrasi Pemerintah-Perguruan Tinggi-Kalangan Industri di bidang Transfer
Technologi dan Komersialisasi HKI, Jakarta 23 Nopember 2009
[31] Menurut Prof.Dr.Barda Nawawi Arief
sistem hukum yang tidak mengandung salah salah satu nilai-nilai Pancasila
yang KeTuhan, humanis dan
kemasyarakatan bukan sistem hukum nasional Indonesia. Kuliah Pembaharuan
Hukum Nasional , Program PDIH UNDIP,
Angkatan XV 2009
[32] Sartini. Menggali Kearifan Lokal Nusantara Sebuah
Kajian Filsafati, hal. 2,
Langganan:
Postingan (Atom)